Bermain Indah dan Ironi Altruisme dalam Sepakbola  

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Bermain Indah dan Ironi Altruisme dalam Sepakbola   

Oleh: Rio Rizky Pangestu*

Kita tentu masih ingat bagaimana digdayanya performa Barcelona di masa awal kala ditangani entrenador Pep Guardiola. Musim 2008/2009 agaknya menjadi salah satu musim terbaik yang akan terus dikenang oleh tim asal Catalan itu. Lewat permainan umpan-umpan pendek yang cepat dan terorganisir, Barca menghasilkan sebuah permainan yang pada saat itu, begitu enak ditonton. Tiki-taka kemudian menjadi sebuah nama yang banyak disebut orang-orang bagi gaya permainan itu. Dengan tiki-taka, Barca berhasil merengkuh tiga trofi sekaligus dalam satu musim. La Liga, Copa Del Rey, dan UEFA Champions League berhasil didapatkan pada musim 2008/2009.

Permainan cantik ala Barcelona, diakui atau tidak telah membuat sebagian orang jatuh cinta kepadanya. Tak sedikit orang-orang yang terpukau dengan permainan yang mengandalkan passing pendek dan possesion itu. Yang menarik, sebetulnya, tiki-taka sendiri bukanlah permainan seperti apa yang Barcelona suguhkan kala itu. Pep Guardiola-sebagaimana termaktub dalam buku autobiografi nya, "Herr Pep" yang ditulis oleh Marti Perarnau, secara tegas menyangkal bahwa apa yang dilakukan Barcelona kala itu merupakan permainan tiki-taka. Menurutnya tiki-taka adalah permainan dengan umpan-umpan pendek tanpa tujuan yang jelas. Barcelona saat itu tidak melakukan hal demikian, dan ia sendiri mengaku sangat membenci tiki-taka.

Jika Barcelona di era Pep Guardiola menyuguhkan permainan indah dengan mengandalkan permainan kolektif, Tim Nasional Brasil terkenal dengan permainan indah yang dihasilkan dari kemampuan luar biasa individu-individu nya. Sejak dahulu Brasil sangat produktif dalam menghasilkan pemain-pemain bertalenta, mulai dari nama-nama seperti Pele, Socrates, Ronaldo, Ronaldinho, hingga Kaka. Saat ini, kita tentu mengenal nama Neymar, Marcelo, atau Philip Coutinho. Permainan indah Brasil yang dihasilkan oleh skill individu pemain-pemainnya, dijuluki dengan sebutan Jogo Bonito.

Kelahiran pemain-pemain dengan talenta hebat di Brasil, tak terlepas dari kenyataan bahwa sepakbola yang memang sudah sangat membudaya di Brasil. Kota-kota di Brasil yang memiliki banyak favela dan tanah-tanah lapang yang kerap dijadikan tempat bocah-bocah Brasil bermain sepakbola, sedikit-banyaknya telah berperan dalam melahirkan talenta-talenta emas pesepakbola Negeri Samba. Socrates dengan daya jelajah yang tinggi serta shooting-nya yang akurat, Roberto Carlos dengan kecepatan dan ‘magic’ yang kerap dihasilkan sepakan kaki kirinya, step-over khas dari Ronaldinho yang sering mengelabui pemain lawan, hingga Ricardo Kaka dengan teknik dan visi bermain yang apik, adalah sedikit bukti betapa Brasil kaya akan pemain-pemain dengan skill dan teknik mempuni.

Ketika semua pemain bertalenta itu terhimpun dalam satu kesebelasan, maka terciptalah apa yang disebut dengan Jogo Bonito. Era Jogo Bonito yang paling terkenal tentunya penampilan memukau Brasil di Piala Dunia 1982-era Socrates dkk. Walaupun pada akhirnya, mereka terpaksa harus mengakui kemenangan Italia di partai puncak, yang saat itu Italia tidak banyak diunggulkan dibandingkan Brasil.

Timnas Belanda-terutama di era Piala Dunia 1974, yang terkenal dengan permainan total football-nya, juga dianggap menyuguhkan permaianan sangat memukau dan niscaya mampu memanjakan sekaligus memacu adrenalin siapapun yang menyaksikan permainan mereka. Timnas Belanda yang saat itu ditangani Rinus Michels berhadapan dengan Jerman Barat di partai puncak. Gerd Muller, pemain Jerman Barat yang menciptakan gol pembalik keadaan pada menit ke-43, benar-benar menjadi mimpi buruk Belanda saat itu, yang di awal-awal laga begitu mendominasi dan unggul lebih dahulu lewat eksekusi penalti Johan Neskeens akibat dari dilanggarnya Johan Cruyff di kotak penalti.

Banyak yang beranggapan bahwa kegagalan Belanda di final Piala Dunia 1974 itu, sebagai suatu anomali. Mereka dinilai pantas untuk menjadi kampiun karena permainan total football nya yang trengginas melibas tim-tim lawan dan begitu menghibur banyak orang.

Tiga contoh tim yang disebutkan di atas, merupakan contoh kecil dari mereka yang kerap menampilkan permainan yang sangat menyenangkan untuk dilihat bagi sebagian besar orang. Melalui permainan terbuka, ofensif, atraktif, dan terpola, mereka mampu membuat orang yang awam dan tidak begitu menyukai sepakbola pun, kiranya rela meluangkan waktu untuk menyaksikan mereka bermain.

Beberapa pemain maupun pelatih dari tim-tim tersebut, juga terang-terangan mengakui bahwa, di samping kemenangan yang mereka ingin peroleh, ada satu hal penting yang tak boleh dilewatkan begitu saja: mereka ingin penonton terhibur lewat permainan yang mereka suguhkan. Bahkan jika mereka gagal meraih kemenangan pun, mereka kerap menjadikan permainan indah mereka sebagai alasan guna memaklumi kekalahan itu.

Tele Santana, pelatih Brasil di tahun keemasan Jogo Bonito, usai dikalahkan Italia di Piala Dunia 1982 pernah mengatakan pada pasukannya bahwa, mereka tak perlu kecewa dengan hasil itu, karena mereka telah menghibur dunia dengan cara bermain mereka yang atraktif. Reaksi Zico segendang sepenarian dengan pelatihnya.

Saat jelang pertandingan semifinal Liga Champions musim 2008/2009 yang mempertemukan Barcelona kontra Chelsea, gelandang Barca, Xavi Hernandez, juga pernah berujar bahwa yang akan menjadi prioritas Barcelona di laga semifinal itu adalah sepakbola indah dan menghibur, untuk penggemar mereka.

“Chelsea bermain sangat keras dan mungkin terkadang sedikit terlalu keras. Tapi, itu gaya permainan mereka. Kami (Barca) suka bermain sepak bola bagaimana seharusnya dimainkan, dan itu jenis sepak bola yang pantas dilihat fans pada semifinal Liga Champions." tutur Xavi.

Hal sejenis juga pernah diutarakan Johan Cruyff, pemain dan pelatih yang menganggap sepakbola menyerang adalah sepakbola yang mampu menghibur dan menjadi tontonan menarik. Ungkapan yang dilontarkan Cruyff itu, terucap kala Belanda menjalani lanjutan kualifikasi Grup A Piala Eropa 2016 kontra Turki tahun 2015 lalu. Saat itu Belanda hanya mampu bermain seri. Cruyff sebagai mantan pemain Belanda yang sangat mengagumi total football menyerang, bereaksi atas hasil itu.

"Belanda tampil sangat buruk saat melawan Turki. Mereka tidak melakukan apa-apa. Para bek hanya memberikan umpan kepada para gelandang dan mereka lalu mengirimkannya kembali ke para bek," ujar Cruyff.

Berdasarkan dari ungkapan-ungkapan itu, sedikitnya kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa bagi mereka, di samping mengincar kemenangan untuk tim, mereka juga sangat menaruh perhatian perihal menghibur-tidaknya permainan yang mereka suguhkan bagi penonton. Mereka menaruh perhatian sangat besar akan kebahagiaan penonton yang menyaksikan mereka-atau dengan kata lain, mereka begitu memerhatikan kebahagiaan orang lain akibat dari apa yang mereka lakukan-dalam hal ini bermain sepakbola. Fenomena ini persis dengan apa yang disebut sebagai: altruisme.

Altruisme merupakan doktrin untuk mencintai dan memerhatikan kebahagiaan orang lain, di atas kepentingan diri sendiri. Dalam perspektif teologi atau agama, tentunya hal demikian sangatlah baik. Namun, jangan dilupakan juga bahwa di sisi lain, altruisme kerap menjadikan suatu individu terhambat dalam mencapai tujuannya karena ditekan untuk terus memperhatikan kesejahteraan orang lain dibandingkan dengan kesejahteraan diri sendiri.

Dalam lingkup sepakbola, sikap altruisme ini juga kerap “memakan korban”. Sebuah tim kerap mempertahankan taktik permainan indahnya demi menghibur penonton, walaupun sebetulnya taktik tersebut, barangkali saat itu kurang tepat untuk diterapkan. Contohnya kala Barcelona ditekuk Inter Milan di semifinal Liga Champions, musim 2009/2010. Barcelona saat itu mempertahankan gaya permainan seperti biasanya. Padahal, dengan gaya seperti itu, mereka kesulitan menembus pertahanan Inter Milan sepanjang laga, dan akhirnya harus mengakui kekalahan mereka dari Inter Milan dengan agregat 2-3.

Contoh lainnya adalah kala Spanyol bertemu Italia di babak 16 besar Piala Eropa 2016. Spanyol yang dikenal indah dengan gaya bermain mirip Barcelona waktu itu (ball possesion), tak mampu menembus pertahanan solid Italia, yang bagi sebagian orang, gaya bermain Italia yang seperti itu, tidak berhasil menyenangkan mereka karena dianggap membosankan. Lini tengah Spanyol yang kerap menjadi ruh permainan mereka tak mampu berbuat banyak kala itu. Pada akhirnya, Italia keluar sebagai pemenang, atas Spanyol yang setia mempertahankan gaya bermain nya demi sebuah keindahan untuk “kebahagiaan penonton”.

Kekalahan Jogo Bonito Brasil atas Italia tahun 1982 lalu juga merupakan contoh lainnya. Dengan permainan atraktif sepanjang turnamen, dan catatan tak terkalahkan selama fase grup, Brasil jauh lebih diunggulkan. Namun, permainan indah yang ditampilkan Brasil bagi penonton yang melihatnya itu, nyatanya tak mampu menolong diri mereka sendiri dari terjangan Italia. Walaupun usai pertandingan Tele Santana berdalih bahwa, walaupun mereka kalah, setidaknya mereka telah berhasil menghibur penonton.

***

Bagaiamana pun, di dunia sepakbola profesional, kemenangan tetaplah menjadi hal yang utama dibandingkan dengan apapun. Jika sikap altruisme macam itu masih dianggap sangat penting hingga kerap mengorbankan kemenangan-atau kebaikan untuk diri sendiri, agaknya tim-tim demikian harus memperhatikan salah satu pandangan seorang tokoh psikolog mahsyur, Sigmund Freud, dalam teori narsis-me nya.

“Semakin banyak cinta yang anda berikan ke luar diri sendiri, maka pada saat yang sama, semakin sedikit cinta bagi diri anda sendiri.”

*Penulis merupakan fotografer paruh waktu dan seorang pelajar yang bersekolah di alam semesta. Tinggal di Bandung. Berakun twitter @riopngst

Komentar