Babad Mourinho: Achilles dari Setúbal

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Babad Mourinho: Achilles dari Setúbal

Pada pertengahan 2009, Villas-Boas meninggalkan Mourinho untuk bekerja sebagai manajer Academica. Setahun berselang, ia telah ditunjuk untuk menangani Porto. Hasilnya memuaskan. Seperti Mourinho, Villas-Boas sukses meraih treble dengan menjuarai tiga ajang sekaligus di akhir musim 2010/2011: Liga Portugal, Piala Portugal, dan Liga Europa. Di usia ke-33, ia jadi manajer termuda yang pernah menjuarai kompetisi Eropa.

Kesuksesan itu memberi Villas-Boas tiket untuk melatih Chelsea pada musim 2011/2012. Sejak kepergian Mourinho, Chelsea tak kunjung stabil dan kerap gonta-ganti manajer. Tercatat, ada empat manajer dalam empat musim perjalanan Chelsea sebelum kedatangan Villas-Boas; dari Avram Grant, Luiz Felipe Scolari, Guus Hiddink, hingga Carlo Ancelotti. Walau begitu, dalam kurun waktu tersebut mereka masih mampu meraih satu gelar Liga Inggris dan dua Piala FA.

Villas-Boas didatangkan dengan harapan bisa membawa kejayaan yang sama, atau bahkan lebih dibanding era Mourinho dulu. Namun, nyatanya ia hanya “numpang lewat” di Chelsea. Ia justru kerap tumbang kala melakoni laga krusial melawan tim-tim besar di liga, entah Manchester United (1-3), Arsenal (3-5), Liverpool (1-2) dan Manchester City (1-2). Semua terjadi pada paruh pertama musim 2011/2012.

Mereka bahkan kalah 1-3 dari Napoli pada pertemuan pertama babak 16 besar Liga Champions. Saat itu, Villas-Boas mencadangkan Frank Lampard, Michael Essien, dan Ashley Cole. Sebelumnya, dikabarkan para pemain senior memprotes pemilihan taktik Villas-Boas langsung pada Abramovich. Tak lama, sang manajer pun dipecat. Pengganti sementara, Roberto Di Matteo, justru berhasil membawa Chelsea jadi juara Piala FA dan Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah klub.

Itulah titik balik yang “membunuh” karier Villas-Boas dan membuatnya kini menyepi di Rusia sebagai manajer Zenit Saint Petersburg. Ternyata, ia terlalu cepat masuk ke panggung utama setelah berguru dari Mourinho.

Kematian Patroclus membuat Achilles gusar dan menantang Hector untuk bertarung satu lawan satu. Hector kewalahan, lalu mati di tangan Achilles. Ini membuat posisi Agamemnon berbalik jadi di atas angin. Moral pasukan Yunani terangkat dan mereka siap kembali melakukan perlawanan.

Kembalinya Sang Achilles

foto: dailymail.co.uk
foto: dailymail.co.uk

Kembalinya Mourinho ke “medan perang” juga membawa euforia bagi penggemar Chelsea. Ia dirasa mampu menyelematkan tim dari situasi amburadul setelah sesaat dipegang Rafael Benitez. Namun, prosesnya tak instan. Chelsea nihil gelar di musim pertama dari periode kedua Mourinho.

Semua berubah setahun berselang. Mourinho merekrut Cesc Fabregas dan Diego Costa, yang kemudian jadi motor permainan tim sepanjang musim 2014/2015. Di saat yang sama, Frank Lampard, Ashley Cole dan David Luiz dilepas demi proses regenerasi. Hasilnya, Chelsea berhasil menjuarai Liga Inggris dan Piala Liga.

Dengan modal tersebut, penggemar Chelsea menatap optimis datangnya musim 2015/2016. Kepergian Petr Cech ke Arsenal sempat membawa duka, tapi kehadiran kiper muda asal Belgia, Thibaut Courtois, dirasa cukup untuk menambal lubang di bawah mistar gawang.

Namun, yang terjadi benar-benar di luar perkiraan.

Di laga pembuka Liga Inggris, Chelsea ditahan imbang 2-2 oleh Swansea City di kandang sendiri. Bukan hanya Chelsea gagal mengamankan tiga poin, dua insiden lain mewarnai pertandingan tersebut. Pertama, kala Courtois mendapat kartu merah setelah menjegal Bafetimbi Gomis di kotak terlarang. Gomis pun berhasil mencetak gol dari titik putih. Kedua, saat Mourinho mengamuk pada tim medis Chelsea setelah mereka berinisiatif melakukan perawatan pada Eden Hazard di menit ketiga masa perpanjangan waktu babak kedua.

“Anda harus tahu saat Anda telah kehilangan satu pemain dan Anda masuk ke lapangan untuk menolong seorang pemain, Anda harus yakin bahwa pemain tersebut mengalami cedera serius,” ujar Mourinho geram.

“Saya yakin dia (Hazard) tak mengalami masalah serius. Dia mendapat benturan, dia sangat kelelahan. Namun tim medis saya, secara impulsif, bertindak naif dan membuat saya hanya memiliki delapan pemain lapangan dalam sebuah serangan balik setelah situasi bola mati.”

Sontak, kejadian ini berbuntut panjang. Mourinho menghukum dua stafnya yang “berbaik hati” merawat Hazard, dokter tim Eva Carneiro dan fisioterapis Jon Fearn, dengan melarang mereka kembali mendampingi tim di pinggir lapangan saat pertandingan maupun latihan. Carneiro, yang telah bekerja di Chelsea sejak 2009, memutuskan mundur dari jabatannya pada September 2015. Dari sana, ia justru mendapat banjir simpati dari publik.

Tak hanya itu, kontroversi muncul saat Mourinho diduga melontarkan pernyataan seksis sesaat setelah melihat Carneiro beraksi masuk ke lapangan. Diduga, Mourinho memaki “filha da puta”, kalimat dalam bahasa Portugis yang berarti “anak pelacur”. Tuduhan ini tak terbukti dan FA urung mengambil tindakan lebih lanjut untuk menghukum Mourinho. Namun, reputasi Mourinho kian jatuh karenanya.

Bersamaan dengan itu, kinerja Chelsea sebagai sebuah tim sepak bola tiba-tiba mulai menurun drastis. Faktanya, hingga awal November 2015 mereka telah menjalani awal musim terburuk dalam 42 tahun terakhir. Mereka hanya mampu meraih 11 poin dari 12 pertandingan, hasil dari tiga kemenangan, dua seri, dan tujuh kekalahan.

Halaman berikutnya, Ranieri = Paris

Komentar