Babad Mourinho: Achilles dari Setúbal

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Babad Mourinho: Achilles dari Setúbal

Oleh Viriya Paramita*

Jose Mourinho memang bukan orang biasa. Ia adalah manajer sepakbola yang bisa bicara lima bahasa. Pemahaman taktik dan kepercayaan dirinya tinggi. Ia pun telah meraih sukses di empat negara berbeda. Kariernya cemerlang. Sayang, egonya menjulang. Sejarah mencatat, awal mula kejatuhannya dimulai karena perseteruan dengan seorang perempuan.

Membicarakan Mourinho, berarti membicarakan kisah suksesnya yang melegenda. Ia rajin memancing kontroversi, tapi tak ada yang menyangkal bahwa ia bergelimang trofi. Ia lahir di Setúbal (360-an kilometer sebelah selatan Porto-red), tapi kegemilangannya justru mencuat pertama kali di Porto.

Di usia ke-40, Mourinho tiba-tiba saja jadi perbincangan hangat setelah berhasil membawa kesebelasan Porto meraih treble dengan menjuarai tiga ajang sekaligus pada akhir musim 2002/2003: Liga Portugal, Piala Portugal, dan Piala UEFA.

Orang yang tak percaya bisa menyebutnya sebagai keberuntungan pemula. Namun dengan enteng Mourinho menjawab keraguan itu setahun berselang dengan raihan lebih prestisius: trofi Liga Champions. Segera, Mourinho jadi properti panas di kancah sepakbola Eropa.

Ia bagai Achilles, kesatria gagah dalam mitologi Yunani yang mampu melibas siapa saja yang mengadang di tengah jalan. Kehebatan Achilles juga tertuang dalam film Troy yang dirilis pada 2004. Di awal film, dengan mudah Achilles membunuh Boagrius, prajurit raksasa dari Thessaly, dengan satu tusukan pedang ke bahu kirinya. Setelahnya, Achilles pun setuju terlibat dalam Perang Troya setelah mendengar rayuan Odysseus, Raja Ithaka.

“Perang ini tak akan terlupakan, juga para pahlawan yang bertempur di dalamnya,” kata Odysseus.

Alhasil, Achilles berusaha mengesampingkan rasa tak senangnya pada Agamemnon, Raja Mykenai nan culas dan ambisius. Ia ikut berangkat bersama pasukan yang dikumpulkan Agamemnon dari seluruh penjuru Yunani untuk merebut Troya. Achilles mengincar kejayaan. Ia ingin namanya terus dikenang sebagai prajurit terhebat dalam sejarah pertempuran tersebut.

Begitu juga dengan Mourinho. Setelah sukses di Porto, ia hijrah ke London untuk menangani tim kaya baru bernama Chelsea. Di sana, ia menggantikan posisi Claudio Ranieri. Selama empat musim di Chelsea, Ranieri sesungguhnya cukup berhasil membangun ulang tim dengan dana terbatas hingga jadi penantang serius untuk masuk ke zona Eropa di papan klasemen liga. Ia pula yang mendatangkan Frank Lampard dan mengorbitkan John Terry. Keduanya kemudian sukses jadi tulang punggung tim untuk belasan tahun lamanya.

Namun, kondisi berubah kala Chelsea dibeli oleh miliarder asal Rusia, Roman Abramovich, pada pertengahan 2003. Dengan pasokan dana berlimpah, Ranieri diharapkan mampu segera meraih prestasi. Setelah “hanya” mampu membawa tim menjadi runner-up Liga Inggris dan menembus semifinal Liga Champions pada musim 2003/2004, Ranieri pun didepak. Penunjukan Mourinho diharapkan mampu mendatangkan kesuksesan instan.

“Jika ingin berlindung dalam sebuah pekerjaan yang tenang, saya bisa memilih untuk tetap bertahan bersama Porto. Saya bisa jadi yang kedua, setelah Tuhan, di mata para pendukung, bahkan bila saya tak pernah lagi bisa memenangkan sesuatu,” kata Mourinho, “Tolong jangan menyebut saya arogan, tapi saya adalah juara Eropa, dan saya rasa, saya adalah seseorang yang istimewa (special one).”

Terlihat, bagaimana Mourinho memandang tinggi dirinya sendiri. Ia percaya, sudah sepantasnya namanya tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pelatih sepak bola terhebat di dunia. Ia mengincar kejayaan, dan Chelsea adalah kendaraan yang tepat. Mereka adalah kekuatan baru di Eropa dengan pemilik yang sangat ambisius, seperti pasukan Yunani di bawah kekuasaan Agamemnon.

Maka, dimulailah petualangan Mourinho untuk menaklukkan “Troya”. Mulanya berjalan mudah, malah terlihat seperti main-main. Chelsea dibawanya menjuarai Piala Liga dan Liga Inggris pada musim 2004/2005. Sejumlah rekor mengikuti, entah jumlah poin terbanyak (95) atau jumlah kemasukan gol paling sedikit (15) di liga. Itu bisa diraih Mourinho juga dengan bantuan “tim sukses” yang dibawanya dari Porto. Sebut saja asisten manajer Baltemar Brito, pelatih kebugaran Rui Faria, kepala pencari bakat Andre Villas Boas, serta pelatih kiper Silvino Louro.

Perpecahan Jilid Pertama

foto: dailymail.co.uk
foto: dailymail.co.uk

Dua musim kemudian, Chelsea masih perkasa di bawah kendali Mourinho. Mereka sukses meraih masing-masing satu trofi Piala Liga, Piala FA dan Liga Inggris. Namun, bibit perpecahan mulai muncul di antara Mourinho dan Abramovich.

Pertama, soal kebijakan transfer dan pemilihan pemain. Salah satunya adalah pembelian gagal Andriy Shevchenko seharga lebih dari 30 juta poundsterling. Walau Shevchenko tak kunjung unjuk gigi di Chelsea, kabarnya Abramovich tetap memaksa Mourinho untuk terus memainkan striker favoritnya tersebut. Namun pada laga semifinal Liga Champions 2006/2007 melawan Liverpool di Anfield, Mourinho bahkan tak memasukkan nama Shevchenko ke dalam daftar pemain cadangan.

Kedua, Mourinho menentang penunjukan Avram Grant sebagai direktur sepak bola dalam klub. Secara umum, jabatan direktur sepak bola biasanya bertugas menjembatani manajer dengan dewan direksi. Ia juga mesti mengurus hal-hal teknis di luar lapangan agar sang manajer bisa fokus mengurus pemain di lapangan. Karena itu, wajar bila Mourinho menginginkan sosok yang lebih ia percaya secara pribadi untuk menjabat sebagai direktur sepak bola di Chelsea. Namun, Abramovich bergeming.

Satu lagi, Mourinho tak kunjung berhasil membawa trofi Liga Champions ke Stamford Bridge, hal yang begitu didambakan Abramovich. Maka, setelah Chelsea gagal mengalahkan Rosenborg di fase awal Liga Champions 2007/2008, Mourinho dipecat.

Di sisi lain, Achilles pun meninggalkan kesan pertama yang gemilang di awal Perang Troya. Sesaat sebelum seluruh pasukan Yunani tiba di pantai Troya, Achilles bersama sekitar 50 prajuritnya yang setia dari Myrmidon sengaja mendahului, mengabaikan perintah Agamemnon. Dengan pasukan kecil itu, Achilles sukses merebut pantai dan memukul balik tentara Troya.

Sontak, Agamemnon kian gusar dengan tingkah Achilles yang seenaknya. Ia menolak memberi kredit pada Achilles atas kemenangan mereka di pantai Troya.

“Raja tidak berlutut di hadapan Achilles. Raja tidak memberi penghormatan pada Achilles,” tegas Agamemnon. “Sejarah mencatat para raja, bukan prajuritnya!”

Tersinggung, Achilles mogok dari pertempuran. Dalam perang terbuka, pasukan yang dipimpin Hector, Pangeran Troya, sukses memukul mundur pasukan Agamemnon. Di sisi lain, Achilles justru menjalin romansa dengan Briseis, sepupu Hector yang jadi tawanan setelah penyerbuan pantai Troya. Ia pun semakin kehilangan semangat untuk berperang.

Pasukan Troya bermaksud menghabisi pasukan Yunani dengan melakukan serangan mendadak ke pantai. Dalam prosesnya, para prajurit Myrmidon ikut bertempur di bawah pimpinan Patroclus, sepupu Achilles. Patroclus sengaja mengenakan seragam perang Achilles dan maju ke medan perang untuk meningkatkan semangat juang pasukan Yunani.

Patroclus memang sembrono. Selama ini ia dilatih bermain pedang langsung oleh Achilles. Namun Achilles sendiri merasa sepupunya itu belum siap terjun dalam pertempuran sesungguhnya. Benar saja, saat itu Patroclus justru tewas di tangan Hector.

Sosok Patroclus di dalam Diri Villas-Boas

foto: thesun.co.uk
foto: thesun.co.uk

Dalam kisah Mourinho, muncul pula Patroclus dalam diri André Villas-Boas. Pada usia 25, Villas-Boas telah menjadi staf Mourinho di Porto yang bertugas memata-matai serta menganalisis kekuatan dan kelemahan lawan. Mourinho terkesan dengan ketelitian Villas-Boas hingga terus mengajaknya bekerja sama saat ia hijrah ke Chelsea dan Inter Milan.

Halaman berikutnya, Kembalinya Sang Achilles

Komentar