El Clásico Sebagai Wadah Eksistensi Pemain

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

El Clásico Sebagai Wadah Eksistensi Pemain

Oleh: Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Sejarah panjang sepakbola (mungkin) tidak pernah berhenti dibicarakan hingga nanti manusia tidak lagi hidup di muka bumi, atau, mungkin, saat manusia sudah lagi tidak menganggap sepakbola sebagai sebuah hal yang jauh lebih penting dari hidup atau mati. Pun demikian dengan kisah-kisah mengenai El Clasico di Spanyol sana.

Pertaruhan gengsi dalam semangat El Clasico di tiap zamannya yang mempertemukan Real Madrid dan Barcelona kerapkali menjadi sesuatu yang memikat. Saya tidak berbohong kalau saya selalu menantikan datangnya pertandingan antar kedua kesebelasan ini.

Saya tidak mau menjadi pribadi nihilis yang menganggap duel gengsi dua kesebelasan ini sebagai sesuatu yang biasa saja dan tidak bermakna. Legenda dan pemain hebat mungkin menjadi tua dan pergi, namun euforia dan semangat dalam merayakan adu gengsi antara poros wilayah Madrid dan Katalunya adalah sesuatu yang mungkin tidak bisa sering-sering anda temui dalam satu musim kompetisi tiap tahunnya.

Mereka hanya bertemu dua kali dalam satu kompetisi Liga. Kalau-kalau kita beruntung bisa menyaksikan mereka bertemu di Copa Del Rey atau kompetisi Eropa, namun, apa mungkin itu terjadi dengan frekuensi yang besar saat ini, saat di mana persaingan beberapa kesebelasan di dalam Spanyol sendiri dan di Eropa sudah sedemikian ketat?

Namun, mengutip apa yang saya tulis di paragraf awal, timbul pertanyaan pribadi saya bahwa, benarkah El Clasico layak untuk dijadikan sebuah pertandingan yang begitu prestisius bagi Real Madrid dan Barcelona? Bagaimana kalau kemudian El Clasico sejatinya hanya wadah eksistensi saja bagi para pemain kedua kesebelasan? Bagaimana kalau kemudian El Clasico hanya terlihat mewah dan besar karena framing media? Dan bagaimana kalau sejatinya, El Clasico hanya panggung opera untuk Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo semata?

Jean-Paul Sartre, seorang tokoh eksistensialis, salah satu filsuf besar Prancis, pernah berujar dengan bombastis namun terdengar logis bahwa sejatinya sepakbola bukan merupakan olahraga tim. Sartre memilik obsesi untuk menghentikan pandangan bahwa sepakbola adalah olahraga tim. Sartre beranggapan bahwa sepakbola adalah ajang adu eksistensi antar sebelas pemain dari kedua kesebelasan untuk menunjukkan potensi dan kemampuan mereka sebagai pemain sepakbola.

Sebagai seorang eksistensialis taat, Sartre melihat sepakbola tidak lebih penting dari hidup atau mati. Dan jelas, Sartre menolak diktum yang dicetuskan Bill Shankly tentang sepakbola dan kehidupan.

Sartre, yang begitu terinspirasi karya-karya Nietzsche, mungkin menjadi menjadi sosok nihilis dengan mengecilkan peran sepakbola bagi hidup manusia. Namun, bagaimana kalau kemudian memang benar adanya sepakbola hanya sebuah wadah eksistensi pemain saja? Dan bagaimana kalau El Clasico pun memang seperti itu?

Sejak Lionel Messi mentas dari La Masia dan mencicipi debut di kesebelasan senior Barcelona era Frank Rijkaard, kehadirannya begitu signifikan dan membuat semua orang percaya bahwa Messi adalah Barcelona dan Barcelona adalah Messi. Secara tiba-tiba, tidak hanya di-alien-kan, namun La Pulga menjelma menjadi sosok yang begitu makrifat bagi suporter Barcelona. Messi dan Barcelona menyatu menjadi satu entitas tunggal.

Setelah itu, beberapa tahun kemudian, tepatnya pada bursa transfer musim panas di 2009, datang penantang utama eksistensi tunggal Lionel Messi di pentas La Liga berwujud Cristiano Ronaldo. Tidak hanya datang dengan status yang mentereng dan koleksi gelar yang menawan, Ronaldo pun datang dengan rekor pemain termahal dunia.

Tak hanya itu, bahkan Ronaldo datang dengan status pemain Real Madrid, rival abadi Barcelona. Dan ketika berbicara Barcelona, tentu kita berbicara tentang Lionel Messi. Dan cerita selanjutnya seperti yang kita semua tahu hingga detik ini bahwa Ronaldo dan Messi  adalah representasi masing-masing kubu.

Ronaldo mewakili Madrid dengan kekuatan dan keangkuhan khas kesebelasan ibu kota. Sedangkan di sisi lain, Messi mewakili Barca dengan nafas revivalis Katalunya berbalut bakat alami yang luar biasa hebatnya. Dan mau tidak mau, ketika dua kesebelasan bertemu, tanpa disadari kita akan terfokus kepada dua nama itu.

Mengutip pemikiran Sartre tentang eksistensi pemain dalam pertandingan sepakbola, bagaimana kalau kemudian saya asumsikan bahwa sebenarnya yang membuat El Clasico begitu mewah dan semarak adalah dua tokoh utama di masing-masing kubu tersebut? Bagaimana kalau kemudian, kita berlarut-larut dalam buai media bahwa El Clasico akan menarik karena mempertemukan dua kesebelasan terbaik di Spanyol dengan deretan prestasi yang melimpah, namun kemudian kita abai karena alam bawah sadar kita mungkin sepakat dengan Sartre, bahwa sejatinya, kita hanya mendamba menyaksikan duel Lionel Messi dengan Cristiano Ronaldo?

Saya percaya cukup utopis untuk menyakini pemikiran eksistensialis Sartre dalam sepakbola sebagai sesuatu yang begitu benar adanya, namun bukankah wajar kita seharusnya mulai bertanya apakah benar adanya kalau El Clasico hanya panggung eksistensi dari para pemain saja dan tidak lebih? Karena ketika kemudian si pemain bermain baik dalam El Clasico, dia akan terkenang selamanya dalam sejarah.

Ingat Ronaldinho yang mendapat standing applause di Santiago Bernabeu kala dia mempimpin Barcelona menghancurkan Real Madrid dengan skuat berisi Luis Nazario Ronaldo, Zinedine Zidane, David Beckham, Roberto Carlos hingga Iker Casillas? Bukankah kemudian yang diingat adalah eksistensi tentang kehebatan individu seorang Ronaldinho? Apa kemudian kita sadar bahwa sebenarnya itu adalah laga El Clasico? Ronaldinho saat itu, menurut hemat saya, benar-benar menjadi jauh lebih besar dan prestisius dari tajuk El Clasico itu sendiri.

Terlepas dari apa dan bagaimana Sartre menganggap sepakbola dan eksistensi, saya percaya bahwa selalu ada kisah dalam sepakbola yang kalau sejenak kita mau melihat dan mempelajari, itu akan terkuak dan bisa kita ambil ceritanya untuk dipahami dan diceritakan kembali. Saya percaya sepakbola tidak benar-benar selesai dalam 90 menit atau 120 menit atau bahkan saat adu pinalti kelar dan muncul kesebelasan pemenang, karena cerita-cerita dan hal-hal menarik dalam sepakbola selalu ada dan diam di sana, tertinggal di lapangan, menjadi cerita, dan kemudian, menjadi sejarah untuk diingat, bahwa sejatinya, sepakbola tidak pernah selesai.

Penulis adalah pria manis pengggemar masak-memasak, bisa dihubungi di @isidorusrio_

foto: sofascore.com

Komentar