Tiada Oranye di Paris

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Tiada Oranye di Paris

Judul di atas bukan plesetan atas buku Seno Gumira Adji Darma, Tiada Ojek di Paris. Ini menyangkut pertaruhan kesebelasan sebuah negara yang dijuluki Tim Oranye, Belanda. Setelah kalah di pertandingan terkahir babak kualifikasi Piala Eropa 2016 dari Republik Ceko dengan skor 3-2. Praktis, tidak ada lagi tiket menuju Paris, ibu kota Perancis di mana pertarungan tim nasional benua biru digelar.

Ditulis oleh: F Daus AR

Akhirnya, pesimisme Arjen Robben: "Kami sedih karena nasib tim bukan lagi kami yang tentukan" menemui wujudnya. Tiada oranye di Paris. Meskipun Belanda memenangkan laga terakhir dengan skor 100 kosong sekalipun, tetap saja bukan jaminan. Perbuatan paling keji, Belanda harus berdoa agar Turki kalah dari Islandia. Mengapa? sebab itulah garansinya supaya Belanda mengikuti babak playoff memperebutkan empat tiket tersisa.

Dalam sejarahnya, Belanda telah tiga kali gagal melangkah ke putaran final pertandingan besar, justru ketika dalam tim masih bercokol pemain hebat. Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Marco van Basten harus memupus impian berlaga di Piala Dunia tahun 1986 di Meksiko. Patrick Kluivert, Denis Bergkamp, Jaap Stam, termasuk Clarence Seedorf dan si gimbal Edgar Davids tidak merumput di Jepang-Korsel kala Piala Dunia 2002 digelar di dua negara itu. Dan kini, kembali, Belanda alpa di Perancis, seolah mengulang peristiwa 31 tahun silam ketika kota Paris tidak diwarnai lautan oranye di Piala Eropa 1984.

Belanda sebagaimana negara Eropa lain, memiliki pembibitan pemain muda yang apik sehingga tidak pernah kehabisan stok pemain hebat di zamannya masing-masing. Tim Oranye hari ini, yang gagal meraih tiket ke Perancis, masihlah sisa Piala Dunia 2010 dan 2014. Tulang punggung tim ada pada Wesley Sneijder, Arjen Robben, Nigel de Jong, Robbin van Persie. Para pemain senior ini dipadukan dengan pemain muda bersinar di Piala Dunia 2014 seperti Memphis Depay atau Daley Blind.

Semestinya Belanda melewati babak kualifikasi dengan baik-baik saja. Mereka disokong oleh para pemain yang pernah merasakan babak final Piala Dunia 2010 dan juara ketiga di Piala Dunia 2014. Tetapi, ada yang belum dapat dijawab oleh pelatih pengganti Louis van Gaal, Guus Hiddink yang malah mundur usai menerima lima kekalahan dari sepuluh laga selama kualifikasi.

Melanjutkan sisa perjuangan, Danny Blind selaku asisten naik jabatan menemani pasukan Tim Oranye melewati hari-hari penuh teror. Belanda pincang dan tidak dapat menjalankan kerangka kerja Total Footbal sebangga-bangganya. Perlu diketahui kalau van Gaal menolak menggunakan pola menyerang klasik 4-3-3 dan lebih senang mengoptimalkan potensi setiap pemain dengan pola 5-3-2. Hasilnya, Belanda menambah catatan selaku juara tanpa trofi.

Legenda Belanda, Johan Cruyff, menyimpulkan kalau pencapaian di Brasil tidak dianalisis secara tepat, dan pelajaran tidak dipelajari. Pelajaran yang tidak dipelajari adalah peralihan skuat tim. Selepas Piala Dunia 2010, sejumlah penggawa menungundurkan diri dan dilanjutkan calon legenda yang lain. Giovanni van Bronckhorst dan Mark van Bommel mau tidak mau harus angkat kaki akibat seleksi alam saat usianya sudah kepala tiga. Sementara John Heitinga yang juga sudah uzur ditambah mendapat kartu merah di partai puncak didepak van Gaal.

Cruyff hendak mengatakan kalau perlunya penyegaran di tubuh tim. Memang tidak perlu semua karena anak ayam pun butuh bimbingan induknya. Perpaduan pemain junior dan senior bisa diterapkan seperti yang dilakukan Spanyol pada 2008 dengan mengenyahkan Raul Gonzalez dan menggantinya dengan penyerang yang lebih muda seperti Fernando Torres dan David Villa.

Kaus yang Tertukar

Sebagaimana Sneijder, Van Persie tumbuh di Tim Oranye dengan bayang-bayang pesaing. Huntelaar, adalah penyerang langganan Belanda selain eks bomber Arsenal dan MU itu. Usia keduanya sama, kini 32 tahun, pembedanya, di hari-hari mudanya Huntelaar lebih banyak duduk di bangku cadangan Real Madrid hingga AC Milan ketika di waktu bersamaan Van Persie telah menjadi tumpuan di Arsenal sebelum ke MU. Besar kemungkinan itulah alasan Huntelaar sebatas bayangan yang setia duduk di bangku cadangan.

Di Tim Oranye, komposisi di Piala Dunia 2014, misalnya, Huntelaar memakai nomor 19 dan Van Versie nomor 9. Situasinya jelas, nomor 9 pemain inti dan 19 hanyalah pelapis. Di pertandingan kualifikasi penggunaan nomor punggung kadang tidak menjadi pakem. Menggunakan pendekatan semiotik, perubahan pemakai nomor punggung dapat dibaca sebagai perubahan situasi.

Filsuf asal Perancis, Roland Barthes, secara sederhana dalam kajian semiotiknya dapat dijabarkan ke dalam dua kategori. Pertama, disebut denotasi yang berarti makna sesungguhnya dari fenomena yang selama ini dilihat. Jadi, nomor 9 sangat identik dengan pemain berposisi penyerang. Sebelum Van Persie, denotasi nomor 9 adalah Kluivert. Setelahnya barulah Van Persie. Dan, di laga penyisihan melawan Ceko, nomor yang digunakan Huntelaar adalah 9 sementara Van Persie memakai kaus nomor 19.

Kembali menyambung kajian semiotik Barthes, setelah denotasi ada konotasi yang bermakna telah terjadi pergeseran namun tetap identik dengan tanda teresebut. Mengapa Huntelaar dan Van Persie bertukar kaus. Memang di pertandingan kualifikasi sebagaimana disebutkan sebelumnya, penggunaan nomor punggung tidaklah pakem yang juga terjadi pada tim yang lain. Namun, konstruksi antara Van Persie dan Huntelaar yang bermain secara bersamaan menunjukkan tegasnya pergeseran menyangkut ujung tombak, terlepas kemudian gol bunuh diri yang dilakukan van Persie.

Selain penyerang, bayang kembar juga terjadi di lini tengah antara Sneijder dengan Rafael van der Vaart. Usianya terpaut setahun, Vaart 32 tahun dan Sneijder 31 tahun. Di karier klub, Sneijder lebih dulu di Real Madrid (2007-2009) sebelum Vaart masuk di tahun 2008 hingga 2010.

Sneijder menemukan kecemerlangan bermainnya kala di Serie A saat berseragam Internationale Milan dan meraih trible winner di musim 2009/2010. Sedangkan Vaart usai tersisih dari Real Madrid, ia hanya bermain sebanyak 63 kali dengan 24 torehan gol dari tahun 2010 hingga 2012 di Tottenham Hotspur tanpa juara tentunya. Penampilan di Tim Oranye, sejak 2003, Sneijder telah mencatat 100 lebih dan Vaart yang lebih dulu bermain di tahun 2001 baru mencatat 93 caps.

Jelaslah data persaingan dua gelandang serang ini di Tim Oranye, adanya dua kekuatan yang hampir seimbang menjadi sandungan tersendiri bagi pelatih. Apakah ini nasib sial dua pemain dari generasi yang sama di mana salah satunya harus terlupakan. Persis di sinilah apa yang dialami pemain Belanda, nampaknya terjadi benturan generasi atau terpotongnya siklus pemakai baju oranye.

foto: commons.wikimedia.org

Penulis saat ini terlibat kerja apa saja, termasuk berusaha menulis tentang sepak bola. Mengumpulkan tulisan di kamar-bawah.blogspot.com. Beredar di dunia maya dengan akun Twitter https://twitter.com/21september86"
>@21september86

Komentar