Adaptasi adalah Koentji!

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Adaptasi adalah Koentji!

Ditulis oleh Ageng Budi Daya

Sejarah mencatat, bukan hanya kemampuan individu pesepakbola yang berperan pada kesuksesan, namun juga kemampuan adaptasi dalam lingkungan, budaya dan bahasa.

Jamak terjadi, ketika seorang pemain memutuskan untuk merantau ke negara, atau bahkan benua lain untuk berkarier, dia serta merta mempertimbangkan faktor lingkungan, kampung halaman, misalnya. Yang saya maksud kampung halaman di sini adalah, adanya kesamaan atau paling tidak mendekati apa yang menjadi jati dirinya. Sebagai contoh Martin Montoya menerima pinangan Inter Milan karena banyak pemain di klub tersebut yang mampu berbicara bahasa Spanyol dengan fasih. Baginya, kondisi seperti ini bakal membantunya untuk bisa melewati proses adaptasi dengan cepat.

Menyoal keabsahan jargon sepakbola sebagai bahasa universal, silakan bertanya kepada Ian Rush tentang alasan kegagalannya di Juventus, atau Mourinho tentang apa yang pertama diemban kala membuka jalan kariernya menjadi pelatih. Anda akan segera menemukan jawaban sama: bahasa.

Ian Rush, legenda Liverpool sekaligus andalan lini depan timnas Wales, memutuskan untuk mencari pengalaman baru saat bergabung dengan raksasa Italia, Juventus pada tahun 1987. Secara teknis, liga Italia memang terkenal lebih taktikal jika dibandingkan dengan liga Inggris, yang �"hanya�" mengandalkan kick and rush.

Taktik di Italia seperti jati diri permainan. Pertahanan grendel yang masih kental ketika itu, dibutuhkan kerjasama kolektif yang sangat sempurna untuk dibongkar, ketajaman kaki dan kepala Rush, rupanya tak cukup menaklukan pentingnya komunikasi antar rekan tim dan pelatih di dalam lapangan. Rush pun hanya bertahan satu musim dan kembali ke tanah Inggris (lagi) bersama Liverpool.

Jose Mourinho pertama dikenal publik ketika menjadi penerjemah Sir Bobby Robson di Barcelona. Kemampuannya dalam menguasai banyak bahasa, dimanfaatkan Robson yang berkebangsaan Inggris untuk mengarungi kompetisi liga Portugal dan Spanyol sepanjang tahun 1992-1996. Seringnya menjadi perantara komunikasi teknis antara pelatih dan pemain rupanya turut mengasah kemampuan manajerial Mourinho hingga membawanya menjadi pelatih sukses yang kita kenal kini.

Secara umum, bahasa bisa diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar bisa saling mempengaruhi. Pep Guardiola, rela mengambil kursus bahasa Jerman di tengah-tengah cuti melatihnya demi melancarkan komunikasi dengan pemain dan lingkungan barunya di Bayern Munchen.

Simak cerita tentang Rakitic dan pentingnya kemampuan berbahasa


"Pep seperti biasa, ia selalu seperti orang gila, belajar bahasa Jerman empat jam setiap hari;" kata kakak sekaligus agen Pep Guardiola. Hasilnya, dalam konferensi pers pertamanya sebagai pelatih Munchen, ia berani menyapa para wartawan dengan bahasa Jerman, walau terbata.

Glosari: Mengenal Posisi dan Peran Pemain dalam Bahasa Jerman

Glosari: Mengenal Posisi dan Peran Pemain dalam Bahasa Italia


Pentingnya kemampuan bahasa bagi pemain dan pelatih rupanya tak bisa disepelekan. Sepakbola saat ini dibangun dengan taktik dan strategi yang rumit, pergerakan dengan atau tanpa bola diharuskan dapat dikuasai oleh para pemain di atas lapangan dengan baik.

Instruksi pelatih dari pinggir lapangan tentunya akan normal kita dengar, jika seorang pemain tak paham apa yang dikatakan pelatih, lalu apa yang terjadi di lapangan nantinya? Shinji Kagawa mengaku merasa kesulitan saat menerima instruksi Alex Ferguson yang menggunakan logat Glaswegian, mungkin inilah salah satu penyebab mengapa tak bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya di Manchester United.

�"Saya sulit menggambarkan apa yang dia katakan. Saya berusaha belajar bahasa Inggris, tapi memahami ucapan manajer mungkin membutuhkan waktu lebih lama;�" ungkap Kagawa.

Kagawa rupanya tak sendiri, kompatriotnya dari benua Asia, Park Ji Sung, pun mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya saat memulai karier di Manchester.

�"Hari-hari itu, saya tidak benar-benar mengerti apa yang Alex Ferguson katakan. Ketika dia bertanya apakah aku mengerti apa yang ia katakan, aku hanya bilang ya �" ungkap Park Ji Sung.

Ferguson dan Mourinho adalah contoh pelatih yang memiliki kemampuan kata-kata yang luar biasa. Mourinho dengan kemampuan motivasinya, bahkan mampu membuat seorang Ibrahimovic bersedia mati untuknya. Atau kemampuan hairdryer treatment milik Ferguson yang dengan serta merta merubah loyonya Manchester United di babak pertama, mendadak menjadi tim penuh semangat juang luar biasa di babak kedua. Mungkin tak akan ada cerita-cerita di atas jika pemain sama sekali tak paham apa yang dibicarakan pelatih.

Sepakbola telah menyentuh banyak lapisan masyarakat di penjuru dunia sejak lama. Hadirnya Piala Dunia (Jules Rimet ketika itu) menjadi bukti bahwa sepakbola adalah pemersatu umat manusia. Di era sepakbola modern, banyak klub besar Eropa yang mulai mencari bibit-bibit muda di sejumlah negara di Amerika Selatan yang memiliki perbedaan baik dari segi budaya maupun bahasa.

Pemain-pemain Asia pun tak ketinggalan meramaikan bursa transfer tiap tahunnya, meskipun banyak yang mencibir jika pada awalnya, alasan perekrutan pemain Asia lebih bersifat mencari keuntungan finansial belaka.

Dari banyak contoh kasus sulitnya pesepakbola beradaptasi pada budaya dan bahasa baru, rupanya masih banyak juga cerita-cerita baik yang patut diteladani seputar perbedaan bahasa. Carlos Tevez, yang baru saja menyudahi karier Eropa-nya dengan kembali ke Argentina, mengaku jika ia malas belajar bahasa lain sepanjang hidupnya, namun kemampuan mengolah bolanya tetap disegani dunia. Kontribusinya pada klub yang dia bela tak terhalang kendala bahasa. Guus Hiddink walaupun tak paham bahasa Korea sama sekali, tetap mampu menorehkan prestasi luar biasa untuk Korea Selatan di Piala Dunia dengan menggapai semifinal.

Anggapan sepakbola sebagai bahasa universal memang bukan lagi persoalan tepat atau tidak tepat. Eropa yang menjadi kiblat sepakbola saat ini, membuat banyak orang berlomba untuk dapat berkarier di benua tersebut. Jika bahasa adalah ketakutan utama seorang pemain dalam berkarier, kita mungkin tak akan mengenal nama Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi dalam jajaran pemain top Eropa hingga kini.

Rupanya, ada faktor utama yang mempengaruhi sukses atau gagalnya seorang pemain dalam berkarir, selain adaptasi bahasa, mental bertanding menjadi yang sangat penting. Dengan kemampuannya mengatasi masalah dan tekanan dari luar, rupanya menjadi nilai utama mengapa ada istilah sepakbola adalah bahasa universal.

Penulis bekerja di salah satu stasiun TV swasta di Jakarta, dapat dihubungi lewat akun Twitter @agengbd

Komentar