Stadion Utama Riau: Antara Euforia, Uang, dan Kekuasaan

PanditSharing

by redaksi

Stadion Utama Riau: Antara Euforia, Uang, dan Kekuasaan

Oleh: Ramzy Muliawan


Stadion adalah monumen untuk semua ayah yang sudah mati. Ia adalah monumen untuk para orang biasa. Demikian puisi seorang Belanda bernama Henk Spaan.

Pada awalnya, stadion memang dibangun sebagai tempat yang sakral bagi tim sepak bola. Tapi stadion juga jadi tempat seorang ayah tertawa dan menangis, sembari memperkenalkan dunia sepak bola kepada anaknya.

Dalam stadion, para suporter yang datang dari perantauan dapat melepaskan rindunya kepada klub pujaan dan melebur dengan mereka-mereka yang mengenakan identitas sama. Entah itu warna tim, atau sekadar gambar pada logo klub.

Stadion adalah tempat suporter suatu klub, tanpa malu-malu, bisa bernyanyi dan bergoyang mendukung klub kesayangannya. Sampai batas tertentu, stadion juga menjadi arena ekspresi kebencian pada satu klub tertentu.

Stadion adalah suatu entitas. Suatu institusi sosial yang adiluhung: menggambarkan kekuatan, kebesaran dan kekuatan suatu klub atau negara.

Tapi bagaimana jika stadion itu kosong melompong selama bertahun-tahun? Apa jadinya jika stadion hanya dipakai sekali, lalu dibiarkan begitu saja?

Inilah yang terjadi pada Stadion Utama Riau, Pekanbaru.

Awalnya, stadion berkapasitas 40,000 tempat duduk ini digadang-gadang sebagai stadion masa depan. Dengan arsitektur ciri khas kebudayaan Melayu Riau, yaitu sampan dan dua patung songkok –tutup kepala khas Melayu– di pintu masuknya, Stadion Utama dipuji-puji sebagai mahakarya anak bangsa di provinsi kaya minyak ini.

Bahkan, anggaran pembangunannya pun tak tanggung-tanggung, mencapai 900 miliar rupiah! Ini setara dengan enam kali biaya pembangunan Stadion Si Jalak Harupat di Bandung, yang “cuma” mencapai 135 milyar rupiah.

Tak heran pula ada yang menggodok wacana pengusulan stadion ini menjadi salah satu stadion terbaik dunia. Bukan apa-apa, rumputnya dibeli khusus dari Australia. Jika pemerintah pusat  mengimpor sapi dari sana, maka warga Riau kebagian jatah rumputnya saja.

Sementara itu, bangkunya diimpor langsung dari Malaysia, diborong bersama papan skor. Konon katanya, kursi di stadion ini juga tahan api. Entah benar entah tidak. Namun yang jelas, tentu pembangunan stadion ini telah menggelontorkan fulus yang tak sedikit.

Namun, angka tetaplah angka, yang hanya berbicara di atas kertas, tidak di lapangan. Di balik pembangunan stadion ini, tersimpan sebuah elegi pahit.

Stadion Utama awalnya memang dibangun untuk menyambut Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012 yang berlangsung di bumi bertuah ini. Menjelang berlangsungnya pekan olahraga tahunan itu, Kualifikasi Piala Asia AFC U-22 digelar terlebih dahulu. Kala itu Indonesia memang mendapat kehormatan menjadi tuan rumah.

Kehormatan yang pahit, karena kita sendiri gagal melaju ke putaran final setelah ditekuk Jepang 1-5. Stadion Utama pun mulai kerap jadi pembicaraan warga Riau yang bangga dengannya. Bahkan, menyebar kasak-kusuk bahwa kelak PSPS Pekanbaru akan bermain di stadion ini.

Acara pembukaan PON yang megah meriah pun dilangsungkan di Stadion Utama.Tapi, final cabang sepak bola PON justru digelar nun jauh di sebelah utara kota, di Stadion Kaharuddin Nasution, kandang PSPS. Selepas PON, barulah terkuak kasus suap yang menyeret  pejabat-pejabat Pemerintah Provinsi. Bahkan Gubernur Rusli Zainal pun terpaksa mendekam di hotel prodeo karena kena getah skandal ini.

Bagaimana nasib Stadion Utama?

Selepas PON memang baru terkuak bahwa Pemprov Riau mempunyai utang yang tak langsai  ke kontraktor stadion. Utang ini mencapai Rp 100 miliar. Tak heran jika untuk menyelamatkan muka Indonesia di mata dunia, Islamic Solidarity Games pun dipindahkan dari Pekanbaru ke Palembang. Stadion Utama semakin ditinggalkan.

Seusai pesta megah pembukaan PON, tak ada lagi pertandingan sepak bola digelar di stadion ini. Kini nasibnya pun kian tak jelas dari hari ke hari. Kontraktor yang berang, membentangkan spanduk tagihan di area taman hijau dekat bangunan stadion.

Satu demi satu ubin stadion lepas dari tempatnya. Fasilitas umum, yang seharusnya dimanfaatkan oleh rakyat, menjadi suatu elegi pahit. Stadion Utama terpisahkan dengan jiwanya –para suporter dan orang-orang biasa-- oleh uang dan kekuasaan.

Perlahan tapi pasti, Stadion Utama menjadi sesuatu yang telah mangkrak. Tak ada pesepakbola yang bermain di sini. Orang-orang yang datang dan pergi hanyalah para pedagang yang menjajakan dagangannya, geng motor yang kebut-kebutan di jalan aspal (yang tentu saja dibangun dengan APBD provinsi), pasangan muda mesum, dan Satpol PP yang meraung-raung sana sini mencari para bromocorah kecil yang menangguk di air keruh.

Stadion Utama adalah korban euforia, uang dan kekuasaan. Semenjak awal, pembangunannya diselimuti euforia hebat dari warga Riau yang telah lama mengidam-idamkan modernitas di provinsi ini.

Janji-janji manis dilempar oleh pemerintah yang mengatakan bahwa pembukaan Stadion Utama untuk umum adalah bukti “pemerataan pembangunan”. Namun yang terjadi adalah para pejabat meratakan duit anggaran kepada kolega-kolega mereka. Kekuasaan telah menyedot seluruh harapan masyarakat untuk menyaksikan laga sepak bola kelas dunia di stadion ini.

Euforia pun surut, tertelan dengan kasus yang satu demi satu menampar muka para elit yang haus kekuasaan.

Mungkin, Stadion Utama belum sesakral Old Trafford atau seikonik Gelora Bung Karno. Namun, biarlah ia tegak berdiri di sana. Bukan sebagai monumen untuk orang-orang biasa yang merindukan sepakbola. Tapi sebagai batu penanda bahwa spesies bernama manusia pernah begitu rakus dan tamak terhadap uang dan kekuasaan.

Tulisan ini dikirim oleh:


Ramzy Muliawan, seorang pelajar dan (pura-pura) penulis sepak bola. Suporter Semen Padang dan pengagum Juventus. Biasa berkicau di @ramzymuliawan.

Komentar