Bob Dylan dan Sikap Anti Mainstream

Backpass

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Bob Dylan dan Sikap Anti Mainstream

Dunia kesusastraan pernah dibuat terkejut oleh Komite Nobel, yang menganugerahkan Nobel Kesusastraan 2016 kepada Bob Dylan.

Perdebatan kemudian muncul karena musisi kelahiran Minnesota, 24 Mei 1941 ini bukan penulis novel, puisi, atau naskah drama. Dylan pencipta lirik. Bagi sebagian orang, karya Dylan bukan karya sastra.

“Tulisan Dylan tidak bisa dipisahkan dari musiknya. Dia menjadi hebat karena dia musisi yang hebat. Ketika panitia memberikan hadiah itu kepada seorang musisi, mereka kehilangan kesempatan untuk menghormati seorang penulis,” kritik kolumnis The New York Times, Anna North.

North menambahkan, anugerah untuk para musisi sudah ada tempatnya pada Rock and Roll Hall of Fame atau Grammy Award. Bagi North, logika ini salah kaprah karena akan aneh jika nama Haruki Murakami tiba-tiba muncul di Rock and Roll Hall of Fame.

Swedish Academy selaku panitia bersikukuh bahwa Dylan layak menerima Nobel Sastra. Sara Danius, Sekretaris Permanen Swedish Academy, mengatakan bahwa Dylan merupakan penyair hebat dalam tradisi berbahasa Inggris. Tolok ukur hebat ini multitafsir. Panitia hanya dianggap sedang mempraktikkan sikap anti mainstream terhadap pakem kesusastraan dunia.

Sejak penghargaan Nobel Sastra dihelat pada 1901, mayoritas pemenang adalah tokoh-tokoh yang berkecimpung di ranah fiksi seperti penulis novel, puisi, atau naskah drama. Lirik yang digurat Dylan memang indah dan punya kisah, tetapi memenangkan sosok musisi di ranah sastra dianggap sikap yang nyeleneh.

Namun keputusan panitia sudah bulat. Dylan mengaku peluang untuk memenangkan Nobel sangat kecil dengan mengibaratkan pencapaian itu seperti berdiri di atas bulan.

***

Sepakbola memang bukan sastra, namun keduanya punya tolok ukur yang sumir tentang apa itu hebat. Lionel Messi pesepakbola hebat jika produktivitas yang dijadikan tolok ukur. Namun apakah Messi juga hebat di bawah mistar gawang?

Jauh sebelum Messi lahir, tepatnya pada 1963, pernah ada penjaga gawang yang meraih penghargaan pemain terbaik. Lev Ivanovich Yashin tercatat sejarah sebagai satu-satunya penjaga gawang peraih Ballon d’Or. Artinya, Ballon d’Or bukan tentang pemain depan saja.

Pada 2006 juga Ballon d’Or tidak dianugerahkan kepada pemain depan. Adalah Fabio Cannavaro yang meraih penghargaan itu. Yashin dan Cannavaro seolah menjelma mitos ketika akhir-akhir ini Ballon d’Or hanya dianugerahkan kepada Messi atau Cristiano Ronaldo.

Bagi saya, pemain yang sering mencetak gol dengan pemain yang sering menyelamatkan gawang sama hebatnya. Hanya saja, sepakbola seolah punya pakem terhadap definisi pesepakbola hebat dalam diri Messi dan Ronaldo, sehingga pertanyaan yang tepat adalah: kapan fenomena Bob Dylan terjadi di dunia sepakbola?

Penghargaan untuk para pemain hebat di bidang sepakbola bukan hanya Ballon d`Or. Pada 2017, pemain terbaik Liga Inggris versi PFA dianugerahkan kepada N`golo Kante. Kante mengalahkan Eden Hazard, Zlatan Ibrahimovic, Alexis Sanchez, Romelu Lukaku, dan Harry Kane. Kecuali Kante, semua nama itu berposisi pemain depan. Bahkan, Lukaku dan Kane adalah dua pemain paling subur musim itu.

Lantas apakah PFA selaku panitia saat itu sedang bersikap anti mainstream?

Sejak 2006, PFA selalu memberi penghargaan kepada para pemain depan. Artinya, fenomena Bob Dylan sudah terjadi di Liga Inggris. Namun di tingkat dunia, nama Messi dan Cristiano mendominasi dan menjadi kelaziman. Performa mereka musim ini juga tidak memburuk, sehingga jika ada nama baru peraih Ballon d`Or musim ini, maka peluang pemain itu seperti berdiri di atas bulan.

Komentar