Merindukan Stoichkov di Era Media Sosial

Backpass

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Merindukan Stoichkov di Era Media Sosial

Mendapatkan seorang pemain yang bisa mewakili filosofi klub sekalipun mendapatkan citra buruk dari publik secara luas adalah sebuah anugrah besar bagi para suporter. Beruntung bagi FC Barcelona, mereka pernah memiliki Hristo Stoichkov.

***

Pada 10 Oktober 2017, Kementerian Luar Negeri Bulgaria mengumumkan bahwa Stoichkov telah dibebastugaskan sebagai konsultan kehormatan Bulgaria di Barcelona. Kebijakan ini diambil setelah Stoichkov mengkritik wakil presiden Pemerintahan Spanyol, Soraya Saenz de Santamaria, secara terbuka di acara televisi Univision Sports.

“Kakeknya adalah seorang Francoist, ayahnya adalah seorang Francoist, dan ia juga pro-Franco,” tutur Stoichkov, menyusul penyerangan polisi terhadap para pemungut suara dalam Referendum Kemerdekaan Katalan yang memang tidak diakui secara sah oleh pemerintah Spanyol pada 1 Oktober. “Anda tidak bisa mengirim polisi untuk memukuli orang-orang tidak bersalah. Pemerintahan Spanyol sungguh memalukan.”

Stoichkov kemudian meminta maaf karena melabeli keluarga Soraya sebagai Franciost (penganut ideologi fasis Jenderal Francisco Franco). Walau demikian, ia tidak peduli komentar itu membuatnya kehilangan jabatan. Ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya dalam membela kemerdekaan Katalan.

Bagi kebanyakan orang, sikap Stoichkov tentu dinilai kelewat batas, namun tidak demikian bagi para suporter Barcelona dan warga Katalan. Stoichkov, dengan segala keberaniannya (baca: nekat), adalah pahlawan FC Barcelona di dalam lapangan, dan Katalan di luar lapangan.

***

Stoichkov bergabung dengan FC Barcelona pada 1990. Ia didatangkan dari CSKA Sofia dengan menenteng trofi Sepatu Emas Eropa di tangannya dan sebuah sports car berwarna merah sebagai maharnya.

Pemain kelahiran 8 Februari 1966 tersebut tidak membutuhkan waktu lama untuk membuktikan kapasitasnya. Ia langsung mengantarkan Barcelona meraih titel juara Liga Spanyol pada musim pertamanya, serta tiga musim berikutnya secara berturut-turut.

Kehebatan Stoichkov bersama Barcelona tidak hanya sebatas di level nasional. Ia merupakan bagian penting dari ‘Dream Team’ asuhan pelatih Johann Cruyff yang menjuarai Liga Champions pada 1992.

“Ia bisa berlari seperti Carl Lewis (atlet lari Amerika Serikat peraih 9 medali emas Olimpiade), mengoper bola seperti Ronald Koeman, dan penyelesaian akhir yang dapat dikatakan lebih baik ketimbang Gary Lineker,” ujar mantan winger Barca, Lobo Carrasco. “Dan yang terpenting, ia memiliki mala leche.”

Mala leche dapat diartikan sebagai seseorang dengan temperamen buruk, agresif, dan sedikit kegilaan – karakteristik yang terlihat sangat jelas dalam diri Stoichkov.

Ketika masih membela CSKA Sofia, Stoichkov pernah terlibat dalam sebuah keributan besar di partai Final Piala Bulgaria 1985 melawan Levski Sofia. Ia mendapatkan sanksi larangan bermain seumur hidup, tetapi kemudian direduksi (besar-besaran) menjadi satu tahun berkat protes besar bukan hanya dari para suporter CSKA Sofia, melainkan dari mayoritas warga Bulgaria yang merasa sang bintang telah direnggut dari mereka.

Kegilaan Stoichkov berlanjut setelah pindah ke Barca. Dalam laga El Clasico pertamanya, ia mendapatkan kartu merah karena menginjak kaki wasit. Cruyff tidak bisa berbuat banyak untuk mengontrol tingkah dan perilaku Stoichkov. Ia bahkan mengaku membutuhkan karakter seperti Stoichkov karena telah “memiliki terlalu banyak pria baik-baik” di dalam skuat.

Selain itu, Stoichkov secara terbuka mengatakan bahwa ia membenci Madrid. “Setiap pertandingan melawan Madrid seperti pertandingan hidup dan mati bagi saya. Ketidakadilan (yang warga Katalan rasakan) di masa lalu juga menjadi bagian dari saya.”

Dalam kemenangan Barca dalam final Liga Champions 1992 di Stadion Wembley, Stoichkov tidak ragu untuk menyuarakan dukungannya terhadap kemerdekaan Katalan.

Fanatisme Barcelonsimo tersebut dibawa oleh Stoichkov ketika bersama dengan tim nasional Bulgaria. Ia pernah mengibarkan bendera Katalan dari balkon kamar hotelnya jelang laga penyisihan grup Piala Dunia 1998 melawan Spanyol. Ketika menjadi pelatih Bulgaria, ia bahkan diketahui pernah mengusir seorang anak berusia tujuh tahun karena datang berlatih mengenakan seragam Los Blancos.

Bukan hanya Madrid saja yang menjadi ‘musuh’ Stoichkov. Jika terjadi hal-hal di dalam klub yang kurang sesuai dengan pendapatanya, ia tidak sungkan untuk mengutarakan pendapat. Salah satu contohnya adalah pemecatan Sir Bobby Robson dan pemilihan Louis van Gaal sebagai pelatih Barca.

“Kepergian Robson tidaklah adil. Saya tidak ingi membuang-buang waktu untuk membicarakan Van Gaal karena harga dasi saya terlalu mahal!” ucap Stoichkov sambil tertawa.

Terlepas dari kegilaannya, Stoichkov juga dikenal sebagai sosok yang tidak takut untuk melindungi teman. Khusus untuk kasus ini, persahabatannya dengan Romario merupakan (satu-satunya) contoh paling ideal.

Pada awalnya Stoichkov mengatakan bahwa perekrutan Romario merupakan langkah bodoh dari klub karena peraturan di Liga Spanyol kala itu hanya membolehkan setiap klub memainkan tiga pemain asing (Barca sudah punya Stoichkov, Koeman, dan Michel Laudrup), tetapi pada akhirnya mereka menjadi sahabat karib – meski kemudian relasi tersebut merenggang sampai sekarang.

Ketika Romario meninju Diego Simeone, Stoichkov malah memuji pukulan Romario. “Sama hebatnya dengan pukulan (petinju) Mike Tyson,” kata Stoichkov. Stoichkov juga pernah memukul seorang paparazzi karena menggangu kehidupan pribadi Romario yang tengah menanti kelahiran anak pertamanya, Romarinho.

Ketika ayah Romario menjadi korban penculikan, adalah Stoichkov yang memberikannya dukungan moral tanpa henti.

***

Mencari pemain dengan karakter dan sikap seperti Stoichkov di era sekarang adalah hal yang terbilang mustahil. Seorang pemain sudah pasti tidak boleh mengatakan hal-hal buruk mengenai klub atau teman satu tim secara terbuka di hadapan media (seperti yang dilakukan oleh Stoichkov ketika Barca baru merekrut Romario). Mereka wajib menjaga nama baik klub dan rekan-rekannya, tak peduli seberapa rusak atmosfer di dalam ruang ganti.

Para pemain juga diminta untuk ‘melayani’ setiap sesi media secara tulus dan sepenuh hati. Dengan demikian, diharapkan media tidak akan membalas melalui pemberitaan buruk.

Bentuk kontrol teranyar adalah dalam penggunaan media sosial pribadi. Pemain tidak bisa mengunggah konten secara bebas karena diawasi oleh klub, agen, atau bahkan sebuah tim khusus. Menariknya, tidak sedikit pemain yang justru sukarela melakukannya demi personal branding.

Tak bisa dimungkiri, media sosial memang sudah menjadi sebuah alat pemasaran yang efektif dewasa ini. Sebagai contoh, berdasarkan laporan Hopper, seluruh media sosial penyerang Madrid Cristiano Ronaldo total bernilai 937 juta Dollar Amerika Serikat (sekitar 13,3 trilliun Rupiah) pada periode Juni 2016 hingga Juni 2017. Pada November 2017, harga per unggahan di akun Instagram CR7 dikabarkan mencapai angka 308.000 Paun (sekitar 5,8 miliar Rupiah).

Semua hal tersebut tidak bisa didapatkan Ronaldo tanpa prestasi dan menjaga sikap. Ia merupakan pemain yang relatif terbebas dari kontroversi. Jika Anda menengok akun Instagram Ronaldo yang memiliki 120 juta pengikut itu, tidak ada satupun unggahan mengenai hal-hal sensitif di luar lapangan hijau. Semua yang diunggah oleh Ronaldo hanya meliputi klub, iklan produk, kampanye sosial, dan sesekali kehidupan pribadinya – yang, tentunya, manis dan lurus-lurus saja.

Stoichkov tentu tidak memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menjadi bintang media sosial seperti Ronaldo. Bagaimanapun, justru kepribadiannya di luar lapangan jugalah yang membuat Stoichkov menjadi sosok istimewa, terutama bagi para suporter Blaugrana. Ia begitu dicintai karena telah menjadi satu dengan klub. Ia tidak hanya menjadi pemain yang bermain untuk digaji, melainkan juga untuk membela nilai-nilai klub.

Sekalipun bukan warga asli, Stoichkov berhasil merepresentasikan Katalan secara lantang, bahkan ketika sudah tidak berafilisiasi lagi dengan klub. Sosoknya membuktikan bahwa sepakbola seharusnya memang tidak terbatas dalam permainan dua kali 45 menit, apalagi terbatas oleh like dan share.

Komentar