Salary Cap dan Sepakbola yang Sulit Berjodoh

Klasik

by Dex Glenniza 59074

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Salary Cap dan Sepakbola yang Sulit Berjodoh

Lanjutan dari halaman sebelumnya

Jika kita melihat kompetisi lainnya juga, kita bisa melihat angka yang mirip-mirip. Di MLB misalnya, ada 10 tim yang bisa juara dalam 15 tahun terakhir. NFL dan NHL juga 10 tim dengan pengecualian pernah terjadi lockout pada NHL 2004/2005 sehingga tidak ada kompetisi pada musim tersebut, karena ada bentrok pada aturan salary cap. Kemudian di NBA juga terdapat 8 tim juara yang berbeda pada 15 tahun terakhir.

Jika kita bandingkan dengan sepakbola secara umum, kita bisa melihat liga-liga sepakbola di dunia masih didominasi oleh satu sampai empat kesebelasan saja setiap musimnya, bahkan di liga-yang-katanya-paling-kompetitif sekalipun seperti Inggris.

Liga Primer Inggris hanya memiliki 5 juara pada 15 tahun terakhir, La Liga Spanyol 4, Bundesliga Jerman 5, Serie A Italia 3, Liga Prancis 6, Liga Rusia 4, Eredivisie Belanda 4, Rumania 7, Belgia 5, Yunani 2, Portugal 3, Ukraina 2, dan Swiss 3. Hanya Liga Champions UEFA yang sedikit “lebih adil” dengan 9 juara dalam 15 tahun terakhir (tapi tetap saja masih ada plesetan terkenal: Uefalona).

Sementara di Asia, hal-hal terlihat sedikit lebih baik dengan Jepang memiliki 8 juara pada 15 tahun terakhir, Tiongkok 7 (tapi Guangzhou Evergrande dominan dalam enam musim terakhir), Malaysia 9, Arab Saudi 6, Singapura 7, Korea Selatan 6, dan Thailand 8.

Alasan salary cap tidak cocok diterapkan di sepakbola

Bagi orang-orang yang melihat olahraga sebagai bisnis, kita memang memiliki solusi untuk melindungi tim-tim dari menghabiskan uang terlalu banyak dan mengeliminasi tekanan inflasi, serta membantu menciptakan struktur yang lebih kompetitif yang memungkinkan ‘pasar yang lebih kecil dan adil’ untuk tim kecil bersaing dengan tim yang lebih besar. Solusi tersebut adalah salary cap.

Tapi jangan terlena, orang-orang Eropa tentunya tidak sebodoh itu untuk mengabaikan salary cap jika cara ini memang benar bisa menciptakan keadilan. Bukan karena gengsi juga tentunya, misalnya mereka tidak ingin disebut ke-Amerika-an dengan menerapkan salary cap di liga-liga sepakbola Eropa.

Hal ini terjadi karena salary cap dinilai memiliki dampak negatif pada sistem kompetisi promosi-degradasi dan pada kondisi antar negara yang memiliki perbedaan mata uang. Celakanya Indonesia seolah sedang melakukan trial and error pada salary cap ini jika tidak dipikirkan secara matang.


Baca juga: Salah Kaprah Istilah Marquee Player di Indonesia


Misalnya saja begini: Kesebelasan Persibola (bukan nama sungguhan) di Liga 1 memiliki total gaji 14 miliar rupiah (dari salary cap 15 miliar rupiah) dan satu marquee player bergaji 8 miliar rupiah. Persibola kemudian terdegradasi pada musim berikutnya, maka pemain-pemain mereka akan eksodus besar-besaran karena Persibola tidak mungkin menggaji total 22 miliar untuk hanya berlaga di Liga 2. Belum lagi jika pihak liga melarang gaji sebesar itu di Liga 2.

Berseberangan dengan itu, Perselamat (juga bukan nama sungguhan) sekarang sedang adem-ayem di Liga 2 tanpa peraturan salary cap dan marquee player. Pemain mereka juga gajinya murah-murah dan tidak memiliki pemain asing. Tapi musim berikutnya ternyata mereka berhak berlaga di Liga 1, sehingga harus cepat-cepat menyesuaikan dengan peraturan salary cap dan marquee player. Pertanyaannya, dari mana Perselamat mendapatkan uang tersebut?

Okelah jika Perselamat tidak masalah jika mereka memutuskan untuk tetap pada struktur gaji mereka yang rendah di Liga 2 sebelumnya, tapi hal ini justru akan menciptakan kesenjangan alih-alih keadilan. Perselamat hampir dipastikan tidak akan bisa bersaing dengan kesebelasan-kesebelasan Liga 1 yang lebih mapan. Jika hal ini terjadi selama bertahun-tahun, maka percuma saja jika ada peraturan salary cap di Liga 1.

MLS dan A-League saja tidak mengenal promosi-degradasi, tidak heran salary cap bisa diterapkan dengan baik di sana.

Meskipun ada penyelesaiannya juga, seperti yang saya baca pada tulisan John Houmes di Bleacher Report pada Mei 2008, penerapan salary cap memang tidak semudah kelihatannya. Jadi bagi Indonesia, berhati-hatilah jika ingin menerapkan salary cap dan marquee player. Kita harus mempelajari ini dengan serius, dan tentunya: dengan tidak sebentar alias tidak bisa instan.

Komentar