Nasionalisme Semu Sepakbola Indonesia dari Ketua PSSI

Editorial

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Nasionalisme Semu Sepakbola Indonesia dari Ketua PSSI

Lanjutan dari halaman sebelumnya

Edy Rahmayadi berkata jika aturan U23 sudah berkontribusi pada kemajuan Liga Indonesia. Seperti yang kita tahu, PT Liga Indonesia Baru yang sempat menerapkan aturan pemakaian pemain U23 malah menghapus aturan tersebut di tengah liga, ketika SEA Games sedang berlangsung. Hal ini membuat semua kesebelasan di Liga 1 menjadi korban, sementara penampilan timnas juga tidak lantas menanjak.

Menurut penelitian, banyak hal positif jika pemain sepakbola bermain di luar negeri

Sepakbola adalah permainan global. Hal ini membuat banyak pemain berpindah-pindah kesebelasan, dan bahkan pindah ke luar negara asal mereka. Sudah banyak penelitian mengenai globalisasi sepakbola dan efeknya terhadap permainan itu sendiri.

Jika Edy mengatakan bahwa pemain yang bermain di luar negaranya tidak nasionalis, faktanya banyak pemain yang bermain di luar negeri bukan karena alasan ini, melainkan karena ini sudah menjadi kebutuhan mereka dan juga sepakbola secara umumb.

Peneliti dari University of Ulster menunjukkan jika para pemain Ghana bisa tersebar ke seluruh Afrika Barat, Eropa, dan Asia, untuk selanjutnya menguatkan timnas mereka dari segi peringkat FIFA, bermain di tiga Piala Dunia berturut-turut (2006, 2010, dan 2014), dan menjadi runner-up Piala Afrika (empat kali sejak penelitian dilakukan).

Sementara itu, penelitian dari University of Bangor menunjukkan jika persebaran pemain-pemain bertalenta dari Afrika, Amerika Latin, dan Amerika Tengah bisa terjadi karena mereka membutuhkan kompetisi yang lebih baik untuk meningkatkan, bukan hanya kualitas permainan mereka dan tim nasional, tetapi juga kondisi ekonomi di negara merekad.

Kalau kita merasa sangsi dengan dua penelitian di atas yang mengambil contoh negara-negara dengan budaya sepakbola lebih baik daripada Indonesia, kita bisa mengamati penelitian lainnya dari University of Leuven. Mereka menyimpulkan jika penampilan pemain tingkat nasional bisa meningkat pesat ketika mendapatkan dukungan kuat untuk bermain di luar negeri, terutama bagi negara-negara yang kualitas sepakbolanya masih rendaha. Kecuali kita merasa Indonesia tidak memiliki kualitas sepakbola yang rendah.

Hal ini terjadi karena perpindahan pemain ke kesebelasan asing membuat pemain meningkatkan pola permainan yang berbeda, sehingga bisa beradaptasi kepada banyak skenario di dalam maupun di luar lapangan. Pada akhirnya mereka bisa meningkatkan kualitas liga sepakbola yang bersangkutan dan juga timnas mereka masing-masing.

Terakhir, soal nasionalisme, kebetulan sekali sebuah penelitian dari Queen’s University Belfast justru menunjukkan jika perpindahan pemain, peraturan (baik yang membatasi maupun yang tidak membatasi) perekrutan pemain dan pelatih asing, dan kepemilikan kesebelasan tidak berdampak kepada nasionalisme para pelaku sepakbola, termasuk penonton, karena efek globalisasi lebih besar dan lebih dibutuhkan bagi sepakbola untuk berkembangc.

Keempat penelitian di atas malah menunjukkan sangat baik jika pemain sepakbola bermain di negara lain. Misalnya pemain Indonesia, maka akan sangat bagus bagi perkembangan negara dan regional Asia Tenggara jika mereka mampu tampil di liga selain liga negara mereka sendiri.

Konkretnya untuk para pemain Indonesia, mereka jadi mengetahui atmosfer sepakbola di luar, terutama Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti apa. Jadi jika nanti para pemain bertemu di Piala AFF, SEA Games, Asian Games, Piala Asia, atau turnamen lainnya, mereka tidak akan kaget, karena mereka sudah merasakannya sendiri.

Respons pihak Malaysia serta Evan Dimas dan Ilham Udin

Bagaimanapun, Edy Rahmayadi sudah menunjukkan pandangannya soal isu Evan Dimas dan Ilham Udin pindah ke Selangor, Malaysia. Sementara itu, Presiden Asosiasi Sepakbola Selangor juga sudah membalas pernyataan Edy tersebut.

“Ia (Edy) boleh mengatakan apa saja yang ia mau. Bagaimana bisa tampil di luar negara dan memperoleh pendapatan lebih tinggi dianggap tidak patriotik?” kata Presiden Selangor, Datuk Seri Subahan Kamal, dikutip dari Berita Harian.

Subahan menyatakan bahwa ia tidak bisa melakukan pembatalan transfer. “Itu (pembatalan transfer) tidak mungkin terjadi karena kami memiliki kontrak bertanda tangan dan stempel dari kedua pemain tersebut. Kami juga sudah melakukan pembayaran kepada kedua pemain tersebut,” kata Subahan.

Kemudian Sekjen Asosiasi Sepakbola Malaysia (FAM), Datuk Hamidin Mohd Amin, juga angkat bicara. “PSSI menghubungi saya untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Saya diberi tahu [pernyataan] itu lebih kepada semacam masukan ketimbang larangan pemain berkiprah ke Malaysia. PSSI berhak khawatir karena ekspektasi terhadap timnas di Asian Games sangat tinggi,” ujar Sekjen FAM, Datuk Hamidin Mohd Amin, dikutip dari Harian Metro.

“Apapun itu, PSSI hanya menasihati pemain dan tidak mencegah pemain untuk hijrah ke Malaysia. Pemain punya hak untuk menentukan langkah mereka,” lanjutnya.

Dari sini, kita harus memahami jika Edy Rahmayadi hanya khawatir, meski seharusnya ia tidak perlu terlalu berlebihan, apalagi sampai membawa-bawa nasionalisme.

Padahal jika alasannya berbeda dan lebih masuk akal, misalnya khawatir Evan dan Ilham Udin repot ketika bergabung di pelatnas, kita mungkin bisa lebih menerimanya. Hal tersebut bisa saja menjadi kekhawatiran karena mereka berdua harus berkoordinasi lebih intens dan menurut aturan FIFA kesebelasan hanya bisa melepas pemain untuk timnas negaranya di jeda internasional.

Kedua pemain tersebut sebenarnya sudah berkomentar. “Selangor tidak menyadari apa yang dikatakan Edy, bahkan jika mereka melakukannya, itu tidak masalah. Saya yakin Selangor akan memberikan izin untuk kami membela tim nasional,” ujar Evan, dilansir dari New Straits Times.

“Saya tidak ingin berkomentar. Pastinya saya akan hadir saat dipanggil tim nasional, saya selalu siap,” kata Ilham Udin. Jadi, faktor bergabung dengan timnas seharusnya tidak perlu dikhawatirkan.

Nasinalisme semu

Kenapa kita bangga menjadi warga negara Indonesia dan kenapa kita harus memiliki sikap nasionalisme? Narasi yang umumnya muncul ada tiga, yaitu karena Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, Sumber Daya Manusia (SDM) yang membanggakan, dan kekayaan kebudayaan.

Pemain sepakbola masuk ke kategori SDM. Tapi kebanyakan argumen soal kita yang bisa membanggakan SDM adalah jika mereka sukses di luar Indonesia, misalnya ada pengusaha sukses asal Indonesia di Amerika Serikat, ilmuwan Indonesia sukses di Jerman, fashion designer Indonesia sukses di Amerika Serikat, salah satu orang terkaya di Indonesia memiliki saham di kesebelasan besar di Italia, dll.

Dalam sepakbola lebih-lebih, ada pemain yang diincar kesebelasan Spanyol saja sudah jadi topik yang ramai diperbincangkan, meski pada akhirnya pemain tersebut tidak jadi bergabung.

Hal ini merupakan ciri-ciri rendah diri. Masalahnya, jika argumen seperti ini yang dikedepankan, apa tujuannya? Apakah untuk menginspirasi agar SDM mau bekerja dan sukses di luar Indonesia? Seperti TKI misalnya.

Lantas jika pemain sepakbola Indonesia ingin berkarier di luar Indonesia dianggap tidak nasionalis, saya rasa ini adalah logika yang keliru. Apa jadinya komentar kita terhadap para TKI atau para ekspatriat?

Dari sini jelas, kenapa kita bangga dengan Indonesia. Karena kita menjadikan bangsa lain sebagai patokannya. Kita butuh pengakuan bangsa lain, apalagi pengakuan dari bangsa yang lebih maju. Akan menggelikan jika isu ini menjadi ramai “hanya” karena ada pemain Indonesia yang bermain di Malaysia.

Jadi, Malaysia itu lebih maju dari Indonesia? Sayangnya, dari tadi bukan itu pertanyaannya.


Sumber gambar fitur: PSSI

Referensi jurnal penelitian:

a. Berlinschi, R., Schokkaert, J., Swinnen, J. (2012) When drains and gains coincide: Migration and international football performance. Labour Economics, Vol. 21, April 2013, Pages 1-14.

b. Darby, P. (2013) Moving players, traversing perspectives: Global value chains, production networks and Ghanaian football labour migration, Geoforum, 50 (2013) 43–53.

c. Penn, R. (2013) Football, nationalism and globalisation: A comparison of English and Italian football between 1930 and 2010. European Journal for Sport and Society, Vol. 10, Iss. 4, 2013.

d. Vasilakis, C. (2017) Does talent migration increase inequality? A quantitative assessment in football labour market. Journal of Economic Dynamics and Control, Vol. 85, December 2017, Pages 150-166.

Diakses dari laboratorium sains olahraga, KK Ilmu Keolahragaan, Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung.

Komentar