Chelsea: Sudah Jatuh Tertimpa Skandal

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Chelsea: Sudah Jatuh Tertimpa Skandal

Performa Chelsea sangat buruk musim ini. Musim lalu, sebagai perbandingan, Chelsea tiga kali bermain imbang dan lima kali kalah sepanjang musim. Kini sang juara bertahan sudah tujuh kali bermain imbang dan sembilan kali kalah.

Jumlah kekalahan yang nyaris dua kali lebih banyak dari musim lalu membuat pasukan Antonio Conte sulit menembus empat besar. Seolah semua itu tak cukup memusingkan, pihak klub menghadapi gugatan atas tindakan rasialis. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.

Skandal rasialisme itu melibatkan dua tokoh penting Chelsea pada masa 1980-an awal, yakni Gwyn Williams dan Graham Rix. Sebagaimana diberitakan Guardian, kasus ini pertama kali mencuat pada Januari 2018, setelah empat mantan pemain muda Chelsea mengaku mengalami penghinaan secara rasial ketika masih aktif. Mereka sampai trauma dibuatnya.

“Saya belum pernah kembali ke Stamford Bridge sejak saya meninggalkan klub itu. Saya menjauhi area itu. Bahkan sulit rasanya menyaksikan Chelsea di televisi. Meski stadion sudah banyak berubah, tapi itu masih jadi tempat yang menyakitkan buat saya pribadi. Banyak kenangan buruk di sana, dan saya masih merasakan kilas balik akan hal itu,” cerita salah satu korban, sebagaimana dikutip dari Guardian.

“Orang-orang akan berkata ‘mengapa kau tidak melawan?’ atau `mengapa tidak kau laporkan saja tindakan mereka?’ Namun orang-orang itu tidak mengerti bahwa saat itu tidak ada siapa-siapa sebagai tempat bercerita. Bahkan tidak ada siapa-siapa yang mendukung saya. Saya tidak pernah melawan. Saat itu, dia berada dalam posisi yang amat berkuasa dan dia mengetahui hal itu. Saya cuma anak-anak dan saya merasa terisolasi, juga tak ingin mengasingkan diri terlalu jauh.

“Sepakbola sekarang sudah jauh berkembang dengan banyaknya orang-orang yang berperan sebagai penghubung dan konsultan kesejahteraan. Kami dulu tidak punya agen dan saya segan menghadap John Neal (manajer Chelsea kala itu). Satu-satunya orang yang bisa diandalkan hanya kedua orang tua saya. Namun jika saya ceritakan, tentu mereka akan mengamuk lantas menghajar manajemen Chelsea.

“Saya tidak mau melakukannya (lapor ke orang tua), karena saya khawatir hal itu akan menghalangi perjalanan karier saya sebagai pesepakbola. Saya takut klub lain menolak jasa saya atas insiden ini. Williams adalah figur senior di tubuh Chelsea. Dia tahu siapa saja di lingkungan sepakbola Inggris. Dia tak tersentuh dan memerintah pemain muda dengan rasa takut.”

Dari penuturan korban, terlihat adanya dominasi salah satu pihak terhadap pihak lain yang lebih lemah secara sosial. Manajer tim junior Chelsea saat itu menggunakan kuasanya untuk menekan para pemain. Dikatakan “menekan” karena pelaku secara sadar dan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang menjatuhkan mental si pemain. Memang apa saja yang Williams dan Rix lakukan?

Berdasarkan pemberitaan Guardian, empat pemain muda Chelsea mengaku pernah dipanggil “gelap”, “nignog”, “bajingan hitam”, “wog”, “tengah malam”, “jigaboo”, dan berbagai bentuk penghinaan rasial lainnya. Selain itu, Williams selaku tertuduh dalam kasus ini pernah juga berbicara kepada pemain dengan nada tinggi, seperti: “gih sana kembali ke Afrika!” dan “jual narkoba lagi sana atau rampok nenek-nenek”.

Kejahatan rasialis tidak berhenti sampai di situ. Pernah suatu ketika tim junior Chelsea bertandang ke salah satu klub asal Spanyol. Di sana, temperatur udara mencapai 40 derajat Celsius alias sedang panas-panasnya. Rix dituduh mempermalukan salah satu pemain kulit hitam. Ketika babak pertama belum selesai, Rix menggantinya dengan seorang kiper cadangan. Malu karena diganti kiper, sang pemain ogah duduk di bangku cadangan melainkan pergi begitu saja ke ruang ganti.

Ketika sang pemain sedang mandi, tiba-tiba Rix datang menghampiri lalu berteriak, “jika hatinya sebesar kelaminnya, maka anak ini seharusnya berlari lebih sering.” Masih berdasarkan bukti yang disodorkan kepada Chelsea, sebagaimana dikutip oleh Guardian, Rix melanjutkan caci maki dengan berkata, “kamu adalah satu-satunya orang di dalam stadion yang dapat menikmati panas 40 derajat Celsius.”

Jika penghinaan seperti itu terjadi saat pertandingan, bagaimana situasi ketika para pemain sedang latihan? Apakah mereka juga mengalami kekerasan mental?

Sebagaimana diberitakan Guardian pertama kali pada Januari 2018, kasus ini terus meluas seperti kucuran air dari kran yang lupa dimatikan. Bukti-bukti terbaru bermunculan. Skandal demi skandal dibongkar. Terbaru, diketahui fakta bahwa momen latihan adalah momen terburuk bagi para pemain karena mereka menerima perlakuan rasialis hampir setiap hari, setiap saat.

Grant Lunn dan Gary Baker adalah dua orang kulit putih. Keduanya mantan pemain muda Chelsea era Williams dan Rix. Mereka bersimpati terhadap apa yang terjadi terhadap empat kolega mereka yang dulu pernah sama-sama berada di tim junior Chelsea. Berdasar keterangan Lunn, kerap diadakan pertandingan saat sesi latihan yang membagi dua kubu: “putih melawan hitam”. Lantas jika ada pemain dari ras campuran, pelatih berkata, “kami kebingungan menempatkan kamu di sisi sebelah mana.”

Artinya, para pemain junior digolongkan berdasarkan warna kulit mereka. Hal ini tidak sekali dua kali terjadi, melainkan setiap sesi latihan selalu ada peristiwa itu. Tidak heran Lunn dan Baker mendeskripsikan Stamford Bridge sebagai “lingkungan liar”.

***

Perlakuan rasialis oleh manajer kepada pemain di Chelsea mengingatkan saya bahwa terdapat bahaya laten kekuasaan. Skandal rasialis di tim junior Chelsea terjadi karena ketimpangan sosial antara kedua pihak. Jika memang tuduhan-tuduhan di atas terbukti benar, maka kejahatan tersebut tak dapat dipisahkan dari teori relasi kuasa dalam struktur masyarakat.

Konsep kekuasaan menurut Michel Foucault, seorang filsuf pelopor strukturalisme asal Perancis, kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Jika terdapat relasi, maka ada kekuasaan. Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu sebagai subjek dalam lingkup sosial yang paling kecil, bukan kuasa dalam ruang lingkup lembaga yang memiliki posisi strategis.

Bagi Foucault, berbagai gejala budaya (termasuk rasialisme) tidak dapat dilepaskan dari sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan dalam satu-kesatuan. Salah satu karya Foucault yang sangat dekat dengan strukturalisme adalah Les mots et les choses (1966) dan L’archeologie du savoir (1969). Dalam karyanya, ia berpendapat bahwa manusia tak memaknai dunia melalui kebebasannya yang penuh dengan kecemasan seperti pemikiran kaum eksistensialis (dipopulerkan oleh Jean-Paul Sartre). Lewat pendekatan strukturalisme, manusia ditentukan oleh struktur-dalam yang ada di balik kesadaran manusia.

Skandal rasialis yang melibatkan manajer tim junior Chelsea terjadi tahun 1980-an. Hari itu perbudakan sudah lama sekali dihapuskan. Tahun 1980 juga menandakan Martin Luther King, pendeta sekaligus aktivis kesetaraan hak-hak kulit hitam, sudah meninggal lebih dari sepuluh tahun. Artinya, tahun 1980 manusia seharusnya sudah teredukasi dengan baik tentang apa itu rasialisme dan mengapa perlakuan diskriminatif atas dasar ras dilarang.

Namun rasialisme melampaui ruang dan waktu. Manusia mungkin belajar sejarah, tapi hanya sedikit yang berani mereguk air suci dari konteks sejarah. Williams dan Rix tentu bukan orangnya. Mereka adalah dua orang kulit putih yang kebetulan punya kuasa sebagai manajer sekaligus (masih) merasa kulit putih lebih superior daripada kulit hitam. Sehingga, meminjam teori Foucault, struktur-dalam Williams dan Rix yang menentukan tindakan rasialis mereka.

Tentang struktur-dalam yang terjadi di balik kesadaran manusia juga dirasakan oleh mantan pemain junior Chelsea. Mereka punya pikiran untuk melawan, tapi memilih diam alih-alih mempertahankan kemanusiaannya. Struktur-dalam mereka tidak memungkinkan untuk melawan karena mereka paham sang lawan punya kuasa yang jauh lebih besar.

Pertanyaannya kemudian: memang siapa sih Gwyn Williams dan Graham Rix?

***

Gwyn Williams bergabung dengan Chelsea pada 1979. Setelah malang melintang di level kepelatihan junior, ia promosi sebagai asisten Claudio Ranieri. Tidak lama setelah Ranieri dipecat, ia berada di departemen pencarian bakat untuk Jose Mourinho. Guardian yakin bahwa Williams punya peran besar dalam menemukan sosok John Terry.

Sosok pria berkebangsaan Wales tersebut memang sudah berkelindan dengan kontroversi sejak lama. Ia tercatat pernah melontarkan komentar homofobis kepada Graeme Le Saux, mantan bek Chelsea. Hal itu tertuang dalam autobiografi Le Saux yang dicetak tahun 2007. Selain itu, Williams pernah diberhentikan dengan tidak hormat oleh Leeds United karena mengirim surat elektronik berupa gambar-gambar porno ke sejumlah rekan termasuk kepada resepsionis perempuan.

Setali tiga uang dengan Williams, Graham Rix juga sosok yang kontroversial. Ia pernah dituduh telah mencabuli perempuan berusia 15 tahun. Pada bulan Maret 1999, Rix mengakui perbuatannya dan ia pun dijebloskan ke penjara Wandsworth selama 12 bulan. Namun baru menjalani setengah hukuman, Chelsea menebus si predator seks dan memberinya pekerjaan sebagai pelatih tim junior. Tak lama menjabat sebagai pelatih, insiden sudah muncul. Berdasarkan keterangan Lunn dan Baker, Rix pernah melempar gelas berisi kopi panas ke wajah pemain junior Chelsea.

Mantan pesepakbola timnas Inggris itu juga pernah tampil di Piala Dunia 1982. Ia tercatat sudah 17 kali turun membela The Three Lions. Prestasi lainnya, ia pernah menjadi asisten manajer Ruud Gullit di Chelsea dan pernah menjabat pelatih interim setelah kepergian Gianluca Vialli.

Melalui pengacara mereka, Eddie Johns, baik Rix maupun Williams sama-sama menyangkal tuduhan tersebut. Januari silam mereka merilis pernyataan yang intinya menyangkal segala tuduhan yang dialamatkan kepada mereka. Kendati demikian, mereka tetap kooperatif atas segala bentuk investigasi yang dilakukan oleh polisi dan juga pihak FA.

Terkait skandal rasialis yang memengaruhi citra Chelsea sebagai klub sepakbola dan juga korporasi, pihak klub bersikap terbuka selama penyidikan kasus ini. Chelsea juga yang secara tidak langsung membuka borok di dalam tubuh mereka sendiri. Perlu diketahui, kasus ini pada awalnya diselidiki oleh kepolisian setempat. Setelah tujuh bulan penyelidikan, polisi merilis pernyataan bahwa tidak ada bukti cukup untuk membuktikan kejahatan rasialis.

Alih-alih menggali lubang lalu menimbun kasus ini agar tidak terekspos, Chelsea malah meluncurkan penyelidikan sendiri dengan memohon bantuan pihak FA. Tim pengamanan FA nyatanya lebih efektif dari pihak kepolisian, karena baru beberapa minggu dibentuk, pihak FA sudah berhasil mewawancarai dua mantan pemain yang diduga sebagai korban.

Sampai tulisan ini dibuat, kasus ini masih bergulir. Bukan tidak mungkin, jika segala tuduhan terbukti benar, klub-klub lain juga akan ikut tersorot. Namun sial bagi Chelsea, karena hukuman berat menanti mereka jika terbukti bersalah. Pihak klub harus menerima ganjaran karena terlibat di dalam upaya melanggengkan tradisi perundungan dan penghinaan secara rasial yang dilancarkan Williams dan Rix selama 25 tahun.

Komentar