Hak Pesepakbola untuk Mendapat Asuransi

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Hak Pesepakbola untuk Mendapat Asuransi

Masih ingat tragedi yang menimpa almarhum Choirul Huda? Saat itu ia tengah membela Persela Lamongan, kontra Semen Padang dalam lanjutan kompetisi Liga 1 musim 2017. Huda mengalami benturan dengan rekan satu tim, Ramon Rodriguez. Ia sempat terlihat mengerang kesakitan dan segera dibawa ke rumah sakit terdekat oleh ambulans. Namun sayang, kehendak-Nya berkata lain. Almarhum meninggal dunia dan menambah panjang riwayat pesepakbola yang wafat ketika pertandingan belum berakhir.

Berkarier sebagai pesepakbola adalah pekerjaan yang beresiko tinggi. Intensitas aktivitas dan potensi benturan fisik di lapangan, membuat pesepakbola hampir pasti mengalami cedera. Bahkan tidak menutup kemungkinan, seorang pesepakbola mengalami kematian karena olahraga ini. Itulah mengapa terdapat klausul khusus yang mengatur asuransi bagi para pemain di dalam regulasi FIFA tentang “Status dan Transfer Pemain”.

Dalam aturan itu, FIFA mewajibkan klub agar bertanggung jawab terhadap perlindungan asuransi pesepakbola. Adapun hal itu harus menjelaskan cakupan cedera apa saja yang bakal ditanggung dan masa pertanggungan.

Di Indonesia, hak pemain untuk mendapatkan asuransi sudah ada regulasinya. Adapun hak itu tercantum dalam Pasal 6 ayat (3) regulasi kompetisi PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang berbunyi: “Klub diwajibkan untuk menyediakan proteksi terhadap para pemain baik dalam bentuk asuransi maupun proteksi lainnya.”

Namun bentuk perlindungan berupa asuransi masih sebatas “hak”, karena yang wajib berdasarkan regulasi di atas adalah “proteksi” dari klub. Hal ini menimbulkan kerancuan karena bentuk proteksi itu bisa bermacam-macam. Jika ada seorang pemain cedera di bagian tulang kering padahal sudah menggunakan deker yang diberikan klub, ada potensi ia tidak bisa menuntut ganti rugi. Klub bisa mengelak dari tuntutan itu dengan, “lho kan saya sudah proteksi Anda dengan deker yang kami berikan”.

Saya melakukan pencarian menggunakan kata kunci “Professional Football Insurance” di google, dan hasilnya ditemukan beragam perusahaan swasta yang menawarkan jasanya untuk mengasuransikan para pemain. Dari situ pula diketahui fakta bahwa terdapat dua skema yang lazim digunakan untuk mengasuransikan para pemain. Pertama, Permanent Total Disablement Cover. Produk asuransi ini biasanya dibeli oleh klub untuk menutup kerugian karena kecelakaan/insiden yang menyebabkan sang pemain cedera, atau karier pemain berakhir. Kedua, Temporary Disablement Cover atau Wage Roll Protection. Produk ini merupakan bentuk pertanggungan terhadap risiko cedera pemain yang tak sanggup bermain sementara waktu karena cedera dan klub tetap harus membayar gaji per pekannya.

Jika diperhatikan, dua skema di atas menguntungkan pemain. Meskipun dalam kondisi cedera, pemain tak perlu keluar biaya untuk pengobatan karena sudah ditanggung pihak klub. Selain itu, pemain tetap digaji sesuai kontrak, sehingga fokus si pemain sepenuhnya hanya pada pemulihan cedera.

Ketenangan dalam berkarier memang diperlukan tiap buruh atau tenaga kerja, termasuk para pesepakbola. Perlu diketahui bahwa pesepakbola di Indonesia adalah buruh atau pekerja. Hal itu diperkuat berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam hal ini, pesepakbola diupah berdasarkan kontrak kerja mereka dengan pihak klub.

Idealnya, hak mendapatkan asuransi termaktub di dalam kontrak. Ketika seorang pemain dikontrak, maka saat itu pula pihak klub setuju melindunginya dari resiko-resiko. Namun di Indonesia, sekali lagi, perlindungan asuransi masih berupa hak. Beberapa klub sudah memproteksi para pemainnya dengan asuransi, tetapi masih banyak juga yang belum. Sehingga penting bagi para pesepakbola yang bermain di Indonesia untuk bersatu menuntut perlindungan tersebut, agar menjadi norma yang dipatuhi klub.

Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) sudah melakukan upaya ini. Februari lalu, Firman Utina selaku Presiden APPI datang ke kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga bersama rekan-rekan APPI yang lain untuk mendiskusikan masalah ini kepada Menpora. Firman Utina mengatakan bahwa di Indonesia, belum terdapat jaminan asuransi untuk pesepakbola, karena saat ini perlindungan terhadap mereka hanya didasari pada inisiatif dari klub masing-masing. Firman pun mengambil contoh kasus meninggalnya kiper Persela Lamongan.

“Sebagai contoh meninggalnya kiper Persela Lamongan, Choirul Huda yang jadi sorotan dunia karena tidak adanya asuransi yang meng-cover, kami ingin adanya asuransi yang sama rata tidak hanya di Liga 1 tetapi juga Liga 2”, ucap Firman sebagaimana dilansir dari bola.com.

Mendengar hal itu Menpora mengaku terkejut. Ia memberikan solusi berupa perlunya dikeluarkan Peraturan Menteri yang mengatur jaminan asuransi untuk para atlet. Miris memang, ketika Inggris sudah mewajibkan perlindungan asuransi di level pemain amatir dan semi-profesional, di Indonesia level pemain profesional saja belum ada aturannya.

Bahkan Indonesia kalah dengan Ghana. Negara di Afrika itu sudah lebih dulu membuat aturan tentang jaminan asuransi bagi pesepakbola. Professional Footballers Association of Ghana (PFAG) atau bisa dikatakan punya fungsi yang sama dengan APPI di Indonesia, sukses menyusun aturan bersama pemerintah Ghana. Menpora-nya Ghana, Edwin Nii Lantey Vanderpuye, memuji PFAG dengan mengatakan bahwa PFAG telah mencetak sejarah.

Dalam beberapa tahun terakhir, PFAG memang getol menyuarakan hak-hak pesepakbola Ghana. Hal itu dilakukan karena banyak sekali isu ketenagakerjaan yang merugikan para pemain yang merumput di liga Ghana. Mulai dari kasus kekerasan fisik, tindakan rasis, gaji telat, dan jaminan perlindungan yang kerap diabaikan. Sehingga adanya aturan yang secara resmi diluncurkan pada April 2016 ini, jadi titik tolak kemajuan sepakbola Ghana.

“Peluncuran skema asuransi dan ganti rugi, yang kami sebut sebagai ‘kehidupan setelah sepakbola’, sesuai dengan harapan kami”, ucap Anthony Baffoe yang saat itu menjabat Sekretaris Jenderal PFAG sebagaimana dilansir dari situs resmi FIFPro.

Mantan pemain FC Köln itu menambahkan, “para pemain memahami dengan baik bahwa apa yang kami berhasil susun merupakan langkah kemajuan yang besar untuk sepakbola Ghana. Tidak hanya itu, hal ini juga jalan bagi semua serikat pekerja dan asosiasi di benua (Afrika) untuk mengikutinya.”

Sesuai namanya, produk asuransi “kehidupan setelah sepakbola” menitikberatkan pada perlindungan asuransi akibat kematian yang tidak disengaja. Skema asuransi ini akan memberikan santunan bagi keluarga pemain yang (amit-amit) meninggal dunia karena sepakbola. Selain itu, asuransi juga meng-cover pemain yang divonis sudah tidak dapat lagi berkarier di sepakbola karena cedera serius seperti masalah jantung atau patah kaki. PFAG yakin dengan adanya produk asuransi “kehidupan setelah sepakbola”, para pemain jadi lebih tenang dalam berkarier. Tidak hanya itu, dana ganti rugi juga dapat digunakan pemain untuk bekal kehidupan mereka setelah berhenti berkarier dari dunia sepakbola.

Pesepakbola memang sudah sepatutnya mendapat hak-hak itu. Dibutuhkan kesadaran dan juga profesionalisme untuk mewujudkan perlindungan asuransi. Hal inilah yang tak terlihat di kompetisi sepakbola Indonesia. Tapi, sulit rasanya bicara jaminan asuransi jika hak dasar berupa gaji saja, klub masih telat membayarkan.

Komentar