Iniesta dan Segenap Kenangan Masa Kecil yang Sirna

Cerita

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Iniesta dan Segenap Kenangan Masa Kecil yang Sirna

Setiap tengah malam, Gil Pender akan berjalan kaki menyusuri jalan-jalan sempit di kota Paris. Sebagai seorang yang sedang menulis novel, ia beranggapan kegiatan itu akan membantunya dalam mengunduh inspirasi baru untuk cerita di novelnya.

Pada suatu malam, usai berjalan cukup jauh, Pender tampak kelelahan. Dengan kepala yang masih terasa pengar lantaran sebelumnya ia menenggak bergelas-gelas anggur, ia pun memutuskan untuk beristirahat dengan duduk di sebuah tangga batu yang terletak di pinggir jalan. Lamat-lamat ia mendengar deru mobil menghampirinya. Pender terkejut karena mobil yang dilihatnya sangat lain; sebuah mobil Peugeot model tua.

Mobil itu lalu berhenti tepat di depan Pender. Beberapa orang di dalam mobil tampak memanggil-manggilnya untuk bergabung bersama mereka. Setelah bertanya-tanya kebingungan, Pender akhirnya bergabung.

Tak disangka olehnya, setelah masuk ke dalam mobil antik itu, di dalam ternyata ia bertemu dengan pasangan penulis besar Amerika Serikat di abad ke-20, Francis Scott Fitzgerald dan Zelda Fitzgerald. Pender senang bukan kepalang, akhirnya ia bertemu dua orang penulis yang diidolakannya.

Itu belum selesai. Ketika mobil tersebut tiba di suatu rumah, Pender bertemu dengan penulis besar lainnya seperti Ernest Hemingway, Gertrude Stein, dan pelukis Pablo Picasso. Malam itu Pender seakan masih tak percaya, akhirnya ia bisa bertemu dan berbincang dengan para penulis dan seniman besar yang semuanya dikaguminya.

Esok malamnya, Pender mengulang apa yang ia lakukan sebelumnya—menunggu mobil Peugeot tua di tempat yang sama. Mobil kembali datang menjemput. Kali ini Pender bertemu dengan lebih banyak seniman dan penulis besar seperti Salvador Dali hingga TS Eliot. Mobil tua itu seakan menjadi kendaraan yang bisa membawanya kembali ke masa lalu—melampaui ruang dan waktu.

***

Adegan tersebut terdapat dalam film Midnight in Paris (2011) garapan sineas Woody Allen. Saya seketika teringat dengan adegan itu, saat mengetahui kabar bahwa Andres Iniesta akan mengakhiri kebersamaanya dengan Barcelona di akhir musim 2017/18.

Gelandang berusia 33 tahun tersebut mengatakan bahwa selepas ia hengkang dari Barca, ia tak akan bergabung dengan sebuah klub di benua Eropa. Semua itu ia lakukan agar dirinya nanti tak bertanding melawan Barcelona—tim yang begitu dicintainya.

“Satu hal yang selalu saya katakan bahwa saya tidak akan pernah bersaing dengan klub saya. Oleh karena itu, semua skenario tidak berada di Eropa. Pada akhir musim, kalian akan tahu di mana saya akan memilih," tutur Iniesta seperti dikutip dari Bolasport.

Akan hengkangnya Iniesta dari Barcelona itu, di usia yang sudah tidak lagi muda, adalah isyarat bahwa saya akan (lagi-lagi) segera kehilangan salah satu pahlawan sepakbola yang mewarnai masa kecil saya. Sebagai seorang yang lahir di medio 1990-an, tentu masa kecil saya diwarnai oleh aksi-aksi memukau dari pemain-pemain seperti Iniesta, Frank Lampard, Patrick Vieira, Ricardo Kaka, Andrea Pirlo, Francesco Totti, dan pemain lain di masanya.

Kini, satu per satu dari mereka sudah tak lagi tampil di lapangan hijau. Sebagian yang lain akan segera menyusul langkah itu.

Tentu sudah sejak lama saya tidak bisa lagi menyaksikan bagaimana panasnya duel Patrick Vieira dan Roy Keane ketika Arsenal bertemu dengan Manchester United. Saat Kaka dan Pirlo memutuskan untuk pensiun pada 2017 lalu, saat itu juga saya insyaf, bahwa saya tidak akan lagi mendapat kenikmatan seperti ketika menyaksikan kejeniusan dan visi kedua pemain itu saat beroperasi di lapangan tengah.

Begitu pun ketika saya menyaksikan sebuah video pidato perpisahan Francesco Totti yang ia bacakan di Estadio Olimpico pada Mei 2017 lalu. Entah mengapa ketika menyaksikan video itu, yang terlintas di benak saya adalah aksinya ketika membobol gawang Angelo Peruzzi lewat sebuah tendangan chip indah dari luar kotak penalti, di pertandingan derbi melawan S.S. Lazio musim 2001/02. Sebuah proses gol yang agaknya akan sulit dapat saya saksikan terulang kembali di waktu mendatang. Adapun jika proses gol seperti itu bisa terulang kembali, sensasinya pastilah tak lagi sama karena dilakukan oleh pemain lain.

Tak lama lagi juga saya akan semakin jarang menyaksikan aksi-aksi memukau Andres Iniesta di lapangan tengah. Terperangah saat menyaksikannya mengalirkan bola dengan sebuah gerakan yang halus, atau terkagum-kagum ketika menyaksikannya melewati lawan sambil menggiring bola—karena bola itu seakan melekat di kakinya, adalah semua sensasi menyenangkan yang akan segera sirna dari pelupuk mata.

Tidak hanya di kalangan pemain, di jajaran pelatih—yang dulu wajahnya akrab saya temui di layar kaca, satu per satu juga sudah memutuskan untuk pensiun. Sebagian yang lain akan segera mengikuti langkah itu.

Pengumuman singkat dari Arsene Wenger beberapa minggu lalu, saat ia memutuskan akan segera mundur dari jabatannya, juga telah membuat hati saya merasakan sedikit pilu. Walau saya bukan pendukung Arsenal, namun Arsene Wenger punya arti tersendiri di dalam kenangan masa kecil saya.

Dulu, paman saya cukup rutin membeli sebuah tabloid sepakbola. Walau saya tidak pernah tertarik untuk membacanya ketika itu, namun saya selalu menginginkan sebuah poster dari tabloid sepakbola yang rutin dibeli paman. Dan saya masih ingat betul, bahwa poster pertama yang saya dapatkan dari paman itu adalah poster bergambar Arsene Wenger.

Jauh sebelum Wenger memutuskan mundur, saya sudah lebih dulu kehilangan sosok Sir Alex Ferguson ketika ia mengakhiri karier kepelatihannya bersama Manchester United pada 2013. Sejak saat itu, seluruh kenangan masa kecil seperti saat melihat Fergie memerah wajahnya tiap kali anak asuhnya tampil tak becus, atau ketika kamera menyorot Fergie semakin cepat mengunyah permen karet di mulutnya—biasanya ketika United terus-menerus ditekan lawan—adalah pemandangan-pemandangan ikonik yang turut hilang seiring berakhirnya masa bakti Fergie di United.

Berkat seringnya Fabio Capello membawa klub yang dilatihnya meraih gelar juara, saya selalu mendapatkan kesan elegan tiap kali melihatnya berdiri dan bersidekap di sisi lapangan. Sebuah pemandangan tak akan lagi dapat saya saksikan. Mengingat keputusannya untuk pensiun dari dunia kepelatihan awal April lalu.

***

Jika memungkinkan, rasanya ingin sekali bisa menemukan mobil tua yang bisa membawa saya kembali ke masa lalu, seperti halnya di film Midnight in Paris. Jika mobil yang ditemui Pender di film itu berhasil membawanya ke masa lalu untuk bertemu penulis dan seniman besar yang ia kagumi, saya ingin mobil tersebut bisa membawa saya ke masa lalu untuk menyaksikan kembali aksi para pesepakbola dan pelatih yang saya kagumi di masa kecil.

Bukan berarti pesepakbola dan pelatih yang ada di masa kini tidak lebih baik dari yang dulu. Tentu setiap generasi punya semangat dan tantangan zamannya masing-masing; tidak bisa dibanding-bandingkan begitu saja. Saya hanya ingin kembali ke masa itu, karena di masa itulah saya merasakan kenikmatan tertinggi dalam menyaksikan, memamah, dan menggeluti sepakbola.

Komentar