Kevin/Marcus dan Duet Hebat Lainnya di Sepakbola

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kevin/Marcus dan Duet Hebat Lainnya di Sepakbola

Panditfootball.com berkesempatan mewawancarai Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon di SKO Ragunan pada Selasa (27/3). Seperti yang sudah kami tayangkan di video, pertanyaan kami seputar trivia sepakbola.

Baik Kevin maupun Marcus mengidolakan klub raksasa asal Spanyol, Barcelona. Seperti Barcelona, keduanya bergelimang prestasi. Sejak dipasangkan bersama, Minions (julukan Kevin dan Marcus) sudah mengoleksi sebanyak 15 gelar juara. Di antara gelar tersebut, yang paling fenomenal tentunya kejuaraan All England. Mereka menjuarainya dua kali berturut-turut pada 2017 dan 2018.

Di sepakbola sendiri, terdapat beberapa duet hebat di berbagai posisi — seperti duet penyerang, duet di lini tengah, dan duet di lini pertahanan. Berikut beberapa duet hebat di sepakbola yang kehebatannya sudah diakui dunia.

Dwight Yorke dan Andy Cole

Dwight Yorke dan Andy Cole adalah pasangan legendaris Manchester United di lini depan. Hal yang paling dikenang dari duet mematikan ini adalah keberhasilan mereka membawa setan merah meraih treble pada musim 1998/99. Pada musim itu, Yorke berkontribusi dengan mencetak 29 gol dan 11 asis, sementara Cole 24 gol dan 4 asis.

“Ketika kami bermain bersama, rasanya seperti bertemu dengan wanita spesial lalu jatuh cinta. Segalanya berjalan baik. Kami tidak pernah marah satu sama lain. Jika saya sedang kesal dengannya atau dia kesal kepada saya, kami saling melihat satu sama lain dan berkata ‘baiklah,’ ujar Cole saat diwawancarai Fox Sports.

Kendati demikian, keduanya butuh proses untuk dapat beradaptasi. Andy Cole lebih dulu bergabung dengan United pada 1995. Tiga tahun kemudian barulah Yorke bergabung. Pada musim 1996/97 posisi Cole sebenarnya terancam ketika United santer dihubungkan dengan striker Blackburn Rovers, Alan Shearer. Bahkan rumornya, Cole dan Shearer menjadi paket pertukaran pemain. Rumor itu tidak terwujud karena Shearer memilih untuk bergabung dengan Newcastle United.

Kedatangan Yorke jelas ancaman serius bagi nasib Cole di Old Trafford. Pasalnya, saat itu United sudah memiliki tiga pemain dengan tipe menyerang yakni Teddy Sheringham, Ole Gunnar Solksjaer, dan Andy Cole sendiri.

Hal itu juga sempat dialami Marcus Gideon. Marcus yang bernaung di bawah klub PB Tangkas sempat berniat untuk mundur dari pelatnas Cipayung pada 2013. Tak diikutsertakan pada ajang All England, menjadi penyebab Marcus tak nyaman di pelatnas Cipayung. Saat itu pertimbangannya, masih ada duet Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan yang lebih berprestasi.

Beruntung Marcus tak jadi meninggalkan pelatnas dan tetap melanjutkan karier.

Sebelum dipasangkan dengan Kevin, Marcus tercatat pernah berduet di nomor ganda putra dengan Markis Kido. Sementara itu Kevin pernah berpasangan dengan Mohammad Ahsan. Namun takdir mengantarkan keduanya hingga meraih status ganda putra nomor satu dunia saat ini.

Untuk urusan produktivitas, duet Kevin/Marcus dan Yorke/Cole tidak perlu diragukan. Fakta bahwa 15 gelar bergengsi telah diraih Kevin/Marcus dalam tiga tahun terakhir menjadikan keduanya sebagai ganda putra paling berbahaya dalam cabang olahraga bulutangkis. Begitu pula dengan Yorke/Cole. Duet legendaris ini akan terus abadi dalam setiap memori pecinta sepakbola. Tanpa mereka, sulit rasanya Manchester United dapat meraih treble di musim 1998/99.

Arjen Robben dan Franck Ribery

Sepakbola dimainkan pada sebuah lapangan berbentuk persegi panjang, dan tiap jengkal pada lapangan itu adalah ruang yang penting — termasuk sisi pinggir lapangan. Dalam hal ini, pemain yang biasa beroperasi di pinggir lapangan dinamakan pemain sayap.

Arjen Robben dan Franck Ribery adalah contoh betapa sisi pinggir dalam bidang permainan sepakbola sangat mungkin untuk dieksploitasi. Kedua pemain itu tak saling berdekatan. Robben lebih sering beroperasi di sisi kanan, sedangkan Ribery di sisi sebelah kiri. Namun peran mereka sangatlah penting. Jika salah satu pemain absen atau bahkan keduanya tidak dimainkan, rasanya ada yang kurang. Kreativitas kedua pemain di sisi sayap membuat Bayern Munchen lolos ke final Liga Champions dua kali berturut-turut pada 2012 dan 2013.

Begitu pula dengan bentuk lapangan olahraga bulutangkis. Pada nomor ganda, sisi sayap atau pinggir lapangan adalah daerah yang paling mungkin diincar lawan karena kerap menjadi blind-spot. Dalam hal itu, orientasi ruang pebulutangkis menjadi lebih luas. Ditambah, nomor ganda adalah soal koordinasi dan kepercayaan.

Ketika sisi sebelah kiri sedang diserang lawan, maka pemain yang sedang berada di sisi kanan harus percaya kepada pasangan. Begitu pula sebaliknya. Tentang kepercayaan itu yang Kevin/Marcus perlihatkan. Terlepas dari kemampuan individu mereka yang di atas rata-rata, kemampuan mereka dalam hal berkoordinasi untuk menjaga area pinggir lapangan patut diacungi jempol.

Pada pertandingan Kevin/Marcus ketika berhadapan dengan ganda putra asal Denmark, Mads Conrad-Petersen/Mads Pieter Kolding melalui YouTube, terlihat sekali bahwa keduanya tampil ciamik menjaga pertahanan sisi pinggir lapangan. Partai semifinal All England 2017 itu pun berlangsung seru. Bertubi-tubi sebelah pinggir Kevin/Marcus diserang, tetapi Minions tetap tenang membalikkan kok. Hingga pada akhirnya Kevin/Marcus memperoleh momentum melancarkan serangan balik yang berbuah poin untuk mereka. Proses itu dilakukan lewat pinggir lapangan.

Gol yang dicetak Mario Mandzukic pada final Liga Champions 2013 di Wembley melawan Borussia Dortmund juga melalui sayap. Ribery berhasil mengelabui Lukasz Piszczek dengan menggiring bola ke area kotak penalti. Selang beberapa detik, ia sodorkan umpan ke arah Robben yang berdiri bebas di kotak penalti. Dengan sentuhan magisnya, Robben juga berhasil mengelabui penjaga gawang Dortmund yang saat itu dikawal oleh Roman Weidenfeller. Lantas bola ia arahkan secara mendatar ke arah Mandzukic yang langsung menyarangkan bola ke gawang yang sudah kosong. Satu sentuhan mudah yang menjadi gol itu dimulai dari pinggir lapangan.

Franco Baresi dan Paolo Maldini

Bicara duet terbaik di lini pertahanan, tentu tidak lengkap jika tidak membahas para pemain dari Italia. Kehebatan sepakbola Italia dalam bertahan sudah diakui dunia. Adapun duet terbaik di lini pertahanan layak disematkan kepada Franco Baresi dan Paolo Maldini. Saking hebatnya, AC Milan sampai mempensiunkan nomor punggung 3 (nomor milik Maldini) dan nomor punggung 6 (nomor milik Baresi).

AC Milan pernah mencatatkan rekor 58 kali bertanding tanpa menelan kekalahan pada 1991 sampai 1993. Duet Baresi-Maldini pun ikut terlibat di dalamnya. Saat AC Milan menjadi juara pada 1991/92, klub yang bermarkas di San Siro itu hanya kebobolan sebanyak 21 kali sepanjang musim. Musim 1987/88 hanya kebobolan 14 kali, sementara pada musim 1993/94 AC Milan hanya kebobolan 15 kali. Lagi-lagi, Baresi-Maldini ikut terlibat.

Menjaga jantung pertahanan butuh koordinasi dan konsentrasi. Tentang koordinasi antara Baresi dengan Maldini menjadi spesial. Pasalnya, usia kedua pemain asal Italia ini terpaut delapan tahun. Hubungan antar keduanya pun bak senior dengan junior, tidak sebaya.

Begitu pun dengan Kevin dengan Marcus. Kevin Sanjaya lahir di Banyuwangi pada 2 Agustus 1996, sedangkan Marcus Gideon lahir di Jakarta pada 9 Maret 1991. Ada jarak lima tahun antara keduanya. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Marcus adalah seniornya Kevin. Mereka tidak sebaya.

Namun dalam urusan koordinasi, keduanya memiliki relasi yang spesial. Ketika kok sudah diservis, baik Kevin maupun Marcus sudah mengerti mereka akan pindah ke mana dan menjaga area yang mana. Begitu pula saat mereka diserang. Kevin dan Marcus tahu kapan harus bertahan dalam formasi melebar dan kapan harus berposisi depan-belakang dalam hal bertahan.

Duet Baresi-Maldini dan Kevin-Marcus jadi bukti bahwa usia bukanlah halangan. Mereka tetap sanggup melakukan koordinasi dengan baik meski tidak sepantaran. Bahkan duet beda usia itu sanggup menjadi yang terbaik di dunia.

Komentar