Melatih Manusia, Bukan Pesepakbola

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Melatih Manusia, Bukan Pesepakbola

Tahun 2011, Östersunds FK masih berkutat di divisi keempat liga sepakbola Swedia. Penampilan kali pertama di divisi tertinggi baru mereka jalani pada 2016. Februari nanti, Östersunds akan bertanding di 32 besar Europa League. Lawannya adalah Arsenal. Usia Östersunds bahkan lebih muda dibanding kebersamaan The Gunners dengan Arsène Wenger.

Jumlah gelar bergengsi tak perlulah dibandingkan. Arsenal punya piala emas Premier League dan puluhan piala lain; piala bergengsi milik Östersunds hanya satu: Svenska Cupen, Piala Swedia.

Tapi itu tidak jadi soal. Kepercayaan diri Östersunds sangat tinggi. “Kami bisa menjuarai Europa League,” kata chairman Östersunds, Daniel Kindberg, kepada ESPN pada September lalu. “Jika kami tak bisa, tak ada gunanya bersaing. Tidak boleh berharap. Harus percaya. Ada bedanya.”

Pernyataan Kindberg terasa seperti kepercayaan diri yang berlebihan saat itu, bahkan walau nyatanya Östersunds menyingkirkan Galatasaray (putaran kedua), Fola Esch (putaran ketiga), dan PAOK FC (play-off) untuk mencapai fase grup. Setelah Östersunds lolos dari Grup J sebagai runner-up -- dengan jumlah poin yang sama dengan Athletic Bilbao dalam grup yang juga diisi Zorya Luhansk dan Hertha Berlin -- rasanya pernyataan Kindberg cukup masuk akal.

Arsenal perlu berhati-hati, karena mereka akan menghadapi sekelompok pemain yang berani dan kompak.

Kekompakan dan keberanian Östersunds adalah buah dari pendekatan unik sang chairman di luar lapangan. Tapi tentu saja itu bukan satu-satunya alasan. Graham Potter, pelatih kepala Östersunds, bekerja dengan sangat baik sehingga kerja keras di luar lapangan bersanding dengan kerja yang sama kerasnya dalam latihan, sehingga manfaatnya benar-benar terasa dalam pertandingan.

Potter, seorang pelatih berkebangsaan Inggris, bukan sosok ternama. Namun belum tentu ada yang lebih cocok untuk Östersunds ketimbang dirinya. Östersunds tidak memperlakukan para pemainnya sebagai pekerja, tetapi sebagai manusia.

Salah satu hal pertama yang dilakukan Kindberg saat merombak ulang Östersunds pada 2010 adalah merekrut Potter. Kindberg sebenarnya sudah menginginkan sang pelatih muda sejak lebih dari setahun sebelumya, namun kesibukan Potter sebagai mahasiswa pascasarjana di Leeds Metropolitan University menjadi penghalang usaha-usaha Kindberg sebelumnya. Pada 2010, walau demikian, kendala tak lagi ada.

Melatih tim kecil di sebuah kota terpencil yang sangat dingin jelas bukan tawaran menarik, namun Potter tetap mengambil tawaran yang datang. “Ia hanya ingin menjalani kehidupan impiannya dan bekerja sebaik mungkin,” ujar Kindberg. “Di lapangan pertandingan, ia memiliki kesadaran taktikal yang lebih tinggi dari level sepakbola Skandinavia. Caranya mengembangkan pemain dan tim ada tak ada duanya.”

Barangkali Kindberg hanya memuji, tapi pujiannya tak meleset. Kepemimpinan dan kecerdasan emosionalnya membuat Potter mampu mengeluarkan kemampuan para pemain Östersunds, yang kebanyakan adalah pemain buangan dari klub-klub lain.

“Ia bukan hanya pelatih sepakbola,” ujar Brwa Nouri, kapten tim Östersunds, kepada ESPN -- matanya berkaca-kaca pada beberapa kesempatan. “Ia mungkin salah satu pria terbaik yang pernah kutemui sepanjang hidupku.” Pertemuan dengan Potter di Stasiun Pusat Stockholm menyelamatkan karier Nouri yang nyaris mati karena gaya hidupnya yang sembarangan semasa membela AIK Fotboll.

“Potter secara emosional sangat cerdas dalam berinteraksi dengan orang-orang, membuatmu merasa diterima, dan membuatmu berkembang. Ia sangat ahli dalam banyak hal. Kau harus mengalaminya sendiri, tapi bagiku, ia luar biasa. Dan aku merasa sangat bersyukur. Setelah apa yang aku lewati, setelah sejauh itu aku jatuh, aku tak percaya aku bisa meraih hal-hal yang kumiliki sekarang.”

Nouri bukan satu-satunya pemain yang kariernya diselamatkan Potter. Curtis Edwards, eks pemain Sunderland AFC yang kehilangan momentum dan terjerumus di divisi kedelapan liga sepakbola Inggris, dan Jamie Hopcutt, eks pemain York City, juga menemukan kesuksesan di bawah arahan Potter. Sepakbola Inggris, yang berorientasi profit, sangat kejam.

“Jika kau dilepas oleh klub Inggris dan kau secara fisik tak cukup kuat untuk sistem nonliga, kau bisa terlempar seketika,” ujar Potter kepada ESPN. “Namun dalam pandanganku, siapa pun yang kami rekrut, sepakbola tetap permainan tim yang dimainkan oleh manusia. Jika kau melupakan itu, maka jalanmu akan sulit, dan masalah akan muncul. Saya rasa pengembangan karakter, dan memperlakukan pemain sebagai manusia, adalah penting bagi kami.”

Pendapat Potter diamini Kindberg. “Ketika kami menyatukan mereka dalam lingkungan yang kami miliki, mereka menjadi pemain hebat di Eropa,” ujarnya kepada CNN. “Pemain-pemain selalu bisa menjadi lebih baik. Pemain-pemain selalu bisa menjadi jauh lebih baik.”

Pujian terhadap Potter memang tidak berlebihan, setidaknya memujinya sebagai orang Inggris. Ia berhasil membawa sebuah kesebelasan tidak terkenal menapaki tangga promosi dengan cepat, dan melangkah jauh di Liga Europa, sampai akhirnya ia akan menghadapi kesebelasan besar asal negara kelahirannya. Tapi yang paling istimewa dari pencapaiannya adalah, ia jadi satu-satunya pelatih asal Inggris yang tersisa di kompetisi Eropa (Liga Champions maupun Liga Europa) di fase gugur.

Komentar