Catatan Kecil dari Tangerang: Kaki-kaki yang Rusak, Mimpi-mimpi yang Indah

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Catatan Kecil dari Tangerang: Kaki-kaki yang Rusak, Mimpi-mimpi yang Indah

Mukhlis sempat tak bisa mengatakan apa-apa. Kemudian tak ada yang menyangka, pria asal Ternate itu menitikkan air matanya di hari penutupan Kursus Kepelatihan Lisensi D Nasional itu. Enam hari yang awalnya mungkin diharapkan segera cepat berakhir agar bisa memulai karier jadi pelatih atau kembali pada rutinitasnya, menjadi enam hari yang terasa sangat singkat dan terlalu cepat berakhir baginya.

Mukhlis bukan satu-satunya calon pelatih yang menangis di hari terakhir kursus kepelatihan yang diselenggarakan Villa 2000 Football Academy yang berlokasi di Tangerang Selatan ini. Sebelumnya, Saniman, bapak berusia 53 tahun, peserta tertua pada kursus kepelatihan ini, juga tak kuasa membendung air matanya ketika mengakhiri sesi latihan praktik.

Selama enam hari, kami para calon pelatih masa depan Indonesia, memang tidak berjalan sendiri-sendiri. Selain adanya suatu kewajiban untuk membuat kelompok (yang berjumlah 4-5 orang) untuk sesi praktik, ke-28 peserta kepelatihan ini menjalin kekerabatan yang membuat kami semua mengenal satu sama lain.

Para peserta yang mengikuti kursus kepelatihan ini datang dari segala penjuru. Mukhlis yang dari Ternate bukan yang terjauh, tapi ada juga peserta lain yang datang jauh-jauh dari Timika, Samarinda, Palembang, Medan, atau Malang. Bahkan ada satu peserta yang merupakan keturunan Amerika-Indonesia.

Tapi meski asal daerah kami berbeda, kami semua satu tujuan, yaitu memajukan sepakbola Indonesia di masa depan.

***

Pada awal Agustus 2017 ini, tepatnya dari tanggal 6 Agustus hingga 11 Agustus, saya mengikuti kursus kepelatihan lisensi D Nasional. Lisensi D ini merupakan langkah awal bagi siapapun, khususnya yang bukan (mantan) pesepakbola profesional, untuk memulai karier jadi pelatih sepakbola.

Cerita pada paragraf awal di atas benar-benar tak saya sangka. Di hari pertama kursus, yang ada di pikiran saya kursus kepelatihan ini, yang hanya enam hari itu, mungkin hanya waktu yang singkat bagi "orang-orang asing" yang sama-sama bercita-cita jadi pelatih. Tapi ternyata lebih dari itu.

Kekeluargaan terjalin cukup erat di antara setiap pesertanya. Mungkin pertemuan dan segala kegiatan dari pukul 7 pagi hingga 5 sore selama enam hari membuat semua peserta menjadi lebih cepat akrab. Apalagi bagi 11 orang yang menginap di mes dekat lapangan dan kelas kepelatihan, bisa dibilang hampir selama 150 jam bersama-sama. Mukhlis dan Saniman termasuk di dalam 11 orang tersebut. Pun begitu dengan saya.

Dengan kebersamaan seperti itu, tak heran para peserta saling bertukar cerita di saat istirahat. Dari situ juga saya mendapatkan bahwa para calon pelatih ini punya mimpi yang sama, yaitu memajukan sepakbola Indonesia di masa depan. Mayoritas dari mereka prihatin dengan situasi sepakbola Indonesia saat ini yang kering prestasi dan hanya menimbulkan kontroversi.

Dari cerita-cerita mereka juga, saya mendapati ternyata banyak dari mereka yang masih menaruh harapan besar pada sepakbola. Saya bercita-cita menjadi pelatih karena saya ternyata tak bisa mewujudkan mimpi untuk menjadi pesepakbola profesional. Ini juga yang dirasakan oleh banyak dari peserta kursus kepelatihan lisensi D nasional kemarin.

Kalian pasti asing dengan nama Dyangga Yureztyo. Saya yang cukup berkutat dengan berita-berita sepakbola nasional pun cukup asing dengan namanya. Tapi ternyata setelah mengenal lebih jauh, Dyangga adalah pesepakbola yang sempat malang melintang di sejumlah kesebelasan divisi dua Indonesia seperti Persikad, Persikabo, PS Bengkulu, PS Bangka, Villa 2000 hingga Persitara. Mendengar cerita darinya, ia pun mengikuti kursus kepelatihan lisensi D tersebut agar bisa memulai kariernya sebagai pelatih setelah ia terancam gagal melanjutkan karier sebagai pesepakbola profesional.

Jika saya dulu tak bisa melanjutkan SSB gara-gara cedera pergelangan kaki yang cukup lama, Dyangga juga terancam kehilangan harapannya untuk bisa berkarier sebagai pesepakbola karena cedera yang didapatnya pada 2016 lalu. Saat itu ia masih bermain untuk Persikad Depok di ajang ISC B. Saat libur kompetisi, ia mengikuti tarkam. Di situlah ia mendapatkan cedera ACL yang membuatnya harus dioperasi.

"Sebenernya salah saya gak bisa jaga kondisi dan atur waktu. Pas kompetisi selesai, banyak ikut tarkam. Saya gak pinter ngatur waktu istirahat dan latihannya. Mungkin pas ototnya gak siap, kena benturan," beber Dyangga. "Awalnya cedera di Jasinga Bogor, bener-bener parah pas di open tournament di Krukut, Depok."

Dyangga sendiri saat ini masih berusaha untuk sembuh agar bisa kembali melanjutkan kariernya. Tak heran memang, karena 12 tahun yang lalu, ia sempat masuk timnas Indonesia U-17. Saat itu ia dipanggil bersama nama-nama lain yang kariernya "lebih beruntung" darinya saat ini seperti Ramdani Lestaluhu, Rachmat Latief, Ricky Ohorella, Okto Maniani, Syamsir Alam, hingga Hendro Siswanto yang bisa mencapai level top. Meski begitu, ia sadar dengan kakinya yang cedera itu ia harus mengantisipasi untuk tetap "hidup" di sepakbola, yaitu mulai merintis karier sebagai pelatih.

Dyangga ada di barisan kedua pada foto di atas

Jika Dyangga baru cedera belum lama ini, Egi Hermawan yang juga peserta kursus kepelatihan lisensi D kemarin punya cerita yang lebih tragis. Egi harus memupus harapannya untuk terus menjadi pesepakbola profesional karena cedera yang ia derita pada 2012 lalu. Ketika itu, Egi yang membela Persita Tangerang U21, diterjang oleh pemain Pelita Jaya U21 yang kini membela Semen Padang, Irsyad Maulana, hingga kaki kanannya patah.

Bersambung ke halaman berikutnya....

Komentar