Cerminan Sauvinisme dalam Sepakbola Julen Lopetegui

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Cerminan Sauvinisme dalam Sepakbola Julen Lopetegui

Julen Lopetegui tidak pernah angkat kaki dari Spanyol ketika masih menjadi pemain. Seluruh kariernya sebagai pemain dihabiskan bersama Castilla, Real Madrid, Las Palmas, Logrones, Barcelona dan Rayo Vallecano. Begitu juga ketika mulai menapaki karier sebagai pelatih sepakbola, Lopetegui sulit move on dari negaranya sendiri. Rayo vallecano dan Madrid B adalah kesebelasan yang pernah dilatihnya. Sisanya, Lopetegui lebih banyak melatih skuat muda Spanyol dalam berbagai usia, dari U-17 sampai U-21 pernah ditangani.

Bermodalkan membawa juara Piala Eropa bersama Spanyol U-19 dan U-21, akhirnya Lopetegui memberanikan diri keluar dari negara kelahirannya untuk pertama kali. Tidak tanggung-tanggung, Lopetegui menerima tawaran dari FC Porto pada 2014. Menerima tawaran dari kesebelasan yang kaya akan sejarah dan prestasi di Portugal.

Ketika mulai keluar dari zona nyamannya, Lopetegui seolah mencerminkan sauvinisme atau cinta bangsa sendiri di dalam sepakbola kepada Porto. Paham itu ditunjukkannya melalui aktivitas transfer Porto pada musim panas 2014, dengan cara membawa gerbong pemain Spanyol di tubuh Porto secara ekstrem. Tidak tanggung-tanggung, Lopetegui mengamini tujuh pemain asal Spanyol ke Porto dan beberapa pemain asing yang berkiprah di La Liga.

Gerbong pertama diisi Oliver Torres, Jose Campana, Jose Angel, Andres Fernandez, Ivan Marcano, Cristian Tello dan Adrian Lopez. Musim berikutnya gerbong Spanyol diangkut lebih sedikit. Lopetegui cuma memboyong Akberto Bueno, Iker Casillas dan Miguel Layun, pemain Meksiko berdarah Spanyol. Jika ditelaah, pemain-pemain yang diboyongnya itu mayoritas berdarah muda, kecuali Casillas. Mereka merupakan pemain yang sedikit mendapatkan kesempatan di kesebelasan yang diperkuat sebelumnya.

Atas gerbong Spanyolisasi itu, Lopetegui seperti memiliki visi misi khusus untuk memberikan kesempatan bagi para pemain Spanyol yang dimintainya, apalagi dengan bakat-bakat muda seperti Torres, Campana, Jose Angel dan Tello. Maklum, Lopetegui lebih banyak berkecimpung di skuat-skuat muda kesebelasan dan tim nasional Spanyol itu sendiri.

Di sisi lain, Lopetegui bertekad merevolusi gaya permainan Porto dari tujuh pelatih sebelumnya saat itu. Ia pun menularkan gaya permainan Barcelona yang mengutamakan penguasaan bola. Tapi apa yang diinstruksikannya di Porto selama dua musim tidak terlalu signifikan. Lopetegui tetap gagal mengembalikan tahta juara Liga Primeira kepada Porto. Bahkan pada musim lalu ia harus mati-matian menembus zona liga Champions Liga Primeira 2015/2016. Maka muncul anggapan bahwa gaya kepelatihan Lopetegui tidak cocok dengan sepakbola Portugal.

Kendati demikian, gaya kepelatihan Lopetegui dianggap cocok dengan timnas senior Spanyol, sehingga ia ditunjuk menjadi pelatih menggantikan Vicente del Bosque. Padahal Lopetegui menolak tawaran pertama dari Spanyol karena akan menjadi Manajer Wolverhamtpon. Tapi ia berubah pikiran dan menerima tawaran dari Spanyol.

"Saya sangat tertarik untuk datang ke Inggris. Ada begitu banyak hal positif. Wolves adalah klub besar, bersejarah, dengan fans yang fantastis, salah satu klub dengan infrastruktur klub-klub besar," ujar Lopetegui. "Ketika mereka (federasi sepakbola Spanyol) menghubungi Anda dan meminta untuk mengambil kendali, itu karena mereka percaya kepada Anda bahwa Anda orang yang layakan melakukan pekerjaan tersebut. Meskipun Anda tahu itu adalah tanggung jawab yang besar," sambungnya seperti dikutip dari Sky Sports.

Pada konferensi pers pertamanya, Lopetegui menegaskan tidak akan merevolusi timnas Spanyol saat ini. Hal itu dikatakan dengan rasa percaya diri karena Lopetegui mendapatkan warisan generasi yang cukup bagus dari Del Bosque. Gaya permainan yang diterapkan pria 49 tahun itu tidak berbeda jauh dengan Bosque.

Perbedaannya hanya dalam pengalaman saja. Spanyol tergolong sangat berani menunjuk pelatih muda dan belum pernah juara di level klub, untuk menangani timnas yang ingin mengembalikan prestasinya. Kariernya di klub selalu berakhir buruk karena dipecat Vallecano dan Porto serta gagal membawa Madrid B promosi.

Tapi justru itulah yang akan menguji kesabaran para pendukung Spanyol, sebab Lopetegui ditunjuk bukan untuk hasil yang instan. Melainkan ada visi misi khusus kepadanya, yaitu menunjukkan keahliannya untuk mengorbitkan pemain muda berkualitas. Soal hal itu, federasi sepakbola Spanyol percaya kepada Lopetegui karena pengalamannya melatih skuat-skuat muda. David de Gea, Thiago Alcantara, Javi Martinez, Koke, Alvaro Morata, Isco dan Dani Carvajal adalah anak didik Lopetegui ketika menjuarai Piala Eropa U-21.

Sementara para pemain top di Spanyol sudah memudar seiring dengan bertambahnya usia. Walau skillnya masih yahud, Andres Iniesta misalnya, bukanlah pemain dengan kemampuan yang sama seperti dua atau lima tahun yang lalu.

"Saya yakin bahwa generasi sepakbola Spanyol ini adalah yang terbaik," ujar Lopetegui seperti dikutip dari The Guardian.

Atas sisi sauvinisme Lopetegui, yang perlu dinantikan yaitu tentu saja generasi baru yang akan muncul di skuat Spanyol nanti. Namun sisi lainnya adalah, masih belum ada kepastian apakah pemain naturalisasi semacam Marcos Senna dan Diego Costa akan diterimanya di skuat Spanyol. Sebab ia akan menggunakan kesempatannya ini untuk menunjukkan superior para pemain dari negaranya sendiri. Jika memang benar seperti itu, maka tidak ada kesempatan bagi Gerard Pique untuk meremehkan lagu nasional Spanyol sebelum sepak mula.

Sumber lain: Daily Mail, UEFA.

Komentar