De Klassieker, Saat Suporter Ajax Bertempur vs Suporter Feyenoord

Cerita

by redaksi

De Klassieker, Saat Suporter Ajax Bertempur vs Suporter Feyenoord

Ketika Amsterdam masih bermimpi, Rotterdam sudah sibuk bekerja.

Dua kota terbesar di Belanda, Amsterdam dan Rotterdam, memang bersaing dalam banyak hal. Tak terkecuali melalui sepakbola.

Laga antara dua kesebelasan terbaik dari masing-masing kota, Ajax vs Feyenoord, bahkan menjadi salah satu laga paling berbahaya di Eropa. Laga keduanya dijuluki De Klassieker. Selalu melahirkan kekacauan, kerusuhan, perkelahian, hingga kematian. Kedua kelompok suporter biasa saling baku hantam, bahkan walau pun Ajax tak sedang bertanding dengan Feyenoord.

Pada 23 Maret 1997, menjelang laga antara Feyenoord vs AZ Alkmaar, terjadi perkelahian massal antara kedua kelompok suporter di Beverwijk, di pinggiran kota Amsterdam. Ratusan suporter, dengan bersenjatakan tongkat baseball. batu dan pisau, berduel di sebuah area berlumpur.

Suporter yang baku hantam itu berasal dari dua firm (kelompok suporter) terbesar di masing-masing kesebelasan. S.C.F. Hooligans dari Feyenoord dan the F-Side dari Ajax Amsterdam.

Mengenai riwayat dan rekam jejak kekerasan SCF, simak profil kelompok hooligans Feyenoord dan rekam jejak kekerasannya DI SINI.

Rivalitas antara keduanya memang banyak berporos pada perseteruan antara dua firm ini. F-Side dibentuk pada 1976, tak lama setelah Ajax menjadi penguasa sepakbola Eropa. Di Amsterdam Arena, mereka ditempatkan di tribun selatan di belakang gawang. Sementara S.C.F Hooligans juga dibentuk di awal tahun 1970an. Sebelum terkenal dengan nama itu, mereka menamakan dirinya Vak S.

Pertempuran di Beverwijk pada 1997 ini terjadi di antara kedua firm tersebut. Hasilnya: Carlo Picornie tewas. Carlo merupakan salah seorang anggota senior F-Side.

Kematian Carlo ini dengan cepat mempertajam polarisasi kekerasan antara kedua belah pendukung. Polarisasi di antara kedua pendukung juga menajam, masing-masing firm ada sel intinya yang lebih agresif dalam melakukan kekerasan.

Itulah kenapa ada pembagian di masing-masing kelompok, dengan kecenderungan masing-masing, yang dibagi berdasar pra dan pasca (pertempuran) Beverwijk.

Peristiwa itu terjadi dua tahun setelah insiden lainnya. Pada 1995, saat Ajax bertandang ke De Kuip, kandang Feyenoord, mereka membuat kerusuhan dan polisi memaksa mereka kembali ke kereta. Mereka kemudian mengamuk dan menghancurkan kereta. Mereka terus memaksa mendekati De Kuip, sementara suporter Feyenoord di dalam stadion menyaksikan kesebelasan kesayangannya dikalahkan sang rival.

Suporter Feyenoord membalasnya saat berkunjung ke De Meer, kandang Ajax. Mereka sempat-sempatnya menyiapkan bom molotov dan melemparkannya ke tribun suporter Ajax. 18 orang cedera karena insiden itu.

Pada 2004, giliran suporter Ajax yang berulah. Dalam laga tim cadangan antara kedua kesebelasan, suporter Ajax menyerang para pemain muda Feyenoord yang saat itu diperkuat salah satunya oleh Robin van Persie. Pemain Feyenoord asal Kosta Rika, Jorge Acuna, menderita cedera parah di kepala dan lehernya karena serangan itu.

2006, Feyenoord mengontrak pemain Yunani, Angelos Charisteas, pencetak gol ke gawang Portugal di partai final Piala Eropa 2004. Charisteas sebelumnya bermain di Ajax, walau lebih sering sebagai cadangan. Di sesi latihan pertamanya di Feyenoord, dia harus dijaga oleh para petugas keamanan secara khusus, karena ancaman para suporter Feyenoord sendiri.

Panasnya hubungan kedua suporter ini tentu saja tak bisa dipisahkan dari rivalitas kedua kesebelasan itu sendiri. Salah satu insiden menggelikan, tapi pasti kian memantik rasa permusuhkan di antara kedua suporter, terjadi pada insiden Froylan Ledezma.

Pada 1997, saat pemain Kost Rika itu masih berusia 19 tahun, dia rencananya akan dikontrak Feyenoord. Pesawat yang membawa Ledezma mendarat di Schippol, bandara terbesar Belanda di Amsterdam. Petinggi Feyenoord sudah menunggu di terminal kedatangan. Entah bagaimana ceritanya, pihak Ajax mengendus hal itu. Mereka mencegat Ledezma di dalam pesawat. Ledezma malah menandatangani kontrak dengan Ajax, bukan dengan Feyenoord.

Insiden itu memicu kemarahan pihak Feyenoord. Mereka menuduh Ajax telah membajak bahkan menculik Ledezma. Beruntung bagi Feyenoord, Ledezma sama sekali tak bersinar dan tak pernah bermain di tim utama Ajax. Mereka setidaknya bisa tertawa di akhir, khusus dalam kasus Ledezma ini.

Rivalitas Ajax vs Feyenoord ini sudah berlangsung lama, sudah mengepul sejak akhir era 1960an dan berlanjut di awal 1970an.

Ajax memang bisa berbangga hati sebagai kesebelasan Belanda dengan trofi Piala Champions Eropa terbanyak. Tapi Feyenoord bisa berbangga karena merekalah kesebelasan Belanda pertama yang bisa berjaya di Eropa. Berturut-turut Ajax merajai Eropa (1970-71, 1971-72, 1972-73), tapi Feyenoord lebih dulu mengangkangi Eropa di musim 1979-1980.

Ajax boleh berbangga hati karena sistem total football yang termasyhur itu diidentikkan dengan Ajax melalui sosok maestro Rinus Michels dan kewibawaan Johan Cruyff di lapangan. Tapi bagi fans Feyenoord, sistem itu sudah dipraktikkan lebih dulu oleh Feyenoord melalui sosok legendaris asal Austria, Ernst Happel, yang melatih Feyenoord.

Johan Cruyff? Dia masyhur sebagai legenda Ajax. Dia yang membuat Ajax bisa merajai Eropa tiga musim berturut-turut. Tapi fans Feyenoord juga bisa balik mengejak Ajax: "Legenda kalian toh akhirnya bermain untuk Feyenoord dan memimpin kesebelasan kami merajai Belanda."

Itu terjadi pada 1983. Musim sebelumnya Curyff tak ditawari perpanjangan kontrak oleh Ajax. Untuk membalas perlakuan itu, Cruyff bergabung dengan Feyenoord. Di bawah kepemimpinan Cruyff, juga diperkuat oleh Ruud Gullit yang masih muda saat itu, Feyenoord meraih gelar ganda, Eredivisie dan Piala KNVB.

Adakah yang lebih menyakitkan saat legenda kita bermain untuk kesebelasan rival? Itulah yang terjadi saat Cruyff menyeberang ke Rotterdam.

Rivalitas antara Ajax vs Feyenoord pada masa itu memang sangat menggairahkan. Miguel Delauney mengibaratkan rivalitas keduanya di sepakbola sebagaimana rivalitas antara Mohammad Ali vs Joe Frazier di dunia tinju.

Wartawan De Telegraaf, surat kabar terbesar di Belanda, Mike Verweij, menyebut rivalitas antara Ajax vs Feyenoord ini tak bisa dipisahkan dari persaingan antara Amsterdam dan Rotterdam. Dua kota ini memang kota terbesar di Belanda dan satu sama lain saling bersaing sedemikian rupa.

"Ini pola yang juga terjadi di banyak negara. (Persaingan) antara kota nomer satu dan nomer dua. Seperti Barcelona dan Madrid di Spanyol," kata Verweiij.

Populasi Amsterdam mencapai sekitar 1,6 juta, sementara populasi Rotterdam sekitar 1,3 juta. Rotterdam merupakan kota yang banyak dihuni kelas pekerja dan merupakan salah satu kota pelabuhan paling sibuk di dunia. Inilah yang melahirkan ucapan yang menjadi pembuka tulisan ini: Ketika Amsterdam masih bermimpi, Rotterdam sudah sibuk bekerja. Dalam kalimat yang lain, kira-kira: "Uang dicari di Rotterdam, dibuang di toilet-toilet Amsterdam."

Rivalitas keduanya agak menurun setelah Walikota Amsterdam dan Rotterdam, pada 2009, menandatangani kesepakatan yang melarang kedatangan kedua kelompok suporter. Jadi supoerter Ajax tak bisa pergi ke Rotterdam, begitu juga sebaliknya, saat kedua kesebelasan saling bertemu. Kesepakatan itu berlangsung untuk lima musim, per 2009.

Ini musim 2014-2015, artinya kesepakatan antara dua walikota itu sudah lewat lima musim dan kedua kesebelasan akan bertemu di Amsterdam Arena. Kita lihat apa yang akan terjadi di Amsterdam hari ini.

Sumber foto: FourFourTwo

Komentar