Bagaimana Cara Prancis Melahirkan Generasi Emas?

Analisis

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Bagaimana Cara Prancis Melahirkan Generasi Emas?

Satu kali juara dan satu kali juga menjadi runner-up Piala Dunia ditambah dua kali memenangkan Piala Eropa dan sekali menjadi runner-up ajang itu, tentu Prancis bukanlah tim nasional (timnas) sembarangan. Zinedine Zidane, gelandang terbaik era milenium, juga berasal dari negara tersebut walau Aljazair mengalir di darahnya.

Saat ini, Prancis pun memuncaki klasemen sementara Grup A Kualifikasi Piala Dunia 2018 di Rusia. Jika mampu bertahan sampai akhir fase grup, maka Prancis bisa lolos otomatis. Walau begitu posisi mereka belum aman karena hanya terpaut satu poin dari Swedia. Dalam waktu dekat ini Prancis akan bertandang ke Bulgaria dan menjamu Luksemburg pada pertandingan lanjutan Grup A Kualifikasi Piala Dunia 2018, dua laga yang di atas kertas mudah bagi Prancis.

Posisi puncak yang ditempati Prancis sendiri cukup membuktikan kekuatan mereka. Apalagi kini mereka memiliki pemain-pemain berkualitas dengan usia muda. Bahkan bisa dibilang bahwa skuat timnas Prancis di Piala Eropa 2016 adalah generasi emas timnas berlogo ayam jantan tersebut. Sekarang, generasi-generasi baru berpotensi pun seolah makin tidak terbendung.

Tengok saja pemain-pemain yang tidak dipanggil pelatih Prancis, Didier Deschamps, dalam menghadapi Bulgaria dan Luksemburg. Ada nama-nama seperti Anthony Martial, Aymeric Laporte, Kevin Gameiro, Nabil Fekir, Tiemoue Bakayoko dan lain-lain. Padahal mereka bukanlah pemain sembarangan dan memiliki peran penting bersama kesebelasannya masing-masing.

Apalagi Martial dan Bakayoko menunjukkan penampilan yang apik dalam beberapa pertandingan terakhir bersama masing-masing kesebelasannya. Tapi meski tanpa adanya Bakayoko, Deschamps masih memiliki N`Golo Kante, Corentin Tolisso atau Adrien Rabiot. Begitu pun dengan tidak terpanggilnya Martial karena Deschamps memanggil Alexandre Lacazette, Antoine Griezmann, Kylian Mbappe dan Kingsley Coman.

Catatan di atas belum termasuk pemain-pemain yang sedang cedera panjang, seperti Benjamin Mendy, serta pemain termahal kedua di dunia Paul Pogba dan Ousmane Dembele. Maka jika skuat Prancis lengkap, betapa mengerikannya kualitas individu pemain setiap lini.

Melihat kondisi semacam ini, muncul konklusi bahwa Prancis saat ini kebanjiran pemain berkualitas. Alhasil, mau tidak mau selalu ada korban pencoretan pemain yang sebenarnya punya kualitas. Pemain yang dipanggil tentu adalah mereka yang, selain tengah on-form, juga sesuai dengan strategi yang hendak diterapkan Deschamps.

Lalu apa penyebab Prancis memiliki segudang talenta berbakat?

Berawal Dari Kejenuhan Dominasi Paris Saint-Germain (PSG)

Berbicara soal timnas Prancis, lebih baik menengok kualitas dari liga domestiknya itu sendiri. Setelah menjadi runner-up Piala Dunia 2006, Prancis cukup terpuruk di berbagai turnamen internasional, terlepas dari pensiunnya generasi Zidane dkk. Selanjutnya mereka tidak lolos dari fase grup Piala Eropa 2008 maupun Piala Dunia 2010.

Tapi pada saat itu, persaingan Ligue 1 Prancis cukup merata. Bordeaux, Montpellier, Olympique Lyonnais, Olympique Marseille dan OSC Lille, bergantian menjadi juara. Dalam sekitar empat sampai lima musim itu, masing-masing kesebelasannya selalu sekuat mungkin memperkuat skuatnya, baik membeli maupun mempertahankan pemain andalannya. Walau tidak sedikit juga yang menjual pemain-pemain andalannya, tapi tidak semasif beberapa tahun terakhir ini. Perbelanjaan pemain pun dibilang biasa-biasa saja.

Semua itu berubah sejak Paris Saint-Germain (PSG) dipresideni Nasser Al-Khelaifi, konglomerat pemilik Oryx Qatar Sports Investments (QSi) pada 2012 lalu. Sejak itulah Ligue 1 didominasi PSG setelah menjuarai kompetisi itu empat kali beruntun sejak musim 2012/2013 sampai 2015/2016. Dominasi PSG dari gelontoran uang presidennya membuat kesebelasan lain tampak pasrah untuk menyainginya. Alhasil, kesebelasan lain lebih banyak memaksimalkan pemain binaan dan pembelian seadanya.

Setelah itu, banyak pemain binaan yang berkembang tapi sulit menggapai juara bersama kesebelasannya itu. Mereka tampak pasrah. Kecuali jika pemain seperti Lyvin Kurzawa yang memilih meninggalkan AS Monaco untuk bergabung dengan PSG sehingga bisa merasakan gelar juara Ligue 1.

Sementara pemain-pemain berkembang lain justru lebih memilih pergi ke liga lain dengan harapan bisa mencicipi gelar, mendapatkan menit bermain lebih banyak, atau sekadar menambah pengalaman.

Lihat saja pemain-pemain di kesebelasan papan atas di empat kompetisi top lainnya selain Ligue 1. Hampir seluruhnya terdapat pemain Prancis di dalam skuatnya. Sejak dominasi PSG dimulai, pemain-pemain berbakat dari Ligue 1 lebih memilih pergi ke kompetisi lain. Contohnya saja seperti Clement Grenier, Geoffrey Kondogbia, Kurt Zouma, Samuel Umtiti dan masih banyak lagi.

Kingsley Coman dan Lucas Digne pun merupakan korban padatnya skuat bintang PSG sehingga harus memilih pergi ke kesebelasan top liga lain. Selain menambah pengalaman, potensi untuk merasakan gelar juara pun juga ada. Dominasi PSG itu seperti apa yang dikatakan legenda timnas Prancis, Emmanuel Petit tentang situasi Ligue dalam lima tahun terakhir.

"Di Prancis, kita tidak akan pernah tahu (yang akan juara). Rasanya seperti memutarkan koin, kita tidak akan tahu siapa yang akan selesai dengan gelar juara. Tapi dengan Paris Saint-Germain sejak diambil alih orang Qatar, kita selalu berada di dalam posisi yang sama," imbuh mantan pemain Prancis itu seperti dikutip dari Soccerway.

Monaco pun sempat menggeliat melalui uang yang digelontorkan jutawan dari Rusia, Dmitry Rybolovlev. Tapi rupanya itu belum cukup untuk menandingi PSG. Rybolovlev pun seolah menyerah menandingi dominasi PSG. Kebijakan transfer yang sebelumnya jor-joran pun berubah haluan menjadi lebih mengutamakan pemain-pemain binaannya yang dicampur dengan sisa-sisa bintang kekayaannya, seperti Radamel Falcao dan Joao Moutinho.

Namun rupanya cara itu lebih berhasil dan mampu menjuarai Ligue 1 2016/2017. Apalagi saat itu PSG sedang menjalani masa peralihan kepelatihan dari Laurent Blanc kepada Unai Emery. Berbeda dengan kesebelasan lainnya dengan keuangan yang pas-pasan sehingga lebih memilih memaksimalkan pemain binaan sendiri atau rekrutan baru yang biasa saja.

Walau begitu, sisi positif dari monopoli PSG dalam beberapa tahun terakhir tak bisa dimungkiri menjadi penyebab menyebarnya talenta muda Prancis ke luar Prancis. Hal itulah yang membuat pemain berbakat Prancis seolah menyebar di liga-liga top Eropa. Penyebaran mereka jugalah yang membuat Prancis memiliki banyak pilihan untuk skuat timnas mereka sendiri.

Apa yang Diinginkan Pesepakbola Prancis Ada di Clairefontaine

Prancis saat ini bisa dibilang memiliki generasi emas untuk Piala Dunia 2018. Pemain-pemain seperti Griezmann, Mbappe, Paul Pogba dan Raphael Varane berkemungkinan besar bermain pada kompetisi itu jika tidak mengalami cedera. Rupanya, empat pemain itu tidak lepas dari sebuah program yang dicanangkan Federasi Sepakbola Prancis pada 1988 yaitu Le Centre Technique National Fernand Sastre atau yang lebih dikenal dengan sebutan NF Clairefontaine.

Bersambung ke halaman berikutnya

Komentar