Menjadi Suporter di Tanah Rantau

Editorial

by redaksi

Menjadi Suporter di Tanah Rantau

Merantau punya fungsi penting dalam kebudayaan di Indonesia. Di beberapa kebudayaan, merantau menjadi bagian penting dalam busur kehidupan seseorang. Penahbisan seseorang sebagai manusia dewasa kadang dikaitkan dengan keberaniannya merantau jauh dari puak dan kampung halaman.

Mereka yang merayap dari bawah di tanah rantau, tahu benar merantau bukanlah pilihan yang mudah. Kangen kampung halaman menjadi hal biasa. Kerinduan yang merawat melankolia dan pembayangan akan tanah asal.

Bagaimana jika yang merantau itu sekaligus juga seorang suporter yang gigih? Apa jadinya si perantau itu tiap kali melihat kesebelasan kesayangannya sedang bertanding di kampung halamannya sendiri?

******

Entah kutukan atau berkah, saya lahir dari keluarga yang gemar sepakbola. Sedari kecil tribun stadion sudah menjadi tempat yang nyaman untuk menyandarkan punggung dan belajar "olah vokal" dengan bernyanyi, berteriak dan memaki. Bahkan dentuman perkusi dan tepuk tangan penonton sudah seirama dengan tarikan nafas sejak kecil.

Bangun tengah malam untuk menyaksikan siaran langsung sepakbola juga bukan hal yang haram, bahkan bagi anak SD yang esoknya masih harus sekolah. Syarat yang diajukan bapak waktu itu juga sederhana: saya harus tidur siang setelah pulang sekolah ketika malam harinya begadang nonton bola.

Menonton sepakbola langsung di stadion ibarat piknik bagi keluarga kami. Piknik keluarga itu hanya akan absen ketika ada kepentingan yang memang sangat mendesak dan tak bisa ditangguhkan.

Bahkan pernah saat pertandingan Persik Kediri harus ditunda menjadi pagi hari karena lapangan becek, bapak berjanji tetap akan mengajak saya menonton. Esoknya, bapak menjemput saya dari sekolah. Bapak sampai berbohong dengan guru agar dapat menjemput ke sekolah dan pergi ke stadion dengan seragam SD yang masih melekat di badan.

Suasana rumah seperti itulah yang membuat rindu tatkala harus pergi menimba ilmu ke kampung orang. Seharusnya kondisi demikian tidak jadi masalah karena dua kota yang saya tinggali, yaitu Malang dan kini Bandung, punya atmosfer yang kuat untuk urusan sepakbola.

Tapi tetap saja tidak ada tempat senyaman rumah sendiri. Namun keadaan ini justru membawa pengalaman baru. Jika di kandang sendiri bebas bertingkah apapun, tidak demikian di kandang orang. Salah ucap atau tindakan sedikit saja di stadion bisa mendatangkan masalah.

Maka ketika mendapat kesempatan untuk pulang walau hanya sebentar, kesempatan ini jelas tidak boleh disia-siakan. Terutama jika sedang ada jadwal pertandingan. Mengumpat wasit hingga mencerca tim sendiri apalagi lawan adalah sah. Menorobos konvoi suporter karena perut sudah lapar seusai pertandingan juga tanpa khawatir. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan semaunya di kota orang.

Kembali ke stadion saat harus mudik ibarat bernostalgia terhadap masa lalu. Bahkan selama 90 menit pertandingan, jarang sekali saya fokus ke permainan. Waktu seperti habis untuk menikmati atmosfer tribun. Seakan hendak menghabisi rasa rindu yang tersimpan begitu lama. Arah pandangan mata selalu berputar dari ujung ke ujung, melihat bagaimana atap tribun VIP yang mulai banyak lubang. Juga atmosfer Stadion Brawijaya yang rasanya tidak lagi angker. Hingga makin banyak suporter bernyanyi yang bahasanya tidak saya mengerti. Entah saya sedang di Kediri, atau salah satu kecamatan di Italia.

Bagaimanapun keadaanya, saya tetap merasa nyaman karena ini rumah sendiri. Maka ketika mengetahui beberapa tim Liga Indonesia tidak dapat menggunakan kandangnya karena masalah kelayakan stadion, sedikit banyak saya bisa mengerti perasaan mereka.

Yang terpokok bukan soal biaya yang harus ditanggung, tetapi rasa pahit "terusir" dari kandang sendiri. Sebanyak apapun suporter yang datang, saya yakin situasinya tetap akan berbeda. Ada atmosfir yang tak tergantikan.

*****

Berbicara tentang suporter tanah rantau. Tentu saja saya tidak sendiri beberapa kawan juga mengalami nasib serupa, atau mungkin juga anda? Beberapa dari suporter perantau itu malah mengorganisir diri dengan jumlah yang tidak sedikit. Terkadang momen menonton sepakbola justru menjadi ajang reuni besar, tempat para perantauan saling bertemu.

Ketika musim lalu bobotoh Persib sempat dikabarkan dilarang melakukan away, pernyataan Heru Joko sangat tepat menggambarkan situasi ini. Ketua Umum Viking Persib Club itu kira-kira berargumen: kalau bobotoh dilarang away, misalnya ke Jayapura, maka semua orang Sunda atau Jawa Barat yang sedang merantau di Papua kehilangan kesempatan untuk bertemu satu sama lain.

Menurut rekan saya Sidiq, suporter Semen Padang yang menjadi mahasiswa di Malang, orang Minang yang ada di Kota Apel dan sekitarnya memang sering mengadakan pertemuan rutin dalam rangka sillaturahmi. Namun saat Kabau Sirah bertanding di Malang, kondisinya bisa sangat berbeda.

Beberapa orang bahkan hanya ikut berkumpul ketika Semen Padang sedang bertanding.

Tidak begitu berbeda dengan tim Indonesia yang mempunyai tradisi besar lainnya. Saat pertandingan Persik Kediri melawan Persib Bandung, sekitar 1000 Bobotoh hadir di Brawijaya. Saat menuju stadion saya agak heran ketika menemukan banyak motor berplat Jawa Barat dan memakai atribut Persib.

Mengingat jarak yang cukup jauh bila menggunakan kendaraan bermotor, jelas tidak mungkin apabila mereka datang dari Bandung, apalagi tidak terlihat peralatan layaknya orang yang berpergian jauh. Saat di lampu merah, iseng saja saya tanya berangkat dari mana mereka. Benar dugaan saya, para Bobotoh ini adalah perantauan yang menetap di Karesidenan Kediri dan sekitarnya.

Cerita lain mungkin juga sudah jamak kita dengar. Aremania misalnya dengan slogan "tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana". Atau Persipura yang menjadikan Yogyakarta sebagai rumah kedua, karena banyaknya mahasiswa Papua yang ada di sana. Belum lagi jika harus berbicara tentang Bonek atau masyarakat Sulawesi Selatan yang tersebar dan mendukung PSM. Juga orang-orang Medan/Sumatera Utara yang mendukung PSMS Medan.

Yang agak sedih barangkali para perantau yang di kampung asalnya tidak memiliki klub lokal yang berkompetisi, atau jika pun ada tapi bertanding di divisi bawah. Beberapa teman sekolah di Malang dulu yang datang dari kota Sragen, Magetan, Ngawi, dan beberapa daerah lain memilih untuk mendukung Arema. Hal sama saat pindah ke Bandung, banyak yang dengan sendirinya menjadi bobotoh.

Jika di Minangkabau seorang lelaki suatu hari harus merantau untuk mencari pengalaman hidup dan menempa diri. Tujuannya untuk menjadikannya seorang lelaki dan manusia sejati. Lalu apakah merantau di kalangan suporter juga membuat mereka menjadi suporter sejati?

====

* Akun twitter penulis: @mildandaru

foto: detiksport.com

Komentar