The Italian Job (2006) Bedah Kultur Sepakbola Italia dan Inggris Lewat Perjalanan Vialli

Football Culture

by redaksi

The Italian Job (2006) Bedah Kultur Sepakbola Italia dan Inggris Lewat Perjalanan Vialli

Judul Buku: The Italian Job
Penulis: Gianluca Vialli & Gabriele Marcotti
Penerbit: Bantam Press
Tebal: 376 halaman
Cetakan: I, 2006

Kebanyakan pemain bola mengingat dan merayakan karirenya dengan menulis buku otobiografi. Tapi tidak dengan Gianluca Vialli. Ketika pesepakbola lain memilih untuk menempatkan dirinya sebagai pusat cerita, Vialli memutuskan untuk bertutur tentang dua "rumah"-nya: Inggris dan Italia.

Apapun alasan Vialli untuk tidak mengikuti tren pemain bola lainnya --bahkan Theo Walcott sudah mengeluarkan otobiografi di usia 23 tahun—keuntungan mungkin untuk pembaca. Lewat "The Italian Job", Vialli yang dibantu oleh seorang jurnalis handal asal Italia, Gabrielle Marcotti, bisa mengupas dengan apik kedua negara gila bola yang memang memiliki kultur sangat berlainan.

Vialli sendiri boleh dikatakan sebagai aktor yang pas untuk menceritakan dan memperbandingkan kultur Inggris dan Italia.

Kedatangannya ke tanah Britania Raya pada medio 90-an terjadi ketika Inggris masih berada di ambang kesuksesan Premier League. Pada masa itu, para pemain, manajer, dan pemilik non-Inggris masih minim, sehingga sepakbola Inggris masih terasa sangat british. Artinya, Vialli mengalami Inggris yang masih kental dengan kultur sepakbola yang terbangun hampir satu abad.

Sementara di Italia, Vialli bermain untuk dua tim papan atas di awal 90-an, Sampdoria dan Juventus, ketika Serie-A masih dalam puncak kejayaannya. Ia bermain dalam liga yang sama dengan Maradona, Platini, trio Belanda di AC Milan, dan juga pemain-pemain terbaik Italia seperti Franco Baresi, atau Roberto Baggio.

Ya, dalam kariernya, Vialli memang berada di jantung sepakbola Inggris dan Italia. Sehingga bukan hal aneh jika bentrokan budaya itu mendorongnya untuk membuat memoar dalam bentuk studi mini tentang sepakbola.

Bahwa buku ini kemudian ini baru mulai dituliskan pada 2004-2005 juga memperkaya khazanah Vialli dalam melakukan analisa. Vialli tak luput memasukkan pengamatan-pengamatan yang didasarkan pada fase ketika Inggris sudah menjadi industri sepakbola, dan Italia yang mulai mengalami kemunduran.

Rentang pengamatan inilah yang jadi salah satu keunggulan buku ini. Meski banyak fenomena yang dijelaskan adalah kultur yang telah berakar puluhan tahun (seperti dari mana asal permainan kick and rushInggris dan tentang ketat dan kakunya akademi Italia), Vialli dan Marcotti tidak menghilangkan kekinian yang terjadi di kedua negara.

Sebagai contoh, mereka juga melakukan wawancara dengan pelatih-pelatih sukses di era 2000-an seperti Arsene Wenger, Jose Mourinho, dan Fabio Capello, dan mengajukan pertanyaan yang sering ada di benak fans, seperti: bagaimana Mourinho mengatur ruang gantinya? Atau mengapa pelatih Inggris sangat gemar dengan formasi 4-4-2?

Kata tanya "bagaimana" serta "kenapa" ini yang jadi kunci "The Italian Job". Kedua pengarang buku tidak puas dengan sekadar mendaftar fenomena-fenomena sepakbola yang terjadi di kedua negara, tapi juga bertanya dan melakukan riset mengapa fenomena itu bisa terjadi. Maka jangan heran jika"why", "why", dan "why" jadi kata yang berulang kali disebutkan.

Sebagai perbandingan, buku "Calcio: A History of Italian Football" karya John Foot juga sama-sama mengulas berbagai cerita dalam sejarah sepakbola Italia. Namun, buku itu terasa hambar, kering, dan seperti ensiklopedia terutama jika dibandingkan dengan "The Italian Job".

Dalam berbagai kesempatan, Vialli dan Marcotti pun tidak mengerangkeng subjek yang mereka tuliskan. Misalnya saja ketika meneliti tentang perbedaan genetis pesepakbola Italia dan Inggris (mengapa Inggris terlihat "kuat dan atletis" sementara pemain Latin lebih "lentur").

Mereka meletakkan perbedaan genetis pesepakbola itu dalam konteks gen atletisme manusia secara keseluruhan, dan tak ragu untuk terjun ke ranah yang sensitif seperti: pesepakbola kulit hitam vs pesepakbola kulit putih. Bahkan keduanya juga coba menjawab mengapa olahraga yang mengandalkan kecepatan dan kekuatan didominasi oleh para atlet keturunan Afrika.

Hasilnya adalah sebuah buku menarik, kaya pengetahuan, dan coba melihat berbagai wajah sepakbola dari dua sudut pandang: Inggris dan Italia. Mulai dari aspek pemain, akademi, pelatih, media, finansial, suporter, hingga wasit diulas secara mendalam oleh Vialli dan Marcotti.

Menutupi Wajah Buruk Italia?

Karena kultur sepakbola Inggris dan Italia berulang kali dibenturkan dalam buku ini, tak heran jika pertanyaan yang muncul ketika membaca "The Italian Job"adalah: "kultur mana yang lebih disukai oleh Vialli?"

Vialli pun mengerti keresahan pembaca ini dan coba mengatasinya di akhir buku. Namun ia menjawabnya dengan cara yang teramat aman. Dalam paragraf terakhirnya, Vialli berkata bahwa ia tak mungkin memilih antara Inggris dan Italia, dan tak mungkin hidup tanpa keduanya.

Tapi sebenarnya pembelaan Vialli akan kultur sepakbola Italia secara halus terlihat di berbagai bagian buku ini. Dalam bab tentang manajer atau taktik pun kentara bagaimana Vialli mengagumi kultur sepakbola Italia. Jika masih ragu, pemilihan "The Italian Job" sebagai judul buku juga bisa menjadi petunjuk tentang keberpihakan/pembelaan Vialli akan berbagai aspek negatif dari sepakbola Italia.

Sayangnya, jika memang berpihak pada Italia, ada dua permasalahan sepakbola Italia yang gagal dijawab oleh Vialli dan Marcotti: rasisme dan furbizia.

Sebagaimana diketahui, Inggris bisa dikatakan sukses dalam mengatasi permasalahan rasisme di sepakbola. Mereka mampu menerapkan aturan superketat tentang larangan penggunaan kata-kata berbau rasisme di dalam stadion, sehingga EPL kini terlihat bersih. Di sisi lain, Italia tak punya jawaban sama sekali atas kasus ini. Berulang kali suporter klub-klub Serie-A dihukum karena melontarkan ejekan-ejekan yang merendahkan kaum kulit hitam.

Vialli sendiri memang mengatakan bahwa bagian tentang rasisme, dan beberapa hal lainnya, belum diulas karena akan terlampau panjang. Padahal jika saja mau, ada bagian-bagian buku yang bisa dibarter dengan bab tentang rasisme.

Sementara itu, furbizia sendiri secara harafiah diartikan sebagai "seni tentang menipu". Dan persepsi tentang sepakbola Italia memang selalu dikaitkan dengan furbo, atau kelicikan. Bahkan, furbizia juga dikatakan sebagai salah satu dari filosofi dasar dan jati diri sepakbola Italia.

Sayangnya dari 400 halaman buku ini Vialli dan Marcotti hanya memberikan jawaban, sekaligus pembelaan, tentang furbo dalam dua halaman. Itu pun dengan penjelasan yang sebenarnya cukup umum. Bahwa inti dari sepakbola Italia adalah mendapatkan kemenangan, dan tak semua pemenang mengikuti aturan. Maka, menurut Vialli, sedari kecil pesepakbola Italia sudah harus melindungi dirinya sendiri dengan berbuat "cerdik".


Padahal, nuansa tentang furbizia sendiri jauh lebih kaya dari sekadar licik atau tidak licik. Ini karena furbizia juga terkait dengan perbedaan cara orang Italia dan Inggris memandang peraturan dan hidup, sebagaimana dituliskan oleh Andrea Tallarita dalam esai-nya yang berjudul "Understanding Italian Football".

Dalam hal seni menipu ini, meski melakukan pembelaan, Marcotti dan Vialli masih terlihat "malu-malu" untuk mengungkapkannya lebih jauh. Sekali lagi, masih berlindung pada kedok pandangan yang umum-umum saja.

Mungkin saja permasalahan sebenarnya terletak pada pemilihan pasangan Vialli dalam menulis. Gabriele Marcotti memang seorang jurnalis handal, dengan gaya menulis sederhana, yang sering mendasarkan tulisannya pada data dan riset. Ia pun sekolah di Amerika dan telah menetap lama di Inggris. Tapi tetap saja ia seorang Italia.

Jika saja Vialli berpasangan dengan jurnalis yang sangat british, seperti Henry Winter (Telegraph) atau Oliver Kay (The Times), bisa saja pertanyaan-pertanyaan yang diajukan akan jauh lebih brutal. Lebih berani dalam menilai mana yang hitam dan putih.

Atau, setidaknya seorang jurnalis Inggris bisa melakukan pembelaan atas penilaian yang diberikan Vialli dan Marcotti atas kultur Inggris.

====

* Penulis adalah editor Pandit Football Indonesia. Akun twttiter: @vetriciawizach

Komentar