Inggris dan Tanah Terjanji

Cerita

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Inggris dan Tanah Terjanji

Inggris secara konsisten tampil mengecewakan di turnamen-turnamen besar pasca menjadi juara dunia pada 1966. Menjelang Piala Dunia 2018 yang sudah di depan mata, sorotan besar tertuju pada manajer muda minim pengalaman bernama Gareth Southgate.

“Jika seluruh musik hilang dan ada satu album yang bisa Anda simpan, mana yang akan Anda pilih?” tanya jurnalis Guillem Balague kepada sang manajer.

“Mungkin Joshua Tree-nya U2,” jawab Southgate.

Album itu memang bukan karya sembarangan. Bono dkk. berhasil mencapai puncak ketenaran berkatnya; menempati peringkat satu tangga lagu hampir di seluruh dunia dan puluhan penghargaan platinum; menjadi salah satu album terbaik sepanjang masa versi Guardian (1997), Time (2006), dan Rolling Stone (2012); dinobatkan sebagai “bagian dari sejarah musik, sosial, dan kultur” oleh Grammy Hall of Fame (2014).

Bagi Southgate sendiri, Joshua Tree mengingatkannya pada masa-masa ketika ia masih merumput bersama Crystal Palace.

“(Album itu) adalah kenangan dalam hidupku. Seorang pemain muda yang tumbuh di Crystal Palace, menjadi bagian dari sebuah tim yang (hampir seluruh pemainnya) berumur sama,” tutur dirinya.

Pria yang lahir di Watford, Hertfordshire pada 2 September 1970 tersebut awalnya sempat mencoba peruntungan di akademi Southampton ketika berusia 16 tahun. Namun akibat pertumbuhan fisik yang telat, ia tak sanggup bersaing dengan Matt Le Tissier dan Alan Shearer sehingga harus angkat kaki.

“Saya masih menyimpan surat pemberitahuan yang diketik tetapi tidak dipersonalisasi itu,” ucap Southgate, disertai tawa, kepada Balague.

‘Sertifikat’ kegagalan yang didapatkan menjadi motivasi ekstra bagi Southgate untuk membuktikan diri. Ia bergabung dengan akademi Palace dan berhasil promosi ke tim utama pada usia 20 tahun, tiga tahun setelah Joshua Tree dirilis.

Di Selhurst Park-lah nama Southgate sebagai pemain mulai mencuat ke permukaan. Ia membantu klub finis di peringkat ketiga Liga Inggris 1990/91—peringkat terbaik sepanjang sejarah klub.

Southgate dipercaya mengenakan ban kapten ketika baru berusia 22 tahun. Hal ini tidak lepas dari dipromosikannya Alan Smith, pelatihnya di tim cadangan, ke tim utama.

Mengemban tugas sebagai kapten di usia muda bukanlah hal mudah bagi pria yang bermain sebagai bek tengah hampir sepanjang kariernya tersebut. Ia harus tampil lebih gigih di atas lapangan, menunjukkan ketegasan serta komitmen tinggi untuk mendapatkan kepercayaan dan respek dari pemain-pemain senior.

Yang membuat karier bersama The Eagles lebih berkesan bagi Southgate adalah etos kerja dan semangat kebersamaan skuat. “Ada banyak pemain yang datang dari divisi lebih rendah, tim akademi, atau non-liga (Contoh: Stan Collymore, Alan Pardew)," kenang dirinya.

***

“Amerika Serikat adalah tanah terjanji bagi banyak orang-orang Irlandia. Aku adalah salah satu di antara antrian panjang orang Irlandia yang datang,” kata Bono kepada Rolling Stone.

Pria yang lahir di Dublin pada 10 Mei 1960 itu jelas terinspirasi oleh para nenek moyangnya. Kelaparan Besar Irlandia membuat mereka melakukan transmigrasi besar-besaran ke benua seberang.

Total hampir 2 juta nyawa melintasi lautan dari tahun 1820 hingga 1860. Mereka pulalah yang kemudian sedikit banyak membentuk peradaban Amerika. Oleh sebab itu, kesempatan tur ke Amerika pada awal 1980an disambut gembira oleh Bono.

Perjalanan “spiritual” tersebut rupanya tidak seperti yang diharapkan. Amerika tidak seindah dan seharmonis yang diperbicangkan “burung-burung” gereja. Harapan dan kebebasan hanya milik segelintir golongan, sementara tanah di berbagai belahan benua merasakan getirnya hidup di bawah telapak kaki Paman Sam (baca: kebijakan politik luar negeri/perang).

“Saya mulai melihat ada dua Amerika: Amerika yang merupakan mitos dan Amerika yang sebenarnya,” tutur dirinya.

Pengalaman Bono menjadi fondasi bagi album Joshua Tree. Kehebatan lain album ini adalah karakter musik revolusioner U2, hasil dari mengeksperimen genre musik-musik Amerika, seperti blues, soul, dan (tentunya) gospel.

Nama album Joshua Tree sendiri diambil dari keberadaan Pohon Yosua di Padang Pasir Mojave, California. Asal-usul nama pohon tersebut berakar dari sekelompok Mormon yang melihat pohon dengan bentuk serupa Nabi Yosua saat berdoa kepada Tuhan dalam perjalannya memimpin bangsa Israel menuju Kanaan.

Bagaimanapun, di tangan U2, nama tersebut menjelma menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar sejarah kebesaran Tuhan (berdasarkan kepercayaan umat Kristiani) merealisasikan janji tanah yang kaya akan susu dan madu kepada bangsa Israel; Tanah Terjanji.

Makna Joshua Tree menjadi hidup dan relevan. Lirik-lirik yang diciptakan bernafaskan isu-isu kematian dan kehidupan, kehancuran dan harapan, kekerasan dan kedamaian, serta konflik politik dan keadilan sosial.

Lagu hit berjudul “Where The Streets Have No Name”, misalnya, adalah tentang mimpi Bono mengenai dunia tanpa sekat kelas, ras, dan agama. Tentang kembali ke dasar; kemanusiaan.

“Sebuah kisah menarik yang pernah diceritakan seseorang kepadaku adalah orang tidak hanya bisa mengetahui agama Anda dari jalan tempat Anda tinggal, melainkan juga jumlah uang yang Anda hasilkan,” beber Bono terkait inspirasi lagu tersebut. Kemiskinan di Ajibar, Ethiopia, juga memiliki pengaruh besar atas liriknya.

Hit lain berjudul “I Still Haven’t Found What I’m Looking For” bercerita tentang seseorang yang mulai meragukan Tuhan setelah berjuang habis-habisan. Bagaimanapun, ia tetap akan menantang maut demi tujuan akhir.

Dengan alunan melodi genre gospel yang sangat kental, lagu “I Still Haven`t Found What I`m Looking For” terpilih sebagai satu dari 500 lagu yang membentuk Rock and Roll versi Rock and Roll Hall of Fame dan salah satu lagu terbaik sepanjang masa versi Rolling Stone.

“I Still Haven`t Found What I`m Looking For” bukanlah satu-satunya lagu dari Joshua Tree yang dipilih Rolling Stone sebagai salah satu lagu terbaik sepanjang masa. Ada juga “With or Without You” yang bertemakan cinta/patah hati.

Lirik “With or Without You” ditulis Bono saat berada di Cote d`Azur, Perancis, pada 1986. Ketika itu, ia tengah kesulitan menemukan keseimbangan dalam hidup, antara menjadi seorang musisi dan seorang suami.

“Tidak ada yang lebih revolusioner ketimbang dua orang yang saling mencintai. Pertama, karena hal itu tidak sering terjadi dewasa ini. Kedua, karena hal itu sulit dilakukan,” jelas sang vokalis. Lagu ini juga mengandung pesan bahwa keterbukaan tanpa batas terkadang bisa merugikan, seperti yang dialami oleh U2 ketika melayani media dan publik.

Adapun “Bullet the Blue Sky” dan “Mother of The Disappeared” adalah bentuk kritik (keras) Bono kepada politik kotor Presiden AS ke-40 , Ronald Reagan, terkait keterlibatan dalam Perang Sipil El Salvador.

Midnight, our sons and daughters / Were cut down and taken from us / Hear their heartbeat / We hear their heartbeat adalah cara Bono mengenang nyawa setiap anak manusia yang direnggut secara paksa dari ibu mereka.

“Orang-orang bisa menghilang begitu saja. Jika Anda adalah bagian dari oposisi, Anda mungkin akan melihat sebuah SUV dengan kaca hitam parkir di depan rumah Anda....Jika hal itu tidak membuat Anda berhenti, terkadang mereka akan menculik dan membunuh Anda,” tutur dirinya.

Menariknya, dalam lagu terkait kritik terhadap Amerika lainnya berjudul “Exit”, Bono memberikan sentuhan tentang manusia sebagai makhluk bercela. Ia mengingatkan (sekaligus mengakui) bahwa “kekerasan ada di dalam diri setiap kita”.

***

Southgate ditunjuk menjadi penerus Sam Allardyce, yang mengundurkan diri akibat skandal korupsi pada 27 September 2016. Awalnya sebagai manajer interim. Berkat hasil tak terkalahkan dalam empat laga uji coba (2 kali menang dan 2 kali imbang), ia naik pangkat menjadi manajer tetap dua bulan kemudian.

Pemilihan Southgate membuat banyak pihak mengerutkan dahi. Maklum, sebelumnya, ia hanya pernah membesut Middlesbrough (terdegradasi pada musim 2008/09) dan Inggris U-21.

Meski demikian, Southgate tidak gentar. Performa Inggris di bawah arahannya sejauh ini terbilang cukup baik. Dari total 17 pertandingan (tulisan dibuat sebelum Inggris menghadapi Kosta Rika), ia mencatatkan sembilan kemenangan dan enam hasil imbang.

Jika ada satu hal yang menjadi kekuatan utama Southgate, maka itu adalah kemampuannya mengelola tim.

Southgate berani memberikan kesempatan kepada pemain-pemain muda. Rataan umur 23 pemain yang dibawa olehnya ke Rusia merupakan yang termuda ketiga di antara tim-tim peserta lain (26 tahun, di bawah Prancis dan Nigeria).

Untuk urusan pengalaman bermain bersama tim nasional, Inggris adalah yang paling sedikit dengan rataan 20 pertandingan per pemain. Pemain paling senior, Ashley Young (32 tahun), pernah absen dari timnas dari tahun 2013 hingga 2017. Adapun Trent Alexander-Arnold dan Nick Pope belum pernah membela Inggris sama sekali.

Sang manajer tahu cara menghargai dan bekerja dengan eks pemain-pemain non-liga, seperti Nick Pope dan Jamie Vardy. Ia juga mengerti cara menyampaikan pesan secara jitu, salah satu contohnya adalah ketika menetapkan Harry Kane sebagai kapten.

Jordan Henderson, yang sering menjadi kapten sejak Wayne Rooney pensiun dari timnas, membeberkan bahwa informasi itu didapatkannya secara langsung dari Southgate hanya empat hari sebelum final Liga Champions antara Liverpool melawan Real Madrid. Bukannya tersinggung, ia malah mengaku senang dan mendukung langkah Southgate.

“Semua pemain setuju dengan hal yang coba dilakukan oleh manajer untuk menciptakan banyak pemimpin (di dalam skuat). Ia ingin kami lebih memimpin tim, merasa memiliki, dan melakukannya bersama-sama,” jelas Henderson kepada Independent.

Southgate sebenarnya bukan sosok yang mengumpulkan energi dengan berada di sekitar banyak orang—hal ini justru membuatnya stress. Ketika masih aktif merumput, Southgate mengaku suka menjadi yang pertama datang ke lapangan agar bisa menikmati kesendirian, serta menjadi yang terakhir jika ada acara minum-minum di bar bersama rekan-rekan satu tim.

Ia tinggal di pinggiran Yorkshire bersama keluarganya, jauh dari pusat keramaian. Ia rela menjalani jarak tempuh selama kurang lebih dua jam untuk sampai ke pusat latihan tim nasional Inggris di London. Semua dilakukan karena ia adalah seorang introvert.

Meski demikian, Southgate memahami hal-hal yang harus dilakukan untuk menjaga keharmonisan sekaligus memimpin ruang ganti; tegas dan mengutamakan nilai-nilai kekeluargaan, sama seperti ketika ia menjadi kapten Palace.

Southgate menjaga betul batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Sepakbola penting, tetapi tidak pernah lebih penting menjadi seorang ayah sekaligus suami. Baginya, semua harus seimbang dan penuh perhitungan.

Sikap tersebut turut diterapkan di tim nasional. Tugasnya memang bukan hanya meracik taktik dan memilih tim. Dengan terpilih menjadi manajer, ia juga menjadi duta bagi sepakbola Inggris dalam acara-acara di luar lapangan, contohnya malam penggalangan dana dan kegiatan sosial lainnya. Ia sadar harus sangat berhati-hati dalam bertutur kata.

Belum lama ini, Raheem Sterling mendapat sorotan tajam dari publik Inggris karena memiliki tato senapan di betis kanannya. Ia dianggap mendukung kepemilikan senjata api pribadi, sebuah isu panas di Amerika Serikat dan Eropa.

Di tengah cercaan dan makian, pemain Manchester City itu malah diturunkan sebagai starter dalam laga uji coba melawan Nigeria pada pekan lalu. Padahal, sebelumnya Southgate hampir memberikan hukuman karena ia terlambat bergabung dengan skuat.

Menurut Southgate, tato adalah sebuah bentuk seni dan “memiliki arti yang bersifat sangat pribadi,” menyusul penjelasan Sterling bahwa tato itu dibuat untuk mengenang ayahnya yang meninggal akibat tertembak senjata api.

“Hal terpenting bagi saya selama enam pekan kedepan adalah melindungi para pemain,” tegas Southgate.

Kasus lain datang dari bek Danny Rose. Ia menjelaskan kepada publik telah melarang keluarganya pergi ke Rusia karena takut menjadi korban rasialisme.

Pemain Tottenham Hotspur tersebut memang pernah memiliki pengalaman buruk terkait rasialisme. Ia diusir dari pertandingan U-21 melawan Serbia akibat responsnya terhadap ejekan rasialis pada 2012.

Southgate sadar mustahil baginya untuk menyatakan hal yang membuat semua pihak merasa puas. Bagaimanapun, ia telah berbicara langsung dan memahami kecemasan Rose.

“Kami ingin semuanya (yang berada di skuat) bersiap dan memahami cara memperlakukan satu dengan yang lain jika hal itu benar-benar terjadi,” ucap dirinya.

Di saat yang bersamaan, Southgate menegaskan tidak akan menyuruh para pemainnya untuk berhenti bermain dan berkumpul di pinggir lapangan sebagai bentuk protes jika ada kasus rasialisme.

“Anak-anak terlahir di dunia tanpa prasangka. Opini mereka baru bisa berubah hanya ketika didoktrin. Kita adalah korban dari dunia yang penuh prasangka,” keluh pria yang memiliki dua orang anak tersebut.

Bagi Southgate, menjadi pesepakbola adalah sebuah keistimewaan karena bisa bermain dengan orang-orang yang berbeda kewarganegaraan dan agama. Stadion menjadi tempat berkumpulnya orang-orang tanpa sekat pemisah.

Southgate berharap “pesan ini tersebar dengan luas” melalui medium lapangan hijau karena “ini adalah masalah umum dan sepakbola merupakan refleksi dari kehidupan bermasyarakat”.

***

Inggris masih belum menemukan hal yang mereka cari sejak 1966: trofi internasional. Ekspektasi besar (mungkin salah satu yang terbesar di dunia sepakbola jika mempertimbangkan kekejaman para fans dan media Inggris memperlakukan timnasnya) kini ada di pundak Southgate dan skuat mudanya.

Melihat riwayat manajer-manajer dan prestasi Inggris, terutama dalam (hampir) dua dekade terakhir, rasanya wajar jika kecemasan melanda para penggila bola di seluruh penjuru negeri.

Manajer asing pertama, Sven-Goran Eriksson (2001?2006), tidak mampu membawa Inggris melangkah lebih jauh dari perempatfinal. Anak dalam negeri yang menjadi pengganti, Steve McClaren (2006-2007), secara tragis gagal membawa mereka lolos ke Piala Eropa 2008.

Manajer ternama asal Italia, Fabio Capello (2008?2012), pun tak sanggup mengangkat martabat Inggris. Sedangkan karier Roy Hodgson (2012?2016) ditamatkan tim debutan Piala Eropa, Islandia.

Salah satu penyakit kronis Inggris adalah mental bertanding, terutama di babak adu penalti. Mereka enam kali tersingkir akibat babak penuh drama ini dalam 12 turnamen terakhir yang diikuti.

Menurut Southgate, kegagalan demi kegagalan tersebut melahirkan “sebuah ketakutan untuk melakukan kesalahan”. Masa lalu memberikan tambahan beban kepada para pemain. Inilah sebab ia ingin setiap pemain mengemban porsi tanggung jawab sebagai pemimpin yang seimbang.

Masalah lain yang kerap menggangu tidur para pemain Inggris adalah kesadisan pemberitaan media. David Beckham adalah satu dari banyak pemain yang pernah menjadi sasaran. Setelah mendapatkan kartu merah yang diklaim menjadi alasan Inggris disingkirkan Argentina dalam perempatfinal Piala Dunia 1998, koran Mirror menampilkan headline “Sepuluh Singa Gagah, Satu Bocah Bodoh” secara besar-besar di halaman depan.

Southgate, dibantu oleh tim komunikasi FA, membuat terobosan untuk mempererat hubungan tim dengan media. Mereka membuka sesi tanya-jawab terakhir sebelum terbang ke Rusia dengan gaya seperti di NFL: seluruh pemain tersedia untuk ditanyai. Hal ini mendapatkan apresiasi tinggi dari para jurnalis.

Pertanyaan yang muncul kemudian: mampukah Southgate, satu-satunya manajer yang sanggup promosi dari tim U-21 Inggris ke tim senior dan tanpa pengalaman mumpuni, menanamkan mentalitas juara dan membantu Inggris membawa pulang trofi Jules Rimet? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Balague menyatakan dengan tegas bahwa ia ingin melihat Southgate tetap dipertahankan sekalipun pasukan St. George’s Cross gagal di Rusia. Menurutnya, Southgate memiliki potensi besar untuk menjadi manajer kelas dunia.

"Saya berharap semua orang cukup sabar untuk mengetahui bahwa keberhasilan membutuhkan waktu yang panjang. Proses tidaklah seksi, tetapi itulah yang Anda butuhkan untuk mendominasi pentas internasional," ujar Balague sebagaimana dikutip Sky Sports.

Seiring dengan Piala Dunia yang sudah hampir dimulai, barangkali tidak ada salahnya jika Southgate mulai berdoa dan bertekun seperti Yosua; percaya bahwa Tuhan tidak akan mengkhianati usaha dan kerja keras.

Jika Tuhan cukup berbaik hati, bisa saja Inggris akan tiba di Tanah Terjanjinya pada 14 Juli mendatang. Tetapi jika Tuhan belum bersedia memihak, setidaknya mereka bisa menjadi sejarah tentang melawan ketidakmungkinan, merayakan perbedaan, dan bersatu di atas satu nama: sepakbola.

Komentar