Sepakbola Telah Menyembuhkan Jepang

Cerita

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sepakbola Telah Menyembuhkan Jepang

Bunyi sebuah bel membuat banyak orang berhenti beraktivitas di Tokyo. Sejenak mereka diam mematung. Kepala-kepala mereka menekur.

Kereta bawah tanah yang biasanya sibuk hilir mudik mengangkut penumpang juga berhenti beroperasi sejenak. Bendera setengah tiang terpasang di halaman depan gedung-gedung.

Sore itu warga Tokyo sedang memperingati lima tahun bencana gempa bumi yang disusul tsunami, yang menerjang bagian timur laut Honshu—pulau terbesar di Jepang—pada 11 Maret 2011. Tragedi itu terlalu dahsyat untuk dilupakan oleh mereka.

Gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter (SR) yang mengguncang wilayah tersebut tercatat sebagai gempa terbesar kelima di dunia sejak 1900. Selang beberapa saat setelah guncangan, gelombang tsunami setinggi 17 meter menerjang pesisir Pulau Honshu. Banyak kendaraan bermotor, bangunan yang telah menjadi puing-puing, hingga kapal-kapal yang sedang berlabuh, terseret air laut. Empat kereta yang sedang beroperasi juga dilaporkan hilang ditelan tsunami.

Dua minggu pasca bencana, dilaporkan 17.440 orang hilang. Sebanyak 2.775 orang mengalami luka-luka, dan 250.000 orang kehilangan tempat tinggal mereka.

Jumlah rumah yang hancur mencapai 18.000. Sementara sebanyak 130.000 rumah mengalami kerusakan berat.

Dampak buruk dari bencana ini juga terasa bagi persepakbolaan Jepang. Beberapa hari usai bencana, para pejabat dari masing-masing kesebelasan peserta J-League langsung mengadakan pertemuan. Mereka menyepakati pertandingan-pertandingan J-League harus dihentikan sementara sampai batas waktu yang tidak bisa dipastikan.

“Tidak bisa dipastikan kapan kami akan memulai liga kembali. Situasinya terasa semakin buruk hari demi hari,” ujar Presiden kesebelasan Kashima Antlers, Shigeru Ibata. Kashima merupakan kesebelasan yang ketika itu menderita kerusakan stadion kandang cukup parah akibat gempa.

Padahal ketika Piala Dunia digelar di Korea Selatan dan Jepang pada 2002 lalu, Stadion Kashima merupakan salah satu lokasi yang digunakan untuk menggelar pertandingan fase grup. Laga antara Jerman melawan Republik Irlandia yang tergabung dalam Grup E, digelar di stadion tersebut.

Bencana juga telah membuat dua jadwal pertandingan persahabatan Tim Nasional Jepang melawan Montenegro dan Selandia Baru terpaksa dibatalkan. Kekhawatiran akan terjadinya kemungkinan-kemungkinan terburuk menjadi alasannya.

“Kita harus melihat semua faktor. Kita akan hanya berjalan berdasarkan informasi yang akurat dan benar. Apa yang tidak akan kita lakukan adalah membuat keputusan yang hanya berdasarkan kehendak,” ungkap Sekretaris Umum Federasi Sepakbola Jepang, Kozo Tashimaon.

Situasi serba sulit saat itu merundungi Negeri Matahari Terbit. Namun Jepang tidak dibiarkan sendiri menanggung semuanya.

Banyak pihak menunjukkan dukungannya untuk Jepang agar bisa kembali bangkit. Salah satunya dukungan yang ditunjukkan oleh para pesepakbola asal Jepang yang berkiprah di Eropa. Jauhnya jarak yang merentang tak sedikit pun mengurangi perhatian mereka pada tanah airnya.

Uchida Atsuto yang bermain untuk Schalke 04, kala itu memberikan dukungannya dengan cara mengenakan kaus tim Schalke yang dipenuhi oleh coretan tulisan tangan dalam bahasa Jepang dan Jerman. Kalimat dalam kausnya itu bertuliskan, “Untuk saudara-saudara di Jepang, dengan harapan banyak nyawa bisa terselamatkan, mari kita berdiri bersama!”

Hal yang sama juga dilakukan oleh Tomoaki Makino yang saat itu bermain untuk FC Koln. Usai pertandingan melawan Hannover, ia mengenakan kaus yang bertuliskan, “Untuk mereka yang sedang berada dalam krisis, kalian bisa! Bertahanlah dan jangan takut! Berharap banyak nyawa bisa terselamatkan.”

Sementara pemain Wolfsburg, Makoto Hasebe, memberikan dukungannya lewat sebuah pernyataan. “Perhatian penuhku ada untuk semua warga Jepang. Aku juga telah menghubungi keluargaku yang tinggal 150 kilometer dari Tokyo. Mereka semua dalam keadaan baik, juga teman-temanku,” ujarnya.

Tidak hanya sampai di situ, beberapa pemain asal Jepang lain ada yang menunjukkan dukungannya dengan menyumbang donasi untuk para korban bencana. Uang donasi yang disumbangkan kebanyakan berasal dari hasil penjualan macam-macam atribut sepakbola yang dimiliki mereka.

Penggawa Dortmund, Shinji Kagawa, menyumbangkan 7.000 euro untuk para korban dari hasil pelelangan jersey bertandatangan dirinya.

Bekas pesepakbola Jepang yang malang melintang di Eropa, Hidetoshi Nakata, juga tidak absen berupaya memberi bantuan untuk para korban gempa dan tsunami di negaranya. Nakata saat itu bahkan rela membatalkan seluruh jadwal hariannya hanya untuk melelang jersey dan sepatu bola miliknya.

Pengorbanannya tak sia-sia. Jersey dan sepatu miliknya terjual dengan nilai lebih dari 18.800 euro. Seluruh hasil lelang ia sumbangkan kepada para korban bencana.

“Olahraga ini punya kekuatan yang besar,” katanya. “Sepakbola bisa mendorong dan menghubungkan banyak orang untuk melakukan sesuatu, yang mana ini sangat penting untuk kehidupan kita hari ini dan di masa depan. Untuk para korban bencana, kalian tidak sendirian.”

Apa yang dikatakan Nakata tidak berlebihan. Setidaknya itu telah terbukti dari banyaknya bantuan materi untuk para korban bencana, yang datang lewat pintu sepakbola.

Namun lebih dari itu, sepakbola juga mampu mengangkat moral banyak korban bencana lewat pertandingan-pertandingan Tim Nasional Jepang yang digelar ketika itu.

Saat Tim Nasional Wanita Jepang berlaga menghadapi Swedia di babak semifinal Piala Dunia Wanita 2011, banyak warga Jepang antusias menyaksikannya. Beberapa bar seperti di Kota Shibuya dan Tokyo dipenuhi oleh para pendukung Jepang.

“Satu kemenangan akan menghibur seluruh negeri,” ujar Daichi Miura yang rumahnya rusak berat akibat tsunami. “Kami tidak bisa terus-menerus berduka. Kami harus segera bergerak maju,” lanjutnya.

Kemenangan yang didambakan pun terjadi. Jepang melenggang ke babak final usai mengalahkan Swedia dengan skor 3-1.

Kemenangan itu tentu disambut meriah oleh banyak warga Jepang. Raut bahagia dan optimis kembali terpancar. Sedikit demi sedikit trauma akibat bencana bisa mereka lupakan.

“Malam ini akan menjadi tonggak sejarah bagi persepakbolaan wanita Jepang,” ucap Naoki Sugiyama yang menyaksikan laga tersebut di sebuah bar Kota Shibuya. “Hanya satu yang kami inginkan sekarang: juara!”

Harapan Naoki terwujud setelah di babak final, Tim Nasional Wanita Jepang berhasil mengalahkan tim favorit juara, Amerika Serikat. Pencapaian itu penting, karena mampu mengangkat moral warga Jepang yang sebelumnya tengah diselimuti duka.

Para suporter merayakannya dengan turun ke jalan. Mereka jalan beriringan sambil melantangkan nyanyian puja-puji.

“Aku merasa seluruh Jepang tersenyum berkat kemenangan ini,” ujar Ibu dari kapten tim Jepang, Homare Sawa.

Tiga bulan sebelumnya, pada 29 Maret 2011 (18 hari setelah bencana terjadi), juga digelar pertandingan amal antara Tim Nasional Jepang menghadapi J-League All Stars di Nagai Stadium. Saat itu Tim Nasional Jepang diperkuat para pemain Jepang yang berkarier di kesebelasan-kesebelasan Eropa.

“Kalian telah memberi kami dukungan yang menguatkan kami di lapangan. Sekarang giliran kami yang memberi dukungan untuk menguatkan kalian,” ungkap Makoto Hasebe.

Banyak warga Jepang terhibur dengan adanya pertandingan tersebut. Sepanjang pertandingan para penonton melantangkan nyanyian-nyanyian khas pendukung Vegalta Sendai, kesebelasan asal Miyagi—kawasan di timur laut Pulau Honshu.

Sepakbola telah berperan besar dalam membantu Jepang untuk bangkit dari keterpurukan akibat bencana. Banyak warga Jepang menyadari hal ini.

Maka tidak heran, di pertandingan amal tersebut, sebuah spanduk bertuliskan, “Sepakbola Telah Menyelamatkan Jepang”, dibentangkan oleh para penonton yang memenuhi tribun Nagai Stadium.

Komentar