Pembelaan untuk Sergio Ramos

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi 33518

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Pembelaan untuk Sergio Ramos

Sergio Ramos jadi sosok yang paling dibenci dunia sepakbola saat ini. Ia membuat pemain favorit sejuta umat, Mohamed Salah, cedera dan menangis di partai final bahkan terancam absen di Piala Dunia 2018. Tengok saja akun Instagramnya yang tak surut disumpahserapahi jutaan warganet dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Tapi mengutuk perbuatan Ramos sebenarnya tindakan berlebihan. Sepakbola adalah olahraga berisiko. Cedera tak bisa dihindarkan dalam setiap perebutan bola. Dalam cederanya Salah, bahu kirinya terluka karena terbanting sementara banyak yang mengira Salah cedera akibat lengannya diapit Ramos. Bahu salah cedera karena benturan dengan tanah.

Benar memang Ramos terlibat dalam insiden ini. Tapi apa yang dilakukannya sudah menjadi tugas utamanya. Tugas seorang bek adalah menghalau, menghambat, dan menghentikan serangan lawan yang mendekati gawangnya. Itulah yang dilakukan Ramos pada insiden itu. Jika ia lembek dan melepaskan Salah demi kemaslahatan umat, justru ia gagal sebagai seorang bek.

Bahkan jika lebih teliti, yang dilakukan Ramos justru dikategorikan "tekel berhasil" atau "tekel bersih" dalam sepakbola. Kapten Madrid itu merebut bola dengan bersih karena kakinya mengenai bola. Duel dengan Salah terjadi pun karena adanya upaya Salah untuk merebut bola itu (bahkan beberapa orang melihatnya tangan Salah lebih dulu mengunci diri pada lengan Ramos). Toh, pada akhirnya keduanya terjatuh.

Yang membuat upaya Ramos ini menjadi terlihat "kotor" karena, pertama, Salah cedera sementara Ramos tidak. Kedua, Ramos sudah dikenal sebagai bek yang "kotor". Ketiga, Salah adalah "pemain kesukaan banyak orang yang tidak boleh disakiti". Ini mengakibatkan Ramos vs Salah terlihat sebagai "Si Jahat" melawan "Si Baik", dan pasti banyak yang lebih mendukung tokoh protagonis.

Bek dengan gaya main seperti Ramos sebenarnya berguna bagi tim. Bahkan jika kita melihat sepakbola di masa lalu bek-bek seperti ini merupakan primadona dan jadi kebutuhan utama sebuah tim.

Masih ingat dengan nama-nama bek tengah seperti Walter Samuel, Paolo Montero, Marco Materazzi, Christian Chivu, Vinnie Jones atau Kevin Muscat? Atau juga Gennaro Gattuso, Roy Keane, Joey Barton, hingga Nigel De Jong? Mereka adalah pemain yang terampil bermain "kotor" untuk mengantarkan timnya meraih kemenangan.

Contoh lebih ekstrim ada dalam diri Claudio Gentile. Bek timnas Italia pada 1980an itu yang membuat Diego Maradona tak berdaya di Piala Dunia 1982. Total 23 pelanggaran dilancarkan Gentile pada Maradona. Hanya satu pelanggaran yang membuatnya dihadiahi satu kartu kuning. Maradona, yang ketika itu dikartu kuning karena protes setelah dilanggar Gentile, mengkritik permainan kotor Gentile. Gentile menjawabnya dengan elegan: "Sepakbola bukan olahraga untuk penari balet".

Bermain "kotor", menurut Gentile, bertujuan untuk menjatuhkan mental lawan dan membuat lawan kehilangan fokus pada permainannya. Selain itu, di Italia sendiri ada istilah furbizia yang punya arti sebuah cara menaklukkan lawan melalui pendekatan performatif, taktis dan psikologis yang tidak keluar dari peraturan pertandingan. Diving, tactical foul, protes pada wasit, memprovokasi lawan, membuang-buang waktu, bermain kasar, menurut Andrea Tallarita, seorang kolumnis Italia, merupakan beberapa cara "kotor" di Italia dalam melakukan furbizia.

Tak mudah juga sebenarnya untuk bermain "kotor" tapi tetap tidak melanggar aturan. Jika Ramos berniat mengasari atau mencederai Salah misalnya, maka ancamannya adalah pelanggaran berbuah tendangan bebas, kartu kuning, kartu merah bahkan penalti. Tapi ia mahir dalam melakukannya. Toh pada laga final tersebut ia tak mendapatkan kartu kuning apalagi kartu merah. Bahkan tak ada satupun pelanggaran yang dilakukannya dalam 90 menit pertandingan.

Di situlah letak kelas dan berkualitasnya Ramos sebagai bek. Lewat gaya permainannya yang seperti itu ia menjelma jadi salah satu bek terbaik dunia, bermain di kesebelasan terbaik dunia, dan yang paling penting telah menorehkan semua trofi paling bergengsi di sepakbola dimulai dari trofi domestik, Liga Champions, Piala Eropa, Piala Dunia Antar Klub sampai Piala Dunia.

Pada insiden di final Liga Champions semalam menjadi kasus khusus karena korbannya kali ini adalah seorang Mohamed Salah. Memangnya tega melihat Salah menangis dan tidak bermain di Piala Dunia? Semua orang tampaknya tidak tega dan tidak rela. Yah, kecuali satu orang; Sergio Ramos yang melakukan segala cara demi kemenangan timnya.

Komentar