Merayakan Mandela dengan Sepakbola

Cerita

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Merayakan Mandela dengan Sepakbola

Kendati Nelson Mandela sudah tiada, jasa besarnya dalam perjuangan kesetaraan abadi. Jasa-jasa Mandela tetap penting untuk terus diingat.

Tahun ini menandai seratus tahun kelahiran Mandela. Afrika Selatan merayakannya dengan berbagai cara. Salah satunya lewat turnamen sepakbola bertajuk “Mandela Centenary Cup”.

Kampiun La Liga musim 2017/18, FC Barcelona, ambil bagian dalam turnamen tersebut. Barcelona bertanding melawan juara liga Afrika Selatan, Mamelodi Sundowns. Pertandingan digelar di FNB Stadium, Johannesburg, Rabu (16/5).

Keikutsertaan Barcelona di turnamen tersebut tak lepas dari rasa hormat dan kekaguman mereka terhadap Mandela. Bagi Barcelona, Mandela merupakan representasi perjuangan akan kebebasan dan kesetaraan di Afrika Selatan, dan sosok yang berperan penting dalam mempersatukan masyarakat yang terbagi-bagi secara rasial.

Barcelona juga menyebut semangat yang dibawa Mandela sama dengan semangat yang selama ini mereka usung. Dalam pernyataan yang dimuat di laman web mereka, Barcelona mengutip kata-kata Mandela ihwal kekuatan olahraga untuk mengubah dunia.

“Olahraga mempunyai kekuatan untuk mengubah dunia. Ia mempunyai kekuatan untuk menginspirasi. Ia mempunyai cara untuk mempersatukan banyak orang. Ia berbicara kepada anak muda dalam bahasa yang mereka mengerti. Olahraga bisa menciptakan harapan ketika pada satu waktu terjadi keputusasaan. Ia lebih kuat dari pemerintahan dalam mengahancurkan dinding rasial. Ia menertawakan semua jenis diskriminasi.”

Kata-kata yang diucapkan Mandela tersebut tidak lahir dari ruang kosong. Mandela bisa berkata seperti itu karena ia sendiri pernah mengalami dan menyaksikan secara langsung bagaimana olahraga mampu memberi harapan hidup kepada banyak orang, di tengah situasi yang begitu depresif.

Menjaga Kewarasan di Penjara dengan Sepakbola

Nelson Mandela memulai karier politiknya saat bergabung dengan partai African National Congress (ANC) pada 1943. Sebelumnya, selama berkuliah di University of Fort Hare dan University of Witwaterstrand, Mandela banyak belajar tentang kesetaraan dan kekeliruan rezim apartheid Afrika Selatan. Dengan bergabung bersama ANC, Mandela mendapat ruang untuk semakin vokal dalam menyuarakan perlawanan terhadap rezim tersebut.

Mandela beberapa kali terlibat dalam kampanye perlawanan yang digelar ANC—di antaranya Kampanye Bantahan Melawan Ketidakadilan Hukum (1952) dan Kongres untuk Rakyat (1955).

Segala tindak-tanduk Mandela membuat pemerintahan kulit putih Afrika Selatan gerah. Beberapa kali mereka mencoba menangkap Mandela, namun sang pejuang kesetaraan selalu berhasil lolos dari dakwaan. Mandela baru bisa benar-benar ditangkap pada 1962.

Ketika itu Mandela didakwa melakukan penghasutan terhadap buruh untuk melakukan mogok kerja dan protes. Bersama beberapa anggota ANC lain seperti Jacob Zuma, Walter Sisulu, dan Oliver Tambo, Mandela dikirim ke Pulau Robben untuk menjalani masa tahanan. Mandela mendekam di penjara 27 tahun lamanya.

Selama di penjara, Mandela dan para tahanan politik lainnya diharuskan bekerja sebagai buruh kasar. Mereka dipaksa menggali tambang batu kapur di pulau tersebut, mencuci pakaian, membersihkan halaman, dan merawat tanahnya.

Jauh dari keluarga dan orang-orang tercinta serta dipaksa melakukan pekerjaan berat setiap harinya tentu bukan situasi yang menyenangkan. Depresi dan tekanan mental adalah keniscayaan.

Di tengah situasi yang serba tertekan itu, lima orang tahanan di Pulau Robben yakni Lizo Sitoto, Sedick Isaacs, Sipho Tshabalala, Mark Skinners, dan Anthony Suze, mulai membentuk sebuah kompetisi sepakbola untuk para tahanan.

Mereka menamai kompetisi yang dimulai pada 1966 tersebut Makana Football Association. Nama Makana dipilih sebagai bentuk penghormatan untuk kepala suku Makana, yang menjadi tahanan politik pertama di Pulau Robben.

Kompetisi sepakbola ini diadakan sebagai sarana hiburan untuk para tahanan di tengah suasana depresif yang diderita mereka. Hal ini seperti dijelaskan oleh salah satu pendiri Makana FA, Mark Skinners. Dalam wawancaranya bersama FIFA pada 2007, Skinners menjelaskan bahwa sepakbola telah berperan besar membuat para narapidana tetap waras.

“Sepakbola sangatlah penting karena ketika kami berada di Pulau Robben, satu-satunya hal yang membuat kami tetap waras adalah keterkaitan dengan dunia luar seperti pergi menyaksikan pertandingan sepakbola. Ini menegaskan betapa pentingnya sepakbola,” ujarnya.

Selain itu, sepakbola juga dianggap merupakan sarana yang ampuh untuk membuat para tahanan di Pulau Robben bisa saling terhubung. Ketika itu penjara-penjara di Pulau Robben terbagi dalam beberapa area.

“Kami masih muda ketika itu. Penuh energi. Dan kami perlu menyalurkan energi itu. Kami ingin jadi lebih dekat satu sama lain, karena penjara kami terpisah dalam beberapa area. Dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah lewat olahraga," sebut Lizo Sitoto kepada FIFA.

Hebatnya lagi, ketika itu Makana FA tidak sekadar menggelar pertandingan sepakbola biasa, tetapi juga patuh menerapkan aturan-aturan resmi FIFA di setiap pertandingannya.

Melansir laman resmi kepresidenan Afrika Selatan, Gabriel Sexwale—politikus Afrika Selatan yang juga bekas tahanan di Pulau Robben, menceritakan bagaimana saat itu para tahanan begitu keras dalam menentang aturan-aturan rezim apartheid, namun sangat patuh pada aturan-aturan FIFA ketika bermain sepakbola.

Salah seorang bekas tahanan mengaku bahwa bermain sepakbola dengan disiplin dan kompetitif, sangat membantunya mengusir rasa jenuh dan depresi tinggal di penjara selama puluhan tahun. Hal ini diamini pula oleh Sipho Tshabalala, saat ditanya mengapa olahraga yang dipilih untuk dikompetisikan ketika itu adalah sepakbola.

“Sepakbola lebih terapeutik untuk kami. Sepakbola membuat kami tetap merasa sebagai manusia. Sepakbola membuat kami merasa bahwa kami tidak sedang terisolasi,” tuturnya pada FIFA.

Selama kompetisi berlangsung, Mandela sendiri hampir tidak pernah menyaksikan pertandingan. Bukan karena tidak menyukai sepakbola, melainkan karena saat itu Mandela dilarang untuk menghadiri pertandingan sepakbola karena dikategorikan sebagai narapidana kelas berat.

Namun terlepas dari semua itu, sepakbola secara tidak langsung telah menyelamatkan hidup Mandela dan para pejuang lain yang ditahan di Pulau Robben. Setelah mendapat berbagai tekanan dari dunia internasional, pada 1991 rezim apartheid di Afrika Selatan runtuh. Tiga tahun kemudian, Mandela menjadi Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan yang dipilih secara demokratis.

Pada 2007, FIFA menjadikan Makana FA sebagai anggota kehormatan di keanggotaan FIFA. Di tahun yang sama pula, sebuah film berjudul More Than Just A Game, yang bercerita tentang kisah Makana FA, dirilis.

Komentar