Menjadi Raja Nigeria Berkat Keluarga

Backpass

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Menjadi Raja Nigeria Berkat Keluarga

“Nyaris seperti seorang raja!” ujar Alex Iwobi mengenang debutnya bersama Tim Nasional Nigeria kepada Guardian. “Itu gila. Aku selalu dekat Kelechi Iheanacho. Ketika kami pergi, kami dikawal. Karena aku tidak seterbiasa mereka dengan budaya Nigeria, mereka membantuku. Aku [bahkan] tidak berbicara bahasanya dengan cukup baik. Mereka membantuku soal fan. Para fan berbeda di sana. Mereka tidak meminta tanda tangan; mereka meminta sepatu, meminta uang.”

Gegar budaya dalam debut Iwobi untuk Tim Nasional Nigeria tidak terhindarkan karena walau lahir di Lagos pada 3 Mei 1996, Iwobi sudah menetap di Inggris sejak berusia 4 tahun. Gegar budaya semakin tak terhindarkan karena di tim nasional kelompok usia, Iwobi hanya pernah mengenakan seragam Inggris.

Iwobi pernah membela Tim Nasional Inggris U16, U17, dan U18. Panggilan dari U19, walau demikian, tak pernah datang. Pada 8 Oktober 2015, begitu Iwobi masuk sebagai pemain pengganti dalam pertandingan persahabatan antara Nigeria dengan Republik Kongo, Inggris kehilangan sang pemain selamanya.

“Normalnya, aku mau bermain untuk Inggris karena aku selalu bermain untuk timnas junior,” ujar Iwobi, dikutip dari Telegraph. “Tapi Austin Okocha dan Nwankwo Kanu memengaruhi keputusanku untuk membela Nigeria. Ayahku juga berkata tentang banyak hal mengenai kehormatan dan kebanggaan dari bermain untuk Nigeria. Jadi aku memikirkannya matang-matang dan memutuskan untuk membela Nigeria.”

Keputusan Iwobi membela Nigeria adalah hal besar. Berdasarkan survei Repucom Sports DNA, Nigeria menjadi negara terbesar ketiga di dunia dalam hal jumlah persentase penduduk yang menyukai sepakbola. Sebanyak 85% penduduk mereka mengaku rutin menonton sepakbola di televisi, padahal akses ke siaran langsung di sana tergolong sulit. Sementara di peringkat pertama ada Mesir (88%), kemudian Indonesia dan Brasil (sama-sama 74%) menyusul di bawah Nigeria.

Saat Iwobi memutuskan membela Nigeria, ia bahkan belum menjalani debutnya di Arsenal. Walau demikian, jeda antara debut di tim nasional dan klub tak terlalu lama. Pada tanggal 27 di bulan yang sama, Iwobi tampil membela tim senior The Gunners untuk kali pertama—di ajang Piala Liga. Tiga hari berselang, di Liga Primer, Iwobi kembali dipercaya tampil. Titik yang benar-benar menentukan dalam meroketnya karier Iwobi, walau demikian, bukan dua pertandingan itu.

“Aku rasa [mulai yakin aku bisa mencapai hal-hal besar] adalah setelah pertandingan pertamaku sebagai starter, di pertandingan Piala FA melawan Sunderland pada Januari [2016],” ujarnya dalam wawancara dengan majalah Arsenal. “Aku sudah memainkan beberapa pertandingan sebagai pengganti, namun aku rasa semuanya benar-benar berubah dari situ. Pertandingannya di kandang, di kejuaraan besar, dan saat itulah aku mulai sedikit mendapat pengakuan.”

Sejak saat itu Iwobi bukan lagi pemain muda yang hanya dimainkan sesekali, baik di Nigeria maupun Arsenal. Bersamaan dengan meningkatnya jam terbang, meningkat pula popularitas Iwobi. Pernah pada sebuah kesempatan ia harus mengambil rute yang berbeda untuk pulang karena sebuah mobil yang dikemudikan seorang fan Arsenal terus mengikutinya. Pernah pula Iwobi sampai harus mengunjungi adik perempuannya—Marie Iwobi—dengan tudung terpasang.

“Aku hanya ingin menikmati waktu dengan adikku,” ujar Iwobi kepada Amy Lawrence dari Guardian. “Kami dekat, kami selalu bersama, selalu tertawa. Aku selalu berusaha menjaganya.”

Baca juga: Pemain Nigeria, Bersinar Saat Muda, Tak Berkembang Saat Dewasa

Seperti kedekatannya dengan sang adik, popularitas juga tak mengubah sikap Iwobi. Ia tetap pemuda rendah hati. Menyoal ini, Jay-Jay Okocha memainkan peran penting.

“Kami mengobrol setiap beberapa pekan,” ujar Iwobi mengenai hubungannya dengan sang paman, sebagaimana dikutip dari Guardian. “Dia memberiku saran, tidak hanya tentang di dalam lapangan tetapi juga di luarnya. Dia menjagaku tetap rendah hati dan membantuku merencanakan hidup pasca sepakbola.”

Karier Iwobi, sebenarnya, tak selalu semulus ini. Menimba ilmu di Arsenal sejak berusia 6 tahun, Iwobi nyaris dilepas saat berusia 13. Di titik ini, keluarga memainkan peran penting.

“Karena aku tidak sebesar, secepat, atau sekuat pemain-pemain lain, aku mulai mempertanyakan diri dan kemampuanku, aku tidak menunjukkan kemampuanku sebagaimana harusnya,” kenang Iwobi, dikutip dari Guardian. “Itu mengganggu karena aku berangkat ke sekolah sambil berpikir, ‘Apa yang bisa kulakukan untuk menjadi lebih baik?’ Aku berlatih ekstra dengan ayahku atau teman-temanku. Ibuku membuatku men-juggling bola di ruang tengah. Bahkan adikku berusaha bermain bola. Semua orang berusaha membantuku.”

Beruntung bagi Iwobi, pihak klub tak jadi melepasnya. Dari sana, karier Iwobi mulai merangkak naik.

“Mereka [Arsenal] mempertahankanku dan aku rasa sejak saat itulah karierku meningkat,” ujar Iwobi dalam wawancara dengan majalah Arsenal edisi Juni 2016. “Aku bermain di Nike Cup (kejuaraan usia muda) tak lama setelahnya, kemudian Inggris memanggilku dan semuanya mulai berjalan.”

Dalam wawancara yang sama, Iwobi ditanya: Melihat ke belakang, akankah kamu menjalani segalanya dengan berbeda?

“Aku harap aku dulu lebih percaya diri,” jawabnya. “Tapi mengingat aku sekarang ada di tim utama, sepertinya aku tak ingin mengubah apa pun.”

Komentar