Gabriel Garcia Marquez dan Pertandingan yang Mengubahnya

Cerita

by Redaksi 24

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Gabriel Garcia Marquez dan Pertandingan yang Mengubahnya

Gabriel Garcia Marquez dikenal dunia sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam dunia sastra. Melalui setiap karya yang ia telurkan, Novelis yang karib disapa Gabo itu banyak meraih penghargaan di bidang kesusastraan. Yang paling prestisius, penghargaan Nobel Sastra, diraihnya pada 1982.

Di setiap karya yang dibuat, Gabo tak segan mencampuradukkan realitas dan imajinasi yang membuncah dalam pikirannya. Para kritikus dan sastrawan dunia mengenal sosok kelahiran Kolombia, 6 Maret 1927 itu, sebagai penulis beraliran realis magis.

Dalam sastra realisme magis, unsur-unsur bersifat imajiner seperti magis dan supranatural dijelaskan sebagai peristiwa nyata. Unsur nyata dan yang tak masuk akal masuk dalam arus pemikiran yang sama. Realisme magis dalam karya-karya Gabo begitu kental, termasuk di magnum opus-nya, novel berjudul Cien años de soledad (One Hundred Years of Solitude) yang terbit di tahun 1967.

Sihar Ramses, dalam artikelnya yang berjudul “Rawannya Sejarah Novel Kita” yang terbit di surat kabar Sinar Harapan, menggambarkan realisme magis ala Gabo sebagai karya yang memadukan pandangan tokoh dengan mitologi masyarakat, dan menggabungkan cerita magis dengan sejarah sosial yang berlaku.

Memasuki akhir era 1990-an, kehidupan Gabo berubah drastis. Ia divonis mengidap kanker limfatik pada 1999. Vonis kanker, sedikit banyak, membatasinya dalam berkarya, karena ia pun perlu memfokuskan diri pada penyembuhan penyakitnya itu.

Namun, Gabo merupakan sosok yang memiliki gairah luar biasa dalam menulis. Dalam keadaan sakit, Gabo masih menyempatkan menelurkan beberapa karya fenomenal seperti: Vivir para contarla (2002; Living to Tell the Tale) hingga Memoria de mis putas tristes (2004; Memories of My Melancholy Whores).

Tapi Gabo hanyalah manusia biasa. Seiring berjalan waktu, seiring usia yang terus bertambah, kondisi kesehatan Gabo terus memburuk. Gairahnya dalam berkarya mungkin belum padam, namun kondisi fisiknya yang terus melemah tak lagi mampu mengikuti keinginannya.

Pengobatan kanker yang dijalani membuat kondisi kesehatan Gabo semakin memprihatinkan. Efek samping dari kemoterapi berakibat pada rusaknya beberapa sel otak – Gabo pun mengidap demensia.

"Kemoterapi menyelamatkan nyawanya, tapi juga menghancurkan banyak neuron dan pertahanan fisiknya. Namun begitu, selera humor, sukacita dan antusiasme adalah tiga hal yang selalu ia miliki." Kata adik Gabo, Jamie Garcia Marquez, dilansir dari The Guardian.

Tepat pada 17 April 2014, di kala usianya semakin menua, Gabo tak lagi sanggup bertahan melawan ganasnya kanker. Gabo mengembuskan nafas terakhirnya pada usia 87 tahun. Kepergiannya menjadi duka mendalam. Dunia sastra kehilangan salah satu sosok terbaiknya.

Gabo dan Sepakbola

Semasa hidup, Gabo lebih dikenal sebagai seorang penulis, novelis, dan jurnalis yang menjadikan fenomena sosial hingga kondisi perpolitikan Amerika Selatan sebagai tajuk yang disalurkan dalam buah karyanya.

Lebih dari pada itu, kehidupan Gabo pun berkutat pada kedekatannya pada dunia sepakbola. Gabo, bukanlah praktisi aktif dalam bidang olahraga, khususnya sepakbola. Sejak kecil, Gabo sebenarnya bukanlah penggila bola. Namun semua berubah saat ia berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Cartagena pada 1948.

Di awal kehidupannya sebagai mahasiswa hukum di Cartergena, Gabo lebih dikenal teman-temannya sebagai seorang kutu buku. Ia lebih sering bercengkerama dengan buku ketimbang teman-temannya saat jam istirahat tiba. Namun tidak lagi demikian sejak Alfonso Fuenmayor dan German Vargas, dua teman kuliahnya, mengajak Gabo menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion.

Saat itu akan diadakan pertandingan lanjutan Liga Kolombia antara Junior de Barranquilla melawan Millonarios. Dalam artikelnya yang berjudul "The Oath", yang diterbitkan koran The Universal, Gabo mengisahkan bahwa awalnya ia ragu menerima ajakan tersebut. Namun, bujuk rayu Alfonso dan German berhasil meluluhkan hatinya.

Pada 14 Juni 1950, untuk kali pertama dalam perjalanan hidupnya, Gabo menginjakkan kaki di stadion sepakbola. Persinggungannya degan permainan 11 lawan 11 itu pun dimulai. Gabo begitu serius memerhatikan jalannya pertandingan. Ia terpukau dengan gaya permainan diterapkan Junior saat mengalahkan Millonarios 2-1.

Kala itu, Millonarios dikenal sebagai kesebelasan besar nan bertabur bintang di kompetisi Kolombia. Nama-nama hebat seperti Alfredo di Stefano, Adolfo `The Maestro` Pederson, Nestor Rossi, dan Julio Cozzi bercokol dalam daftar susunan pemain Millonarios.

"Alfonso dan German tidak pernah mengambil inisiatif untuk mengubah saya menjadi seorang fanatik sepak bola, dan mereka tidak dapat membayangkan bahwa membawa saya ke sebuah pertandingan akan mengubah saya menjadi orang gila tanpa jejak apa yang bisa dianggap orang yang beradab. Saat pertama Saya menyadari bahwa saya berubah menjadi penggemar gila ketika saya melihat diri saya bahwa saya memiliki hal yang benar-benar saya banggakan dan saya merasa bahwa tidak menyaksikan pertandingan sepakbola adalah sebuah kekonyolan," tulis Gabo.

Seketika, Gabo muda mulai menggilai sepakbola. Ia mendeklarasikan diri sebagai suporter fanatik Junior. Gabo akhirnya mengikuti jejak Albert Camus, Gunter Grass, Naguib Mahfouz, Eduardo Galeano, dan Mario Vargas Llosa: sastrawan yang juga menggilai sepakbola.

Komentar