Pendeta Sepakbola Masokis Bernama Arsene Wenger

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Pendeta Sepakbola Masokis Bernama Arsene Wenger

Di final Piala Liga 2017/18, Arsenal tertinggal 0-3 sejak menit ke-65. Kedudukan masih sama saat wasit keempat, Graham Scott, menunjukkan durasi injury time. Tiga menit.

Tiga menit yang tampak tidak perlu. Tiga menit yang hanya memperpanjang penderitaan Arsenal. Dengan penampilan yang Arsenal tunjukkan, mengejar ketinggalan jelas mustahil. Arsene Wenger, toh, tetap mempertanyakan durasi injury time yang diberikan.

“Kenapa Anda tidak memberi lebih banyak waktu?” tanya Wenger.

“Kenapa Anda butuh lebih banyak waktu?” balas Scott.

Senyum getir kecil tersungging saat Wenger menceritakan ulang percakapan tersebut, dalam jumpa pers pascapertandingan. Wenger sendiri, sebelum menceritakan kembali percakapan tersebut, mengakui bahwa mengejar ketinggalan memang sulit. Ia hanya meminta keadilan durasi.

Pertanyaannya kemudian: untuk apa? Apakah Wenger seorang masokis – orang yang menikmati hal-hal yang menyakitkan dan menjemukan? Apakah Wenger menikmati rasa sakit dan malu dalam kekalahan yang rutin sehingga ia ingin pertandingan berjalan lebih lama? Bisa jadi. “Saya spesialis dalam masokisme,” ujarnya suatu waktu.

Rasa-rasanya Wenger tidak sedang membual atau sekadar bermain kata-kata. Ia mengatakan hal tersebut pada jumpa pers prapertandingan melawan Liverpool, 2 Maret 2017, dan dalam kesempatan yang sama ia berkata bahwa kebahagiaan dalam pekerjaan yang ia lakoni hanya 10 persen; sisanya sakit hati.

Wenger, yang saat itu berusia 67 tahun dan memiliki tiga bulan tersisa dalam kontraknya sebagai manajer Arsenal, berkata bahwa menjadi manajer adalah hidupnya, bukan sekadar bagian dari hidupnya.

“Saya spesialis dalam masokisme,” ujarnya pada Kamis itu sambil tersenyum. “Saya juga percaya pekerjaan ini memungkinkan saya mencapai tingkat lanjutan sebagai manusia; untuk mengembangkan kemampuan saya di bidang yang menjadikan manusia hebat. Untuk membantu orang-orang mencapai kehebatan. Itu benar-benar fantastis.

“Ada kekecewaan -- dengan orang-orang, dengan hasil akhir. Namun ini juga kesempatan fantastis untuk memperjuangkan apa yang benar-benar hebat tentang menjadi manusia; untuk selalu membawa diri sendiri ke tingkat lanjutan, untuk berkembang, untuk menemukan diri sendiri, untuk mendorong batasan diri lebih jauh, dan untuk tidak menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja.”

Tentu saja Wenger selalu punya pilihan untuk berhenti atau untuk mengambil jeda barang sebentar. Pep Guardiola menjalani cuti panjang setahun penuh di antara pekerjaannya sebagai pelatih kepala Barcelona dan Bayern Munchen. Luis Enrique, mantan pelatih kepala Barcelona, juga memilih untuk tidak menerima pekerjaan apa pun setelah tiga tahun menangani Barcelona. Wenger, sejak menangani Arsenal pada 1996, memilih untuk terus dan terus bekerja.

“Setiap orang mengalami pekerjaannya dengan cara berbeda,” ujar Wenger mengenai kemungkinan mengambil jeda yang memang diangkat ke permukaan oleh wartawan yang menghadiri jumpa pers tersebut. “Yang bisa saya katakan adalah, ya, pekerjaan ini sangat menuntut. Ini pengorbanan hidup. Kau tidak mengalami hal lain dalam hidup.

“Pada dasarnya, kau merasakan 90 persen sakit hati dan 10 persen kepuasan kerja dan kau harus memberikan semua yang kau punya untuk itu. Saya selalu bertanya kepada orang muda yang ingin menjalani pekerjaan ini: ‘Kau siap mengorbankan hidupmu?’ Rasanya seperti menjadi pendeta. Kau menjadi pendeta sepakbola.”

Komentar