Super Sub, Baby-Face, Pahlawan Tanpa Pamrih

Backpass

by Dex Glenniza Pilihan

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Super Sub, Baby-Face, Pahlawan Tanpa Pamrih

Sub adalah kependekan dari submarine sandwich, atau roti lapis berbentuk panjang. Jika kita mencari gambar dengan kata kunci “sub”, maka yang keluar adalah gambar roti lapis tersebut. Namun, jika kita mencari gambar dengan kata kunci “super sub”, pasti di situ ada gambar wajah ala anak baik-baik dari Ole Gunnar Solskjær.

Di sepakbola, super sub tentu bukan roti lapis panjang berukuran super, melainkan pemain yang bisa membawa dampak jika dimainkan dari peran sebagai substitute (“pemain pengganti”, bukan “pemain cadangan).

Saat ini Solskjær sudah bukan anak-anak lagi. Ia lahir pada 26 Februari 1973. Meski demikian, wajahnya tetap seperti anak-anak, sesuai julukannya yang lain, “The Baby-faced Assassin” alias “Si Pembunuh Bermuka Bayi”.

Julukan super sub yang melekat pada Solskjær bukannya tanpa alasan. Ia mendapatkannya ketika berseragam Manchester United. Selama 11 tahun di United (1996-2007), ia bermain dalam 366 pertandingan, 150 di antaranya sebagai pemain pengganti.

“Setiap kali aku duduk di bench, aku selalu berkata dalam hati: ‘Tunggu aku di lapangan, aku akan menunjukkannya pada kalian semua!’” katanya, dikutip dari Dagbladet.

Dengan ketenangan dan kedinginannya di depan gawang – ditambah wajah mirip bayinya yang tak bersalah – ia berhasil mencetak 126 gol. Sebagai penyerang, ia berhasil menyembunyikan naluri membunuhnya yang dingin (mencetak gol) melalui wajah mirip bayinya tersebut. Dari gol sebanyak itu, 29 di antaranya berhasil ia cetak sebagai pemain pengganti.

“Itu berdampak kepada lawan, karena sudah menjadi mitos jika aku bisa mencetak gol setiap aku masuk sebagai pemain pengganti. Aku lebih suka memiliki peran itu (sebagai super sub) tapi membuat dampak daripada bermain 200 pertandingan tapi hanya sebagai pemain rata-rata,” kata Solskjær, yang mencetak koleksi 33 gol di 15 menit terakhir pertandingan, dikutip dari FourFourTwo.

Pada Sabotage Times, ia mengaku jika sedang di bangku pemain pengganti, ia senang menganalisis lawannya secara mendetail, memerhatikan pergerakan lawan secara seksama, dan melihat celah di pertahanan lawan.

“Aku mungkin tak menganalisis seluruh pertandingan. Aku harus berpikir bagaimana caranya supaya aku bisa melakukan sesuatu jika aku masuk. Aku akan mempelajari full-back dan bek [tengah], melihat apa yang salah dari mereka,” kata Solskjær.

“Siapa teman baik seorang penyerang di kotak penalti?" tanyanya retoris. "Ruang. Carilah ruang.”

Tak Mengeluh Meski Selalu Terpinggirkan

Ketika didatangkan dari Molde dengan harga 1,5 juta paun pada 29 Juli 1996 – saat itu usianya 23 tahun – ia memang mengira akan menjadi pemain pengganti bagi Eric Cantona dan Andrew Cole. Sir Alex Ferguson juga mengamininya.

“Untuk enam bulan ke depan, mainlah di reserve dan biasakan dirimu dengan Inggris, kemudian Januari nanti kita mungkin akan mencoba memainkanmu di tim utama,” kenang Solskjær mengingat-ingat apa yang Ferguson katakan.

Saat itu United juga sebenarnya mengincar Alan Shearer, yang akhirnya pindah ke Newcastle United dengan harga 15 juta paun, sepuluh kali lipat Solskjær. Namun, Solskjær langsung memberikan kesan positif di debutnya melawan Blackburn Rovers. Ia masuk sebagai pemain pengganti. Enam menit di atas lapangan, ia langsung mencetak gol.

Baca juga: Pemain Pengganti, Bukan Pemain Cadangan

Pada musim perdananya di Liga Primer, ia berhasil mencetak 18 gol, menjadikannya sebagai top skor United sekaligus membawa Setan Merah menjuarai Liga Primer.

Namun selain momen di musim perdananya tersebut, patut diakui dari sekian banyak deretan penyerang subur yang bermain di kesebelasan sebesar Manchester United, Solskjær adalah pemain yang terpinggirkan. Ia hampir selalu memulai segalanya dari bangku pemain pengganti dan tak pernah menjadi penyerang utama di bawah asuhan Sir Alex.

Beberapa nama penyerang yang membuat Solskjær terpinggirkan adalah Cantona, Cole, Dwight Yorke (apalagi ketika Cole dan Yorke menjadi duet maut United), Ruud van Nistelrooy, sampai Wayne Rooney.

Bahkan menjelang akhir kariernya sebagai pemain, Sir Alex sempat memainkannya sebagai sayap kanan. Meski berkali-kali terpinggirkan, ia tak pernah mengeluh. Sikap tanpa pamrih yang ditunjukkan oleh Solskjær ini yang membuatnya menjadi legenda United.

Berkorban untuk Rekan-rekannya

Salah satu sikap tanpa pamrih Solskjær yang paling terkenal adalah ketika Setan Merah menjamu Newcastle di Old Trafford pada April 1998.

Saat itu kedudukan sedang imbang 1-1, tapi United sangat bernafsu mencetak gol kemenangan. Hampir seluruh pemain United berada di setengah lapangan milik Newcastle.

David Beckham melakukan umpan silang ke dalam kotak penalti Newcastle, tapi berhasil dihalau keluar oleh barisan pertahanan The Magpies. Bola kemudian mendarat di kaki Robert Lee, pemain Newcastle, yang berlari sendirian, bersiap satu lawan satu menghadapi kiper Raimond van der Gouw. Peluang itu hampir pasti menjadi gol.

Di saat semua pemain United kecuali Van der Gouw berada di setengah lapangan The Magpies, Solskjær adalah satu-satunya yang berlari mengejar Lee. Sadar jika ia tak bisa menghalau Lee, Solskjær melakukan tekel dari belakang. Sebuah professional foul yang membuatnya terkena kartu merah, tapi membuat United tak jadi kebobolan.

Saat itu Solskjær dianggap sebagai pahlawan. Seluruh pemain dan penonton memberinya tepuk tangan, meski ia telah melakukan pelanggaran tak terpuji. Beckham sampai menghampirinya untuk meminta maaf sambil tak peduli dan tetap memuji sikap Solskjær. Solskjær membalas: “I had to”.

“Aku diberi tepuk tangan [oleh semua orang] tapi aku tak diberi tepuk tangan oleh manajer. Ia berkata kepadaku: ‘Di Manchester United, kita tak pernah menang dengan cara itu; kita menang dengan fair play.’ Itu menyadarkanku,” aku Solskjær. Tanpa pamrih, Solskjær mengorbankan fair play untuk rekan-rekannya.

And Solskjær Has Won It!

Beberapa dari kita mungkin mengingat Solskjær dari kejadian-kejadian seperti empat gol yang dicetaknya ketika United menang 8-1 di kandang Nottingham Forest, gol injury time melawan Liverpool di babak keempat Piala FA 1998/99, menjuarai empat gelar ketika menangani Man United Reserves, menjuarai Liga Norwegia dua kali ketika menangani Molde (salah satunya adalah gelar pertama Molde sejak mereka berdiri pada 1911), momen pensiunnya, sampai kegagalannya sebagai manajer Cardiff City.

Namun jika ada satu momen yang paling menggambarkan Solskjær, kita tak bisa berpaling dari gol injury time­-nya di final Liga Champions UEFA pada 26 Mei 1999 di Camp Nou, Barcelona.

Sama seperti narasi sepanjang tulisan ini, Solskjær mengawali pertandingan final melawan Bayern München tersebut dari bench. Bayern mencetak gol di menit ke-6 melalui sepakan bebas Mario Basler. United ketinggalan 0-1 sampai menit ke-80-an.

Dengan pertandingan tersisa kurang dari 10 menit, Solskjær masuk menggantikan Cole. Selanjutnya, Teddy Sheringham, yang juga masuk sebagai pemain pengganti, berhasil mencetak gol penyama kedudukan di menit ke-91.

“Aku mengincar extra time dan bermain di 30 menit final Liga Champions,” kata Solskjær, dikutip dari Reuters. Pada akhirnya ia tak pernah mendapatkan 30 menit itu karena momen setelah itu adalah kuncinya; yang bisa dibilang menjadi inti dari segala hal mengenai Ole Gunnar Solskjær dan Manchester United.

Pierluigi Collina, wasit yang memimpin pertandingan tersebut, menjelaskan suasana para pendukung United di Camp Nou saat itu “seperti auman singa”.

Tanyakan kepada setiap orang, siapa yang mereka pilih untuk menjadi orang terakhir yang menyentuh bola di kotak penalti pada menit ke-93 sebuah final Liga Champions dalam sebuah pertandingan di mana United sepertinya akan mengalami kekalahan.

Teriakan komentator Clive Tyldesley saat itu, “and Solskjaer has won it! Manchester United have reached the promised land!”, akan selamanya menggetarkan setiap jiwa yang berhubungan dengan United.

Baca juga: Kebetulan-kebetulan yang Logis di Sepakbola

Rumah yang Tenang di Pinggir Laut

Pada 2018 Solskjær tinggal di rumah pinggir lautnya yang tenang di Kristiansund, kota kelahirannya. Rumahnya berjarak dua jam perjalanan mobil menuju Molde, kota kesebelasan asuhannya.

Ia menjalani hidupnya dengan rutin. Setiap pagi ia mengemudikan Audi Q7-nya di atas pegunungan dari Kristiansund ke sesi latihan pagi di Molde. Ia selalu mendengarkan radio berbahasa Inggris, XFM Manchester, dari stasiun Norwegia dengan lagu hits tahun 80-an yang sama terus-menerus.

Rumah Ole Gunnar Solskjær dan Silje Lyngvær di Innlandet Selatan, Kristiansund, dengan pemandangan ke Laut Norwegia dan Samudera Atlantik – sumber: Nettavisen

“Aku menikmati berada di rumah bersama keluarga,” kata Solskjær, dalam wawancaranya bersama Dagbladet. Ia menikmati hidup dengan istrinya, Silje Lyngvær, dan tiga anak mereka. “Tapi aku masih suka menghabiskan malam sebelum setiap pertandingan di kamar hotel. Aku sering bepergian, dan aku sering jauh dari rumah.”

“Aku ingin sukses. Aku adalah orang yang ambisius. Aku ingin melakukan yang terbaik untuk Molde, dan mungkin aku akan mendapatkan kesempatan lagi untuk kembali ke dunia yang lebih besar,” lanjutnya. “Apakah [menjadi manajer Manchester] United masih menjadi pekerjaan impianku? Setiap pemain Manchester United yang melanjutkan karier sebagai manajer pasti memiliki impian itu.”

Pada setiap malam yang ia habiskan di rumahnya, ia bisa mendengar suara gelombang laut. “Kadang sepi sekali, tapi menenangkan,” katanya. Di tengah sepakbola modern yang berisik, Solskjær justru hidup di dalam ketenangan yang damai bersama keluarganya.

Sementara di bagian dunia lain, masih ada yang bernyanyi untuknya, namanya masih bisa dilihat di pinggir tribun Old Trafford, seolah ia bisa datang menjulurkan kaki kanannya di tiang jauh untuk mencetak gol sederhana yang paling spesial sepanjang sejarah.

Dalam kesempatan-kesempatan seperti ini, kenangan tersebut tak akan pernah basi; dan definisi pahlawan tanpa pamrih pun akan terus terawat. Ole.

Komentar