Quo Vadis FIFA Club World Cup: Menggugat Kedigdayaan Sepakbola Eropa

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Quo Vadis FIFA Club World Cup: Menggugat Kedigdayaan Sepakbola Eropa

Oleh: Muhammad Abdulloh

Awal Desember ini akan diadakan salah satu hajatan tahunan FIFA. Bertempat di Uni Emirat Arab (UEA), hajatan bertajuk FIFA Club World Cup atau Piala Dunia Antarklub FIFA 2017 ini akan mempertemukan para juara dari kejuaraan masing-masing konfederasi. Real Madrid mencatatkan rekor baru sebagai juara bertahan yang mengikuti turnamen dua tahun beruntun sebagai ganjaran menjadi juara Liga Champions 2016/2017.

Pertama kali diadakan di tahun 2000 di Brasil dengan Corinthians keluar sebagai juara, kompetisi ini tidak dilanjutkan di tahun 2001 yang rencananya digelar di Spanyol. Hal ini terjadi salah satunya karena bangkrutnya International Sport and Leisure (ISL), salah satu rekan FIFA yang ditunjuk sebagai event organizer.

Hingga 2004, publik sepakbola dunia dihibur dengan Intercontinental Cup yang menahbiskan Porto sebagai juara terakhirnya. Intercontinental Cup mempertemukan juara dari konfederasi Eropa (Liga Champions) dan Amerika Selatan (Copa Libertadores). Hal ini dapat dimaklumi karena dua konfederasi tersebut adalah konfederasi adidaya dalam jagat sepakbola.

Dalam 43 kali gelaran Intercontinental Cup sejak 1960, konfederasi Amerika Selatan (CONMEBOL) menjuarai sebanyak 22 kali mengungguli konfederasi Eropa (UEFA) yang menjuarai sebanyak 21 kali.

Pada tahun 2005, FIFA mencoba menghidupkan kembali hajatan Club World Cup dengan melakukan merjer pada pertandingan Intercontinental Cup. Jepang menjadi tuan rumah pada tahun 2005 dan diikuti 6 peserta. Sao Paulo (CONMEBOL), Liverpool (UEFA), Al-Ahly (CAF), Al-Ittihad (AFC), Saprissa (CONCACAF), dan Sidney FC (OFC) menjadi peserta kejuaraan 2005 dan Sao Paulo menjadi juara setelah mengalahkan Liverpool di partai puncak.

Format yang dipakai FIFA secara kasat mata memberikan keuntungan untuk wakil Amerika Selatan dan Eropa karena kedua kesebelasan tersebut langsung masuk sebagai semi-finalis dan maksimal ‘hanya’ memainkan dua pertandingan untuk menjadi juara. Hal ini jelas berbeda dengan wakil dari Oseania yang harus melalui partai play-off melawan kesebelasan wakil tuan rumah.

Dominasi Eropa

Boleh jadi Eropa menjadi kiblat jagat sepakbola, namun faktanya, klub yang paling sering tampil di FIFA Club World Cup berasal dari konfederasi Oseania, yaitu Auckland City yang menjuarai OFC Championship pada tahun 2009 dan berturut-turut dari 2011 hingga 2017. Sehingga pada tahun ini adalah keikutsertaan mereka ke-8.

Namun, hal ini tidak sebanding dengan pencapaian mereka pada kejuaraan ini. Prestasi tertinggi mereka adalah menjadi juara ke-3 pada tahun 2014 setelah pada perebutan tempat ketiga berhasil mengalahkan Cruz Azul pada babak adu penalti dengan skor 4-2 setelah bermain imbang 1-1 pada waktu normal dan perpanjangan.

Meski tidak ada klub yang terlalu dominan seperti di Oseania, klub-klub jawara Eropa terbukti berhasil merajai kejuaraan ini. Hingga 2016, dari 13 kali kejuaraan, klub-klub Eropa berhasil menjuarai sebanyak 9 kali dengan Barcelona sebagai pemegang rekor juara terbanyak sebanyak 3 kali.

Sedangkan Amerika Selatan berhasil menjuarai sebanyak 4 kali, sementara konfederasi lain belum ada yang mencatatkan namanya sebagai juara.

Hal ini tentu saja tidak mengejutkan karena industrialisasi sepakbola di Eropa menjadi paling maju di antara konfederasi lain. Uang yang berputar pada industri sepakbola Eropa selain digunakan sebagai attraction bagi pemain-pemain kelas wahid, juga menjadi modal berharga untuk investasi pada pengembangan teknologi persepakbolaan.

Beberapa tahun terakhir, Chinese Super League mencoba untuk jor-joran dalam belanja pemain kelas wahid dengan iming-iming bayaran selangit. Namun hal itu tidak serta merta mengangkat ‘derajat’ Asia pada kejuaraan ini bahkan wakil Tiongkok sejauh ini hanya dua kali menjadi kontestan.

Kejutan tuan rumah

Pada edisi ke-10 yang diadakan di Maroko, terjadi sebuah kejutan. Kala itu, partai final mempertemukan Bayern Muenchen selaku jawara Eropa melawan Raja Casablanca selaku tuan rumah. Bayern yang diuntungkan karena mulai bermain di semi-final berhasil menaklukkan Guangzhou Evergrande, sang kampiun Asia yang kala itu dilatih Marcelo Lippi, dengan skor 3-0.

Sementara di sisi lain, Raja Casablanca harus melalui jalan yang lebih panjang karena harus memulai dari partai play-off melawan Auckland City, jawara Oseania. Kejutan terjadi di semi-final ketika Raja Casablanca berhasil menundukkan Atletico Mineiro, kampiun Amerika Selatan, yang kala itu diperkuat Ronaldinho dengan skor 3-1.

Hingga partai puncak yang dimenangi Bayern dengan skor 2-0, Raja Casablanca bermain sebanyak 4 kali sedangkan Bayern bermain sebanyak 2 kali.

Tahun lalu, kejutan kembali terulang, Real Madrid, sang raja Eropa menghadapi Kashima Antlers, sang tuan rumah kejuaraan ke-13. Real Madrid berhasil menundukkan Club America, jawara Amerika Utara, dengan skor 2-0 berkat gol Ronaldo dan Benzema. Sementara Kashima Antlers, sang tuan rumah, memulai dari play-off dengan melawan (lagi-lagi) Auckland City.

Kashima Antlers menantang Real Madrid di final setelah menundukkan Atletico National, sang jawara Amerika Selatan dengan skor meyakinkan 3-0. Tak sampai disitu, Real Madrid dipaksa memainkan babak tambahan karena hingga waktu normal berakhir skor masih sama kuat 2-2. Dua gol dari Ronaldo di babak tambahan memungkasi laga sekaligus menjadi gelar kedua Real Madrid pada kejuaraan ini.

Menanti TP Mazembe kedua

Meskipun Raja Casablanca dan Kashima Antlers sebagai jawara dari konfederasi Afrika dan Asia telah ‘berhasil’ mencapai partai final, namun sesungguhnya sensasi turnamen adalah TP Mazembe pada 2010. Bergelar kampiun dari Afrika, TP Mazembe secara mengejutkan menundukkan Pachuca di perempat-final dan Internacional di semi-final.

TP Mazembe tak hanya mencatatkan diri sebagai klub Afrika pertama yang mencapai final Piala Dunia Antarklub, namun juga sebagai klub di luar Eropa dan Amerika Selatan pertama. Lebih dari itu, pencapaian itu diraih dengan gelar sebagai kampiun konfederasi, bukan sebagai tuan rumah seperti Raja Casablanca atau Kashima Antlers.

Namun, pada keikutsertaan yang kedua di tahun 2015, TP Mazembe langsung kalah oleh tuan rumah Sanfrecce Hiroshima di perempat-final. Lebih menyedihkan lagi, mereka kalah dalam perebutan tempat kelima melawan Club America, jawara Amerika Utara.

Piala Dunia Antarklub FIFA akan dimulai Kamis (07/12/2017) dini hari (00:00 WIB) antara Al-Jazira melawan Auckland City. Al-Jazira lolos berstatus sebagai tuan rumah, kemudian Auckland City lagi-lagi mewakili OFC, Urawa Red Diamonds mewakili AFC, Gremio mewakili CONMEBOL, Wydad Casablanca mewakili CAF, Pachuca mewakili CONCACAF, dan Real Madrid mewakili UEFA.

Kiprah Pachuca, Wydad Casablanca, Auckland City, dan sang tuang rumah, Al-Jazira layak ditunggu, ataukah Real Madrid akan mencetak rekor sebagai juara back-to-back ketika penampilan Cristiano Ronaldo dkk sedang tidak terlalu menggembirakan di La Liga Spanyol.

Penulis adalah tukang kode yang sedang menikmati drama sepakbola (Indonesia).


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar