Pele yang Gagap Melawan Korupsi Dunia Sepakbola Brasil

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Pele yang Gagap Melawan Korupsi Dunia Sepakbola Brasil

Oleh: Deni Aries Kurniawan

Edson Arantes do Nascimento atau yang biasa kita sebut Pele merupakan salah satu putra terbaik dunia sepakbola. Lahir pada tanggal 23 Oktober 1940 di Tres Coracoes, kota miskin yang membentang di sebelah barat Rio de Janeiro, ia hanya membela 2 klub, yaitu Santos dan New York Cosmos.

Pele tidak terlahir dengan fisik yang membuat orang yakin akan kemampuannya dalam mengolah kulit bundar. Dengan perawakannya yang ramping (60kg di awal kariernya), tubuh Pele lebih cocok untuk menyemir sepatu atau menjual kembali tembakau dari puntung-puntung rokok, yang memang merupakan pekerjaan pertamanya, tutur Franklin Foer dalam bukunya Memahami Dunia Lewat Sepakbola, Kajian Tak Lazim tentang Sosial Politik Globalisasi.

Kisah tersebut mencerminkan bagaimana kehidupan seorang legenda sepakbola Brasil, Pele yang memang tidak memiliki latar belakang dari keluarga kaya. Ayah Pele, Joao Ramos do Nascimento atau terkenal dengan sebutan Dondinho adalah seorang ambisius yang memiliki cita-cita menjadi pemain besar dalam percaturan dunia sepakbola.

Ia beranggapan bahwa sepakbola akan menjadikannya naik dalam mobilitas sosial. Cita-cita sang ayah urung tercapai, sebab Dondinho mengalami cedera sobek ligamen pada kaki kanannya. Meskipun cita-cita Dondinho urung tercapai, harapan baru bermekaran dalam sosok sang anak, Pele.

Pele yang tak memiliki kelebihan fisik, dapat menutupi semua itu dengan kemampuannya yang menurut sang ayah begitu ajaib. Sang anak mampu melesakkan bola ke gawang dalam sudut yang tidak dapat dipahami sekalipun. Ketika pemain lainnya memiliki tujuan mencetak gol dengan menggiring bola, Pele bak punya cara lain untuk mencetak gol ke gawang lawan, yaitu dengan membelai-belai bola tersebut, bukan terlihat menggiringnya.

Hal itu begitu menakjubkan sang ayah sekaligus menawan bagi seorang bocah yang kala itu masih berumur 16 tahun. Kesempatan Pele untuk menunjukkan kemampuan dan kecerdasannya dalam mengolah si kulit bundar akhirnya tercapai tatkala teman setim sang ayah mengalami cedera.

Seorang bocah yang masih berumur 16 tahun tersebut akhirnya bergabung dengan tim terpandang yang bermarkas di pelabuhan kopi yang ramai di Brasil, yaitu Santos Football Club. Kesempatan itu juga yang membuat sang anak, yang terlahir di Kota miskin di sebelah barat Rio de Janeiro, merasakan atmosfer gelaran Piala Dunia. Pele yang pada tahun 1958 berumur 17 tahun melesakkan gol ke gawang kiper Swedia Anders Svensson dan kemudian membuat Pele merebut trofi Piala Dunia pertamanya.

Ketika Pele menjelma menjadi legenda sepakbola dan melambungkan nama Brasil, kondisi persepakbolaan Brasil tak semegah dan berbanding lurus dengan prestasi Pele dan timnas Brasil yang membawa trofi Piala Dunia pada gelaran yang ke-6 tersebut. Transparansi kondisi keuangan klub-klub sepakbola Brasil tidak terbuka untuk bisa diaudit publik, dan hal tersebut mencerminkan tatanan manajemen klub-klub yang dapat dijadikan sarang bagi tikus-tikus untuk merongrong uang dengan seenaknya.

Foer (2016: 112) menyatakan garong-garong ini begitu mengakar dalam persepakbolaan Brasil sampai setiap orang menyebutnya dengan julukan mereka, cartolas atau kaum topi tinggi. Para cartolas inilah yang menguasai klub, bahkan federasi Sepakbola Brasil (CBF) juga tunduk di bawah kuasa para cartolas ini. Mereka menggunakan sepakbola guna memperkaya diri, batu loncatan dalam ranah politik, serta tampil di depan publik sebagai orang suci.

Hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi Pele, yang ternyata harus melawan korupsi di negara sendiri.

Pele yang gagap melawan korupsi dan kapitalisme di negeri sendiri

Pele yang pada akhir tahun 70an dan awal 80an menjadi makmur dalam segi finansial setelah bergabung dengan Cosmos, tim bentukan Warner Communications dalam liga sepakbola Amerika Utara berniat untuk membuat sendiri Warner Communications versi Brasil. Pada 1993, Pele siap membeli hak tayang kejuaraan nasional Brasil dari Konfederasi Sepakbola Brasil (CBF).

Pele kemudian siap merogoh kocek guna membiayai hasrat dan rencananya tersebut. Namun salah seorang petinggi federasi meminta Pele mengirim sejuta dolar ke sebuah rekening bank Swiss agar hasrat dan rencananya tersebut dapat ditinjau oleh CBF. Pele menolak, dengan otomatis kalah dalam kontrak pembelian hak tayang tersebut.

Merasa dipermalukan dalam pembelian hak tayang kejuaraan nasional Brasil, Pele melancarkan serangan balasan. Ia membongkar kasus suap ini dalam wawancara dengan majalah Playboy. Tak tanggung-tanggung yang menjadi sasaran Pele waktu itu adalah Ricardo Texeira, selaku Presiden CBF. Ia adalah seorang pengacara yang tidak dikenal, tidak memiliki keterlibatan dalam dunia sepakbola sebelumnya ataupun administrasi olahraga, namun menduduki posisi yang sangat penting dalam sepakbola Brasil.

Alasan yang bermunculan adalah Texeira merupakan menantu dari Joao Havelange yang menjabat sebagai Presiden FIFA. Selama menjabat, Texeira memiliki mobil-mobil yang amat mewah, memiliki apartemen di Miami, dan pengawal pribadi. Saat CBF memiliki hutang yang begitu melimpah, gaji Texeira malah naik lebih dari 300 persen. Tuduhan korupsi kemudian melekat erat pada Texeira. Jaksa juga meringkusnya atas permasalahan pajak, namun mereka kalah karena keterbatasan undang-undang yang berlaku.

Kepercayaan para aktivis anti korupsi mulai muncul pada sesosok Pele. Bagi aktivis anti korupsi, Pele adalah sang juru selamat, mereka memiliki angan-angan agar Pele bicara apa adanya di hadapan kekuasaan. Kritik Pele terhadap Texeira juga pas dengan zaman. Waktu itu Amerika Latin sedang dalam transformasi untuk memberantas korupsi, menyingkirkan kapitalisme kroni ala diktator militer.

Fernando Henrique Cardoso yang seorang sosiolog adalah pion barisan terdepan dalam perubahan ini. Cardoso yang juga menulis buku teks bagi kaum kiri Brasil, Dependency and Development in Latin America ini kemudian menjadi presiden pada 1994. Ia tampil sebagai titik vital perpolitikan Brasil.

Cardoso kemudian menunjuk Pele yang sudah pensiun sebagai Menteri Luar Biasa Olahraga dan menjadikan ia sebagai menteri kulit hitam pertama kalinya di Brasil. Alasan Cardoso menunjuk Pele sebagai menteri adalah adanya semangat ideologis yang sama, tatkala ia melancarkan perang melawan kapitalisme kroni di tubuh CBF.

Pele kemudian mengajukan “UU Pele”, yang berisi serangkaian reformasi ala IMF untuk sepakbola. Klub diwajibkan beroperasi seperti badan-badan usaha kapitalis yang transparan, dengan pembukuan terbuka dan manajer yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Para pemain juga diberikan hak agar bisa meninggalkan klub setelah kontrak berakhir.

UU Pele yang dirancang guna melawan korupsi dan melaksanakan reformasi pro-kapitalis disidangkan pada kongres tahun 1998. Dengan memanfaatkan kewibawaannya UU tersebut akhirnya lolos, seperti halnya Pele yang dengan mudah mencetak gol ke gawang tim lawan semasa ia masih berdiri gagah dan berwibawa di atas rumput hijau. Ia kemudian mengundurkan diri dari pemerintahan dan kembali menjadi bintang iklan yang selalu tersenyum.

Tanpa pengawalan Pele di belakang UU Pele, lobi sepakbola para cartolas kembali menari menguasai panggung. Terobsosan Pele tersebut dapat dipatahkan dengan mudah. Dua tahun sesudah Pele mengundurkan diri, lawan-lawannya membuat undang-undang yang membatalkan reformasi yang ingin dibuat dalam UU Pele. Cartolas tidak perlu membuat pembukuan transparan atau bertanggungjawab secara hukum atas akal-akalan akuntasinya. Korupsi dalam tubuh sepakbola Brasil kembali menjamur.

Kebesaran Pele yang dulu mengkritik keras budaya korupsi dan kapitalisme kroni di tubuh CBF kemudian runtuh. Ia seakan gagap tak berdaya menghadapi kebobrokan persepakbolaan Brasil yang digdaya di kancah dunia, namun bobrok di dalam negeri sendiri. Ia tak lagi menjadi cambuk bagi cartolas. Pele seorang putra terbaik dunia sepakbola yang lahir di kota miskin Tres Coracoes tak memilliki idealisme yang cukup kuat untuk melawan budaya korupsi dan kapitalisme kroni yang begitu melekat dalam dunia sepakbola Brasil.

Ini adalah hal yang wajar, sebab tak ada kawan yang mendukungnya dari belakang untuk mempertahankan idealismenya. Pele dalam lapangan politik tak sehebat Pele yang mampu menari-nari samba sendiri di atas lapangan berumput hijau untuk mencetak gol indahnya yang menjadikan legenda sepakbola hingga melampaui masanya.

foto: @thesefootytimes

Penulis biasa berkicau di akun Twitter @deniarieskurni1


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar