Intercontinental Derby, Rivalitas Abadi Antara Fenerbahce dan Galatasaray

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Intercontinental Derby, Rivalitas Abadi Antara Fenerbahce dan Galatasaray

Istanbul merupakan kota yang sangat dihormati di dunia. Selain menjadi kota terbesar di Turki, kota ini juga dilabeli sebagai kota tua dan memiliki pemaknaan bagi masing-masing penduduk di sana yang begitu setia kepada negaranya.

Istanbul pun memamerkan keanggunan dan kelasnya di mata dunia sebagai pusat perekonomian dan kawasan paling besar dan padat di Turki. Istanbul juga satu-satunya kota yang memiliki lintas benua di dunia ini karena memiliki area terpisah karena adanya selat Bosporus di antara Laut Marmara dan Laut Hitam.

Nilai lebih dari Istanbul yaitu memiliki aktivitas sepakbola yang terkenal di dunia. Dahulu, seluruh kesebelasan sepakbola Istanbul diwadahi dengan nama Turkkulubu dan terpecah karena perang Balkan pada 1913. Galk Kulaksizoglu yang merupakan Presiden Fenerbahce dan Ali Sami Yen selaku Presiden Galatasaray pun mengundurkan diri sehingga gagasan Turkkulubu pun dihapus.

Sampai saat ini, ada empat kesebelasan sepakbola di kota tersebut, yaitu Besiktas, Fenerbahce, Galatasaray dan Istanbul Basaksehir. Tapi jika berbicara sejarah panjang, sepakbola Istanbul memiliki tiga kesebelasan besar dan memiliki persaingan sengit, yaitu antara Besiktas, Fenerbahce dan Galatasaray.

Kemudian muncul Istanbul Basaksehir yang didirikan sejak 2014 lalu. Kesebelasan itu pun menjadi wajah baru di Istanbul dalam tiga tahun ke belakang. Saat ini mereka berada di peringkat empat klasemen sementara Liga Super Turki 2017/2018. Posisi mereka kini berada di atas dua saudara tuanya, yaitu Fenerbahce di peringkat lima dan Besiktas di posisi enam.

Basaksehir sendiri akan bertamu ke kandang Besiktas di Vodafone Arena, Selasa (24/10) dini hari waktu Indonesia. Tapi sebetulnya, pertandingan yang sangat dinanti dan diperkirakan lebih menarik adalah pertemuan antara tuan rumah Galatasaray menghadapi Fenerbahce di Turk Telekom Arena, Minggu (22/10) malam.

Persaingan Besiktas dengan Basaksehir memang baru seumur jagung. Berbeda jika dibandingkan antara Galatasaray dengan Fenerbahce yang persaingannya lebih bersejarah. Pertandingan antara dua kesebelasan itu selalu menjadi derby yang berapi-api di setiap tahunnya.

Pertemuan antara Fenerbahce dan Galatasaray memiliki nama "Kitararalasi Derby" atau "Intercontinental Derby". Derby ini juga kerap disebut "Eternal Derby". Permusuhan dan agresivitas merupakan kata atau kalimat yang muncul di dalam pikiran ketika dikaitkan dengan derby ini. Keduanya saling membenci satu sama lain dengan cara terburuk dan diaplikasikan ke setiap unsur, termasuk di lapangan sepakbola.

Apalagi aroma persaingan perebutan gelar semakin memperkuat persaingan mereka karena Fenerbahce dan Galatasaray merupakan kesebelasan sukses di Liga Super Turki. Galatasaray lebih memimpin karena sudah 20 kali juara dan Fenerbahce cuma kalah satu gelar dari rival abadinya tersebut.

Begitu pun dengan Piala Turki karena Galatasaray sudah mengkoleksi 17 gelar dan Fenerbahce hampir menyamainya dengan 16 kali juara. Pertandingan pertama mereka terjadi dalam ajang persahabatan pada 17 Januari 1909 dan dimenangkan Galatasaray dengan skor 2-0.

Sementara persaingan panas mulai terjadi pada pertandingan 23 Februari 1934. Kala itu, pertandingan dihentikan sementara karena di dalam dan luar lapangan Stadion Taksim menjadi arena perkelahian antara kedua pemain dan pendukungnya. Sejak itulah hubungan baik Fenerbahce berakhir sekaligus menjadi insiden yang mengubah sepakbola Turki selamanya.

Graeme Souness pun pernah merasakan panasnya Intercontinental Derby sekaligus menjadi orang yang paling dibenci Fenerbahce. "Saat aku melakukannya dan berada di sana, akun benar-benar sadar bahwa para suporter (Fenerbahce) berusaha untuk masuk lapangan dengan cepat," celoteh Souness seperti dikutip dari Last World on Football

Memang pertemuan keduanya selalu menjadi animo besar di Turki. Laga ini membuat rekor jumlah penonton terbanyak di Liga Super Turki ketika dihadiri 71.334 penonton pada 21 September 2003. Maka bukan tanpa alasan karena Fenerbahce maupun Galatasaray merupakan kesebelasan paling populer di Turki.

Bahkan derby ini lebih populer daripada Besiktas yang merupakan saudara paling tua di Istanbul. Besarnya Fenerbahce dan Galatasaray pun seiring dengan catatan hooliganisme antara masing-masing pendukungnya. Persaingan antara pendukung kedua kesebelasan tersebut tidak hanya terjadi di sepakbola, tapi juga di bidang atletik, basket dan voli.

Penyebab rivalitas ini karena Galatasaray merupakan representasi dari kaum kelas atas di Istanbul, berbeda dengan Fenerbahce yang dikenal dengan klub masyarakat karena representasi dari kelas pekerja. Kesebelasan Galatasaray lahir dari Galatasaray High School yang didirikan pada 1481 dan menjadi sekolah tertua di Turki.

Warna merah dan emas identik dengan Galatasaray yang didirikan oleh Gul Baba, seorang penyair terkenal di Istanbul kala itu. Kemudian Ali Sami Yen yang memiliki pengalaman di Turkkulubu, ditunjuk menjadi presiden Galatasaray setelah terciptanya departemen olahraga pada 1907.

Apalagi Galatasaray pada waktu itu memiliki afiliasi dengan Inggris di sektor olahraga. Galatasary pun sukses pada bidang olahraga di Instanbul. Buktinya, mereka sering memenangkan liga domestik di Istanbul pada masa lampau tersebut. Di tahun yang sama dengan berdirinya Galatasaray, klub olahraga Fenerbahce pun dibentuk oleh Necip Okaner dan Ziya Songulen. Mereka berdua bertekad untuk membuat klub olahraga yang lebih merakyat dengan adanya Fenerbahce. Apalagi saat itu sedang terjadi perselisihan dengan hukum rezim Ottoman.

Fenerbahce sendiri merupakan gabungan dari dua daerah di Istanbul, yaitu Fener kawasan mercusuar laut dan Bahce kawasan perkebunan. Hal yang membuat Fenerbahce lebih cepat diakui adalah karena memiliki ikon bernama Mustafa Kemal Ataturk. Ia adalah pahlawan di mata masyarakat Turki karena kepemimpinannya dalam gerakan nasional dan perjuangannya untuk kemerdekaan negara tersebut. Lagipula memang revolusi yang bisa mempersatukan Turki walau berbeda-beda dukungan di dalam sepakbola.

Tapi ketika Intercontinental derby, pertarungan melibatkan segalanya. Mulai dari rasisme, vandalisme, pertarungan di lapangan dan hooliganisme. Seperti pada tahun 2013, ada penusukan kepada pendukung Fenerbahce serta nyanyian rasis yang ditujukan kepada pemain asal Afrika. Itu adalah sisi gelap yang terdapat di daftar panjang dari persaingan sepakbola di Turki dan membuat derby ini selalu menarik di setiap pertemuannya.

Sumber lain: Behance, Copa 90.

Komentar