Keterikatan Politik dan Sepakbola Pasca Kolonialisme

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Keterikatan Politik dan Sepakbola Pasca Kolonialisme

Oleh: Rizal Syaiful Fauzani

Sepakbola saat ini bukan lagi sekadar olahraga permainan atau prestasi, tetapi sudah merujuk menjadi sebuah industri. Kepopuleran sepakbola yang sudah mengakar di seluruh masyarakat dunia mempunyai implikasi jelas dalam konteks sosio-historisnya, dan implikasi politik di dalamnya. Sepakbola telah menjadi sebuah identitas dalam masyarakat.

Dengan kata lain, kini sepakbola menjadi pembeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Pada tataran dunia internasional, sepakbola mampu menjadi simbol harkat dan martabat sebuah, terlebih lagi jika dikaitkan dengan pemahaman poskolonialisme. Chid dan Williams beranggapan bahwa poskolonialisme terjadi ketika adanya dialog dan pembahasan terkait permasalahan rasial dan kebudayaan yang berbeda-beda, meski dalam praktiknya bisa postif atau negatif.

Prestasi negara-negara poskolonialisme yang diwakili oleh negara-negara di benua Asia dan Afrika dalam ajang olahraga sepakbola dalam kancah internasional bisa dikatakan berbanding lurus dengan nasib mereka setelah terjajah. Banyak negara-negara di Asia dan Afrika tak mampu bersaing dengan negara Eropa dalam pertandingan sepakbola.

Hal itu justru berbeda dengan negara-negara di Amerika Selatan yang juga dianggap sebagai negara poskolonialisme, tetapi mereka mampu bersaing dan mengimbangi prestasi negara-negara di Eropa. Perhatian lain adalah ketika negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan melihat apa yang yang terjadi di persepakbolaan Eropa, mereka masih jauh tertinggal dari segi infastruktur, teknologi, dan sebagainya.

Sepakbola dianggap mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa, rasanya sepakbola telah menjadi alat peningkatan kehidupan bangsa. Nasionalisme pun dianggap hanya nasionalisme semu 90 menit di lapangan hijau, akan tetapi inilah yang dimanfaatkan politisi di tingkat nasional maupun daerah di mana sepakbola bukan lagi menjadi sekedar olahraga, tetapi terdapat unsur politik yang tersirat di dalamnya.

Politisi masuk di dalamnya dengan mencoba merangkul sepakbola dan kelompok pendukung sepakbola untuk mendukung tim yang sama. Ketika para pendukung sepakbola telah percaya kepada mereka, lalu di situlah para politisi mengharapkan dukungan yang sama pula.

Di Afrika Selatan, sepakbola merupakan sebuah bentuk Afrikanisasi. Sepakbola digunakan untuk menyatakan simbol Afrika Selatan yang telah bebas dari penjajahan bangsa Inggris. Permasalahan itu terjadi karena pada masa penjajahan Inggris di negara mereka, Inggris lebih sering mengembangkan olahraga kriket dan rugby yang sangat melambangkan kedigdayaan kulit putih, sementara masyarakat Afrika Selatan yang sebagian besar berkulit hitam lebih senang ketika bermain sepakbola.

Keterikatan sepakbola dan masyarakat Afrika Selatan karena sepakbola menjadi sebuah alat perjuangan dan pembentukan identitas perjuangan melawan penjajahan Inggris. Begitu kuatnya keterikatan ini, sehingga para politisi dan tokoh negara di Afrika Selatan menggunakannya sebagai simbol kebebasan dan kemajuan Afrika Selatan, termasuk ketika kampanye anti-rasisme pada tahun 1960an, di mana sepakbola menjadi salah satu wadahnya.

Sepakbola, cara masyarakat Afrika menyuarakan keinginan mereka untuk bebas

Bergeser ke Timur Tengah yaitu sepakbola Iran. Walaupun olahraga khas Iran yang sebenarnya adalah gulat, tetapi sepakbola mulai berkembang pada tahun 1900-an, diperkenalkan oleh Inggris yang menjajah Iran ketika itu. Intervensi politik di Iran terhadap sepakbola dimulai ketika Iran berada di bawah kepemimpinan Muhammad Reza Shah. Kala itu, pada 1941 Ayatollah Kashani, tokoh Islam di Iran merasa keberatan dengan kebijakan merubuhkan masjid dan menggantinya dengan lapangan sepakbola.

Seiring berjalannya waktu, ketika rezim Republik Islam Iran berkuasa sejak 1978, sepakbola di Iran juga merasakan dampaknya, seperti dilarang bertanding dengan negara Israel, dan pelarangan perempuan datang ke stadion untuk menyaksikan pertandingan sepakbola. Meski akhirnya pada 9 Oktober 1984 terjadi kerusuhan besar dalam sejarah pertandingan sepakbola di Iran, salah satunya akibat protes dari pendukung sepakbola kaum perempuan, rezim Republik Islam Iran menyadari bahwa tidak bisa menentang sepakbola terlalu keras, karena hal itu merupakan kebijakan yang sangat tidak populer.

Walau sekarang sentralitas sepakbola berada di benua Eropa dan sepakbola menjadi sebuah industri besar dalam olahraga, nyatanya sepakbola Eropa juga tidak terlepas dari pengaruh politik yang ada di dalamnya. Adanya pemerintahan yang juga menjadi pemilik klub sepakbola di Italia, yaitu mantan perdana menteri Silvio Berlusconi yang memiliki klub di kota Milan, yakni AC Milan.

Bergeser ke negara Eropa lainnya, di Inggris, masalah kerusuhan pendukung klub sepakbola sudah menjadi topik permasalahan bagi siapa saja yang menjadi perdana menteri di negara mereka. Permasalahan ini dikenal dengan istilah hooliganisme, keadaan ketika kecintaan seseorang pada tim sepakbola kesayangannya akan lebih bermakna ketika kerusuhan yang menimbulkan pertumpahan darah terjadi.

Kemudian di negara Brasil, sepakbola seperti agama dalam kehidupan. Melihat permasalahan sepakbola dan politik yang sangat berlawanan maka harus melihat apa yang terjadi di Brasil. Menjalankan politik secara prosedural lewat pemilihan umum, di sanalah sepakbola dijadikan sebagai komoditas yang harus diperebutkan untuk menuju salah satu jalan ke kursi kekuasaan Brasil.

Salah satu contohnya yakni pada 1982 ketika tim yang berasal dari Sao Paulo, Corinthians sedang mengadakan pemilihan presiden tim sepakbola tersebut. Ada dua kandidat yang bertarung memperebutkan posisi ini yaitu kubu Order and Truth dengan Kubu Corinthian Democracy. Kelompok Order and Truth adalah kelompok pengusaha dan politisi yang berasal dari luar kubu tim ini. Mereka juga sangat konservatif, yaitu merujuk pada sistem lama Brasil yang berdasar pada oligarki kekuasaan ketika itu.

Socrates, pesepakbola yang melek politik

Kubu lainnya, Corinthian Democracy adalah kubu yang berkaitan dengan liberalisasi yang sedang terjadi di Brasil saat itu, dan yang menarik dari kubu ini adalah kubu ini dipimpin oleh pemain Corinthians yang bernama Socrates. Singkat cerita akhirnya Corinthian Democracy berhasil memenangkan pemilihan presiden klub, dengan mengusung seorang sosiolog menjadi presidennya.

Hal ini tak lepas dari kerja keras Socrates menggalang dukungan dan janji yang mengatakan bahwa dia akan berhenti sebagai pemain sepakbola jika Order and Truth yang menang dalam pemilihan presiden klub, karena menurutnya kelompok lawan hanya menggunakan Corinthians sebagai alat dan batu loncatan untuk karier politik mereka.

Sepakbola dan politik merupakan suatu hal yang bersinggungan, walau dalam kenyataanya keduanya merupakan hal yang sulit untuk dipisahkan. Jika saat ini banyak pelaku sepakbola baik pemain, manajer hingga para pendukung sekalipun yang menyatakan sikap politiknya, hal tersebut merupakan suatu kewajaran yang tidak dapat diperdebatkan. Karena politik bisa muncul di mana saja layaknya sebuah tikus yang berlarian kemanapun dia mau.

Penulis adalah mahasiswa keguruan yang mencoba dunia kepenulisan. Biasa berkicau di @rizalsfauzani


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar