Berkenalan dengan NDRC, Calon Lembaga Arbitrase PSSI

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Berkenalan dengan NDRC, Calon Lembaga Arbitrase PSSI

Oleh: Rahmat Sulistiyo

Banyaknya sengketa yang terjadi di dunia sepakbola Indonesia rupanya memiliki “hikmah” tersembunyi bagi Indonesia. Itu terwujud dengan dipercayanya Indonesia menjadi project percontohan FIFA bernama NDRC.

PSSI sebagai wadah tunggal yang menaungi hajat hidup sepakbola di Indonesia, pada akhir November 2017 berencana akan mewujudkan suatu project FIFA, yakni dengan membentuk suatu badan penyelesaian sengketa dengan nama National Dispute Resolution Chamber (NDRC) atau Ruang Nasional Penyelesaian Sengketa yang akan menjadi project percontohan FIFA. Selain PSSI, FIFA juga menunjuk persatuan sepakbola Malaysia dan Kostarika guna membentuk lembaga NDRC.

Bahwa NDRC adalah semacam lembaga arbitrase (internal) yang dimiliki oleh PSSI dengan tujuan pokok untuk menyelesaikan sengketa sebagai berikut:

  • Kontrak pemain;
  • Kompensasi pelatih atau kompensasi yang diberikan klub ketika mengikat kontrak pemain secara profesional, di mana pesepakbola dilatih pada saat usia muda alias masih berstatus amatir, dan;
  • Solidaritas klub yaitu mekanisme penghargaan transfer antarklub.

Nantinya komposisi NDRC terdiri atas berbagai pihak yang bersinggungan dengan dunia sepakbola, seperti dari unsur perwakilan pemain, unsur perwakilan klub serta perwakilan PSSI sendiri. Informasi mengenai NDRC sendiri masih terbatas, sehingga penulis akan mencoba mengurai arbitrase lebih secara umum.

Lembaga arbitrase lazim dipilih sebagai pilihan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Kalau berbicara mengenai arbitrase, sesungguhnya Indonesia telah mengatur dalam hukum positif, yakni dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Pasal 1 ayat (1) undang undang nomor 30 tahun 1999, mendefinisikan arbitrase sebagai berikut:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersangkutan”.

Kemudian menurut Blacklaw Dictionary, arbitrase adalah “The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgment of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”. Dari definisi di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa arbitrase adalah:

  • Arbirtase adalah salah satu bentuk perjanjian;
  • Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
  • Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan umum.

Arbitrase mengenal adanya 2 (dua) bentuk klausula, salah satunya adalah klausula Pactum de compromittendo. Berdasarkan klausula ini, para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata.

Cara yang paling lazim dalam klausula Pactum de compromittendo adalah dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan ke dalam perjanjian pokok. Sehingga dengan berlakunya NDRC, otomatis tiap pemain akan melakukan addendum kontrak dengan klub terutama dalam klausul pemilihan penyelesaian sengketa, yakni dengan menggunakan mekanisme arbitrase NDRC. Memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian apabila terjadi sengketa memiliki berbagai keuntungan, seperti:

  • Pelaksanaan sidang arbitrase dilakukan secara tertutup;
  • Proses sidang dilakukan secara cepat, dan;
  • Persidangan dipimpin oleh ahli yang berkompeten dan memiliki integritas di bidangnya.

Namun seperti banyak contoh carut-marut dunia peradilan Indonesia yang memiliki banyak “drama”, patut ditunggu kiprah nyata NDRC di Indonesia karena bila kita menarik waktu sejenak ke belakang pada 2012, PSSI dengan KPSI pernah berseteru mengenai pemilihan lembaga arbitrase antara memilih Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) atau Badan Arbitrase Olahraga Republik Indonesia (BAORI).

Ketika itu PSSI cenderung memilih untuk menyelesaikan permasalahan dengan KPSI melalui mekanisme lembaga arbitrase BAKI karena saat ini BAKI adalah lembaga arbitrase yang berafiliasi langsung ke Court OF Arbitration for Sport (CAS), sebuah lembaga arbitrase internasional yang dibentuk oleh Komite Olimpiade Internasional atau dunia olahraga lebih mengenal CAS dengan istilah Supreme Court of World Sport, dengan kata lain BAKI adalah counterpart CAS di Indonesia.

Hingga 2012, BAKI telah memiliki 2 (dua) perwakilan yang ditunjuk dan diakui oleh CAS untuk menjadi arbiter di CAS yaitu Dr. Rusiana Anggoro dan Dr. Itwan Gani. Bahwa Keberadaan BAKI di Indonesia tidak berjalan sendiri ternyata BAORI juga memiliki kewenangan sebagai arbitase di Indonesia yang sama dengan BAKI namun apabila dilihat dari “mekanisme” pertanggungjawabannya, BAKI berafiliasi ke CAS sedangkan BAORI ke Komite Nasional Olahraga Indonesia (KONI).

Memang sedikit aneh keberadaan BAORI di Indonesia, salah satunya misalkan ternyata ada pihak yang kurang puas dengan hasil keputusan BAORI maka untuk mengajukan tingkat berikutnya akan mengalami kesulitan dalam menentukan lembaga bandingnya, berbeda dengan BAKI yang mengakomodir pihak banding untuk dapat ditujukan ke CAS.

Pemain bola internasional seperti Ronaldo dan klub Real Madrid dapat kita jadikan contoh dengan kasus kartu kuning yang terjadi pada laga melawan Barcelona dalam ajang Piala Super Spanyol. Ketika itu Ronaldo dianggap melakukan diving oleh wasit sehingga mendapatkan kartu kuning. Tidak terima dengan keputusan kartu kuning wasit, Ronaldo melakukan protes kepada Komite Disiplin dan berbuah larangan lima kali tampil.

Kembali tidak terima dengan hasil tersebut, Real Madrid melakukan banding kepada CAS dengan hasil pihak CAS menolak banding tersebut. Contoh ini menggambarkan bagaimana semestinya penyelesaian sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui mekanisme lembaga arbitrase.

Seandainya PSSI jadi meresmikan NDRC sebagai lembaga arbitrase internal, hal pertama yang PSSI harus lakukan adalah komunikasi intensif dengan BAKI dan CAS karena dikhawatirkan NDRC akan berbenturan dengan BAKI sebagai afiliasi CAS di Indonesia sedangkan NDRC suka tidak suka tetap harus mengacu kepada statuta FIFA yang mengakui CAS sebagai ranah penyelesaian arbitase olahraga internasional, sebagaimana tertuang dalam salah satu pasal statuta FIFA sebagai berikut:

FIFA recognize the independent Court of Arbitration for Sports (CAS) with headquarter in Lausanne (Switzerland) to resolve disputes between FIFA, Members, Confederations, Leagues, Clubs, Players, Officials and Licensed match agents and players agents”.

Pembentukan NDRC sendiri jangan sampai mengalami dualisme lembaga arbitase separti yang terjadi dalam Badan Arbitase Nasional Indonesia (BANI) yang tengah terpecah sehingga menyulitkan dan membingungkan dunia bisnis untuk menyelesaikan sengketa perjanjian bisnisnya. Bagaimana pun langkah PSSI membentuk NDRC patut diapresiasi karena membawa angin segar perubahan sesuai dengan tujuan pendirian NDRC sebagai lembaga arbitrase yang seharusnya memberikan solusi sengketa secara konkret bukan menambah kusut sengketa.

Penulis adalah seorang pekerja di sebuah lawfirm. Biasa berkicau di @uliJG


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar