Potensi Rasisme Teknologi dan Masa Depan Kompetisi

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Potensi Rasisme Teknologi dan Masa Depan Kompetisi

Oleh: Jonathan Manullang

Setelah membaca tulisan Mas Fikri seputar penggunaan Video Assistant Referee dalam turnamen resmi FIFA, saya menemukan satu artikel menarik tentang perkembangan teknologi terkini (khususnya ranah kecerdasan artifisial) dari sebuah jurnal ilmiah. Artikel itu menyatakan bahwa program kecerdasan artifisial berbasis bahasa memiliki kemampuan mendiskriminasi dialek minoritas tertentu.

Penetrasi teknologi dalam kehidupan global manusia dewasa ini sudah menjadi sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, tak butuh waktu lama bagi kompetisi resmi sepakbola di berbagai belahan dunia mengadopsi pendekatan serupa. Namun yang namanya teknologi atau mesin, apapun wujud dan fungsinya, tetaplah sebentuk entitas tak sempurna ibarat tuannya. Salah satu ihwal ketidaksempurnaan tersebut justru berpotensi menghasilkan tindakan rasis.

Secara spesifik, konstruksi program kecerdasan artifisial berbasis bahasa maupun sistem pengenal suara tersusun dari beberapa algoritma dasar. Agar berfungsi sebagaimana mestinya, algoritma-algoritma ini wajib dibekali dengan sampel data yang cukup. Kuantitas (serta kualitas) sampel data tersebut biasanya bervariasi, tergantung dari seberapa luas cakupan tanggung jawab sang program atau seberapa besar objek analisisnya.

Nah, di titik ini, sampel data minoritas (disebut demikian karena ketersediaan sampel sudah langka atau akses atas sampel luar biasa susah) seringkali dilewati. Akibatnya, ketika mesin program berhadapan dengan objek berlatar belakang minoritas tertentu, ia akan kesulitan memahami objek tersebut.

Sekarang coba kita bayangkan apa jadinya bila program kecerdasan artifisial berbasis bahasa ini diterapkan dalam sistem pembelian tiket pertandingan atau prosedur keamanan standar nir-manusia sebelum memasuki stadion. Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh imigran asal Afrika/Timur Tengah, calon penonton yang tinggal di negara bagian Schleswig-Holstein dan menggunakan dialek berbeda saja bisa langsung diusir dari Olympiastadion Berlin, padahal penonton dari ibukota dan mereka sama-sama warga negara Jerman.

Kasus serupa mungkin pula terjadi pada orang Skotlandia yang hendak menonton laga Liverpool di Anfield, pendukung Barcelona (berbahasa Catalan) yang bertandang ke Santiago Bernabeu, atau dalam konteks Indonesia: keturunan Suku Asmat asal Manokwari yang menyambangi Gelora Bung Karno.

Orang Afrika, orang yang berpotensi besar terkena rasisme teknologi

Lebih lanjut, jika program kecerdasan artifisial berbasis bahasa dimanfaatkan guna membantu tugas wasit di lapangan sebagaimana peran VAR, implikasi buruk yang timbul berpeluang mengganggu konsentrasi para pemain serta rasa keadilan laga secara utuh. Misalnya seorang pemain memaki wasit dengan dialek minoritas tertentu, ia mungkin dapat lepas dari jerat hukuman dibandingkan seorang pemain yang menghina pengadil menggunakan kosa kata umum.

Mengapa demikian? Sebab selain sang wasit besar kemungkinan tidak paham bahwa kalimat yang diucapkan sang pemain menyerang integritas profesional bahkan sampai ranah pribadinya, mesin program yang bertanggung jawab memberikan analisa pendukung pun gagal menyimpulkan makna kalimat tersebut.

Di sisi lain, ruang gerak kelompok suporter yang terbiasa berlaku rasis kepada pemain tertentu memang akan jauh berkurang. Namun belum tentu demikian pada tataran individu. Oknum suporter yang berteriak ke arah lapangan bisa saja ditangkap dengan alasan “pemakaian dialek bernuansa provokatif”, padahal si oknum mungkin sekadar menyemangati pemain yang membela klub kesayangannya.

Tingkat probabilitas pemanfaatan program kecerdasan artifisial berbasis bahasa yang salah kaprah di lingkungan sepakbola sebetulnya cukup tinggi. Mesin program yang terintegrasi dengan sistem tentu dapat memengaruhi outcome tradisi konferensi pers sebelum dan sesudah laga, komunikasi taktik dari pinggir lapangan, agenda rutin pemeriksaan medis di komplek latihan klub, sesi konsultasi psikologis, bahkan hingga preseden negatif semacam kasus pelecehan verbal oleh Jose Mourinho kepada Eva Carneiro.

Lantas jika penetrasi teknologi tak dapat dihindari, adakah solusi bagi potensi problematika rasisme ini?

Kalangan akademisi dan peneliti dari MIT serta Stanford University termasuk di antara orang-orang yang pertama sekali menyoroti kelemahan utama dari struktur program kecerdasan artifisial berbasis bahasa sebagaimana dimaksud. Mereka kemudian menyerukan agar para programmer wajib mendefinisikan perilaku program rancangannya.

Alasan mengapa program itu berperilaku demikian, lalu menentukan apakah perilaku tersebut sudah mendekati level kesesuaian dengan apa yang diinginkan sang kreator. Bila fakta pengujian menunjukkan bias performa cenderung ke sisi negatif, mesin program tentu dapat dikalibrasi ulang kapan saja.

Rangkaian uji coba di atas bisa jadi masih memakan waktu cukup lama. Estimasi terdekat mengenai kesiapan mesin program tersebut adalah sekitar 7-10 tahun mendatang. Oleh karena itu, ada baiknya otoritas sepakbola dunia semacam FIFA serta institusi level regional seperti UEFA dan AFC menahan diri sejenak.

Pengaplikasian teknologi garis gawang (goal line technology) yang pertama kali diperkenalkan pada perhelatan Piala Dunia 2014 di Brasil memang menghadirkan aura optimisme terkait preseden kontroversi dalam sebuah laga kompetisi resmi, namun proses distribusinya hingga siap diadopsi oleh semua kompetisi resmi di seluruh dunia tentu masih cukup panjang.

Euforia yang menyertai goal line technology sebagai salah satu produk sukses integrasi teknologi ke dalam lingkungan sepakbola hendaknya tidak menutup mata para petinggi sekalian. Kehati-hatian dalam mempertimbangkan fungsi kecerdasan artifisial sesungguhnya berlaku untuk segala jenisnya yang telah eksis, bukan hanya buat mesin program berbasis bahasa.

Harap diingat pula bahwa ada pihak-pihak yang belum sepakat dengan pemanfaatan teknologi sedemikian rupa seperti Michel Platini, sebab bagi mereka intervensi teknologi yang terlalu besar justru mengaburkan esensi kemanusiaan dari sebuah pertandingan. Argumen itu cukup masuk akal sebab peran wasit dan para pembantunya bakal tereduksi drastis hingga berubah menjadi semacam budak kaku yang tugasnya sekadar mengomunikasikan hasil mutlak (walaupun mungkin faktual) berdasarkan kalkulasi kompleks suatu program kecerdasan artifisial tertentu.

Saya pribadi, sebagai seorang pecandu sepakbola, senang melihat kehadiran teknologi berkolaborasi dengan pertunjukan ciamik para maestro lapangan hijau. Saya merasakan pula beberapa manfaat positif teknologi secara konkret tatkala mempengaruhi keputusan yang diambil pengadil pada sebuah laga (apalagi yang bertensi panas). Namun pertanyaan yang lebih tepat untuk diajukan saat ini adalah apakah nilai positif tersebut sudah sebanding dengan probabilitas konsekuensi negatifnya?

Mengingat hakikat teknologi yang nihil perasaan maupun nurani manusia, tentu tidak lucu kan kalau suatu hari nanti kita mendapati aksi rasisme/diskriminasi di tengah lapangan malah keluar dari ‘mulut’ robot/sensor/kamera alih-alih keputusan sadar seorang oknum? Food for thought.

Penulis adalah pengidola Tony Stark dan Jose Mourinho, juga penggila Football Manager. Biasa berkicau via akun @nathanvers


Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis

Komentar