Industrialisasi Sepakbola Asia

Cerita

by Redaksi 24

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Industrialisasi Sepakbola Asia

Benua Asia menjadi salah satu pangsa pasar terbesar sepakbola dunia. Minat masyarakat Asia sangat luar biasa terhadap dunia si kulit bundar. Banyak penggemar kesebelasan top dunia berasal dari Asia, satu hal yang kemudian membuat Asia hampir selalu menjadi destinasi pra-musim mereka. Hasilnya pun hampir tak pernah mengecewakan, karena ketika mereka menggelar pertandingan uji coba di kawasan Asia, stadion bisa penuh sesak.

Selain itu secara kasat mata, Asia juga menjadi salah satu benua yang pertumbuhan ekonominya tengah berkembang pesat. Hal tersebut membuat banyak perusahaan yang berbasis di Asia mampu menyokong keberlangsungan hidup kesebelasan top dunia.

Emirates (Uni Emirat Arab) misalnya yang menjadi sponsor utama Real Madrid, Paris Saint-Germain, Arsenal, dan AC Milan. Kemudian Etihad Airways (juga dari UEA) yang menjadi sponsor utama Manchester City. Rata-rata kesebelasan yang disponsori dua maskapai terkenal itu tak pernah dililit masalah keuangan.

Selain dua perusahaan besar tersebut, masih ada perusahaan asal Asia yang menjadi sponsor utama kesebelasan di Liga Primer Inggris musim 2017/2018 seperti Dafabet (Filipina) untuk Burnley, Yokohama Rubber Company (Jepang) untuk Chelsea, King Power (Thailand) untuk Leicester City, dan AIA Group (Hong Kong) untuk Tottenham Hotspur.

Sementara beberapa perusahaan lain bisa dilihat pada seragam Barcelona (Rakuten dari Jepang), Olympique Lyonnais (Hyundai dari Korea Selatan), dan Torino (Suzuki dari Jepang). Jika kita melihat yang bukan sponsor utama, contohnya akan semakin banyak lagi, seperti misalnya Alibaba Group (Tiongkok) atau sampai Garuda Indonesia.

Namun, industri sepakbola di kawasan Asia belum sepenuhnya berkembang seperti halnya di di Eropa. Ada banyak hal yang sebenarnya menjadi faktor terjadinya kesenjangan tersebut, salah satunya belum meratanya perkembangan ekonomi negara-negara Asia dan persaingan dengan cabang olahraga lainnya.

Tapi belakangan, hal tersebut mulai diredam. Negara-negara Asia tampak mulai jengah dengan kesenjangan dengan negara barat. Oleh sebab itu, beberapa negara mulai menunjukkan geliat untuk memajukan industri sepakbola mereka.

Revolusi Tiongkok

Revolusi sepakbola di kawasan Asia terlihat kentara di zona timur dengan Tiongkok sebagai pemimpinnya. Perkembangan sepakbola di Tiongkok melesat, merujuk pada data yang dihimpun KPMG’s Football Benchmark, secara pendapatan pada tahun 2016 mereka bisa meraup sekitar 213 juta euro dari hak siar. Selain itu, kompetisi level tertinggi Tiongkok itu pun bisa meningkatkan okupansi penonton di stadion. Pada 2016, rata-rata penonton yang hadir stadion mencapai 24 ribu.

Hal ini membuat kesebelasan memiliki keuntungan lain dari pemasukan tiket. Melihat meningkatnya animo penonton di pertandingan Liga Super Tiongkok, hal tersebut tak terlepas dari keberhasilan mereka dalam melakukan investasi terhadap pemain asing.

Bukan lagi rahasia umum kalau pergerakan transfer kesebelasan Tiongkok terbilang paling menyita perhatian. Mereka berani mengucurkan dana yang tak sedikit untuk mendatangkan pemain-pemain kelas dunia. Hal tersebut ternyata terbukti berhasil menarik minat investor untuk menyokong pendanaan mereka. Selain itu, animo suporter juga semakin meningkat bukan hanya dari stadion, tapi juga dari layar kaca.

Investasi terhadap pemain asing juga sebenarnya tidak hanya berdampak pada pengembangan sisi ekonomi semata. Kehadiran pemain-pemain seperti Oscar atau Ezequiel Lavezzi yang memiliki pengalaman bermain di kompetisi elite Eropa berpotensi untuk meningkatkan kemampuan pemain lokal baik itu dalam hal permainan, pemahaman taktik, dan profesionalisme di lapangan melalui metode transfer ilmu.

Selain itu, kesebelasan Liga Super Tiongkok pun kini banyak ditangani oleh pelatih-pelatih kelas dunia seperti Fabio Capello, Luiz Felipe Scolari, Roger Schmidt, Felix Magath, Manuel Pellegrini, dan André Villas-Boas. Hal ini kemudian berpotensi untuk memuluskan transfer ilmu kepada para pemain lokal Tiongkok melalui metode latihan atau penerapan taktik yang coba mereka berikan.

Australia dan India dengan model kompetisi tertutup

Satu permasalahan lain yang membuat perputaran uang di sepakbola negara-negara Asia mandek adalah persaingan dengan olahraga lainnya. Sepakbola memang didaulat sebagai olahraga populer di dunia, namun itu tidak berlaku di semua negara. Australia misalnya, sepakbola harus bersaing untuk merebut popularitas dengan rugbi.

Namun, Negeri Kangguru itu memiliki potensi sepakbola yang bagus. Hal tersebut tak lepas dari sistem kompetisi yang mereka jalani. A-League di Australia menggunakan model kompetisi tertutup, artinya tidak ada promosi dan degradasi di sana. Jadi, hanya kesebelasan yang mampu secara finansial yang boleh tergabung di dalamnya. Sistem tersebut mengadopsi model kompetisi yang diterapkan MLS Amerika Serikat.

A-League, sebagai kompetisi utama di Australia, sudah 12 musim menggunakan model kompetisi tertutup. Hasilnya terbukti efektif dalam meningkatkan pemasukan mereka. pada tahun 2016, A-League mencatatkan pendapatan sebesar 28 juta euro dari pemasukan tiket, hak siar, dan lain-lain. Namun, model tersebut akan berakhir pada tahun depan.

Melihat kesuksesan Australia, India yang masyarakatnya lebih mengagumi kriket itu juga mengadopsi model kompetisi tertutup. Namun, pekerjaan rumah bagi operator Liga Super India adalah memaksimalkan media sebagai corong untuk menarik minat investor juga animo masyarakat agar mau datang ke stadion. Biar bagaimanapun, penonton memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan industri sepakbola di sebuah negara.

Geliat Thailand di Asia Tenggara

Upaya pengembangan sepakbola juga terjadi di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, Thailand paling layak dijadikan acuan. Mereka mampu mengelola kompetisinya menjadi liga profesional. Ada sedikit keterpaksaan awalnya, karena federasi sepakbola Thailand “memaksa” semua kesebelasan di kompetisi Liga Primer Thailand untuk menjadi profesional.

Cara tersebut terbukti manjur, karena klub Thailand mulai mengembangkan model kontrak jangka panjang. Hal ini memungkinkan mereka mendapat keuntungan dari penjualan pemain. Selain itu, keuntungan dari hak siar juga memengaruhi pendapatan mereka.

Profesionalisme yang dipraktikkan Thailand kemudian membuat investor pun mau menyuntikkan dana kepada mereka. Selain itu, jumlah penonton yang semakin bertambah pada setiap tahunnya membuat keuntungan yang didapat dari klub-klub Thailand bertambah dari penjualan tiket.

Kemudian fokus pada pembinaan pemain muda juga digalangkan Thailand. Hal yang selanjutnya membuat mereka memiliki talenta-talenta lokal berkualitas. Memang, mereka belum bisa bersaing ketat dengan negara-negara seperti Jepang.

Tapi setidaknya, agresi yang dilakukan Thailand membuat mereka menjadi negara yang sulit ditaklukkan negara-negara Asia Tenggara. Lebih dari pada itu, di berbagai kompetisi antarklub Asia semisal Liga Champions AFC, kesebelasan-kesebelasan asal Thailand setidaknya mampu menunjukkan kualitasnya seperti tahun ini dengan Muangthong United yang bisa sampai ke babak 16 besar.

***

Uraian di atas hanyalah contoh dari geliat industrialisasi sepakbola di kawasan Asia. Sebenarnya masih banyak kompetisi di kawasan Asia yang mulai atau bahkan sudah menggeliat untuk membuat industri sepakbola berkembang. Lebih lanjut, merujuk pada fakta yang telah dibeberkan di atas, terlihat bahwa untuk membuat geliat industri sepakbola berkembang pesat bisa dilakukan dengan berbagai cara, bisa dengan suntikan uang, mengadopsi sistem kompetisi tertutup, dan memaksa kesebelasan untuk profesional.

Foto: Sport24hour, The China Money Report, Youtube, Soccer Bible, sport.uz

Komentar