Cerita dari Sleman: Tentang Koreografi Itu. . . (Bagian 2)

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Cerita dari Sleman: Tentang Koreografi Itu. . . (Bagian 2)

Oleh: Angga Septiawan Putra dan Nur Cholis

Cerita Bagian 1 bisa dibaca di: Sang Penguasa Selatan Tanpa Pemimpin

Puluhan orang berkaus hitam langsung menoleh ketika salah satu di antara kami memotret pemasangan sepanduk di tribun selatan Stadion Maguwoharjo untuk laga esok. Salah satu dari mereka datang menghampiri. “Ndak boleh motret apa pun, Mas. Kita mau ada gladi koreo dan pemasangan sepanduk untuk pertandingan besok,” ucapnya.

Siang itu, Brigata Curva Sud (BCS) memang tengah mempersiapkan segala sesuatu untuk mendukung PSS Sleman yang keesokan harinya (19/4/2017) akan menghadapi PSCS Cilacap pada pertandingan pembuka Liga 2 2017 di Stadion Maguwoharjo, Sleman. Bonet, orang yang mendatangi kami tadi, menjelaskan, gladi koreografi biasa dilakukan ketika sudah tidak ada orang lain di dalam stadion. Alasannya agar tidak ada yang mengambil gambar sembarangan dan membagikannya di media sosial.

Ia kemudian meminta kami meninggalkan stadion dengan alasan gladi akan segera dimulai. Kami sempat menolak dan menjelaskan bahwa hanya ingin melihat dan tidak akan memotret apa pun. Namun lelaki itu tetap dengan pendiriannya, “Maaf, Mas. Ini sudah peraturannya.”

Kami lantas meninggalkan kerumunan hitam tersebut dan menuju sudut lain di Stadion Maguwoharjo. Di sana, kami bertemu Sunaryo, lelaki paruh baya yang tengah duduk di muka pintu keluar stadion. “Biasanya ndak masalah kalau cuman lihat-lihat. Sepertinya karena besok mereka mau bikin kejutan atau semacamnya,” ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Kita lihat saja besok.”

Sunaryo tampaknya paham banyak hal tentang BCS. Sambil melihat ke arah lapangan, ia bercerita soal tribun selatan yang sudah mutlak menjadi milik kelompok suporter tersebut. Ia juga berkisah soal fokus yang acap terpecah saat menonton PSS Sleman di Maguwoharjo. Katanya, orang awam akan bingung memilih antara menyaksikan pertandingan PSS Sleman atau menikmati koreografi BCS.

***

Prediksi Sunaryo tentang akan adanya kejutan dari BCS ternyata benar. Keesokan harinya, saat pertandingan PSS Sleman melawan PSCS Cilacap berlangsung, BCS menampilkan koreografi yang belum pernah mereka peragakan sebelumnya. Malam itu, mereka menampilkan koreografi yang membentuk angka ‘2017’. Angka 2017 itu merupakan gabungan kertas berwarna hitam yang dipegang oleh beberapa anggota yang hadir di tribun.

Sementara latarnya berwarna hijau dan putih yang juga terdiri dari ribuan kertas yang dipegang anggota BCS yang hadir. Di bagian tengah, di antara koreo ‘2017’ itu, baliho elang raksasa memegang piala membentang menjadi pusat perhatian. Lalu yel-yel ‘Asal Kau Menang’ menggema di Maguwoharjo malam itu. Berulang-ulang.

Alih-alih menyaksikan laga, kami justru menyaksikan pertunjukkan para anggota BCS dengan takzim. Mereka berdiri tanpa henti, menyanyikan chants, dan membolak-balik kertas secara bergantian sesuai irama chants. Saat chants yang dinyanyikan berirama cepat, maka kertas yang dipegang akan dibolak-balik secara cepat. Begitu pula sebaliknya. Itu kemudian membuat koreografi tampak begitu padu.

Persiapan koregrafi. Foto diambil oleh penulis

Di lapangan, pertandingan berjalan dengan panas. Tensinya amat tinggi. Itu tampak dari jumlah kartu yang dikeluarkan wasit. Selain itu, berulang kali botol dan cangkir air mineral dilemparkan ke arah lapangan, menuju para pemain PSCS tiap kali mereka menekel Dirga Lasut atau Rizky Novriansyah. Yang terlihat, lemparan itu berasal dari tiga penjuru: barat, timur, utara. Di selatan? Hanya roll paper yang sesekali dilemparkan. Itu pun sebelum laga. Orang-orang di sana hanya berdiri, memegang kertas, dan bernyanyi.

“Yang melempar botol atau cangkir Aqua itu bisa aja anggota BCS yang berada di tribun lain. Tapi di selatan, ndak bakal ada kesempatan untuk melempar hal seperti itu karena mereka sibuk bernyanyi dan menampilkan koreografi,” ujar salah seorang penonton di tribun timur.

Pertandingan berakhir dan malam itu, PSS Sleman harus mengakui keunggulan PSCS Cilacap dengan skor 0-1.

***

Koreografi atraktif merupakan salah satu ciri khas BCS. Sebelumnya, mereka sempat mencuri perhatian publik, terutama di media sosial, berkat koreografi empat dimensi yang ditampilkan saat menghadapi Persipura Jayapura pada ajang Piala Presiden 2017 beberapa waktu lalu.

Meski baru mencuat berkat koreo empat dimensi itu, BCS sejatinya memang rutin menampilkan koreografi. Pada laga-laga kandang PSS Sleman di musim-musim sebelumnya, BCS selalu menyuguhkan koreografi atraktif. Dan semua koreografi yang ditampilkan itu, memiliki makna masing-masing. Koreografi bertuliskan ‘2017’ pada pertandingan pembuka Liga 2, misalnya. Koreografi itu bermakna keinginan sekaligus do’a BCS agar PSS Sleman meraih juara Liga 2 2017 dan promosi ke Liga 1 di musim berikutnya.

Contoh lain adalah koreografi bertuliskan ‘JUSTICE’ yang ditujukan untuk salah seorang anggota BCS yang menjadi korban kekerasan suporter lain. Lewat koreografi itu, mereka hendak menuntut keadilan bagi koleganya itu.

Jika diperhatikan, koreografi-koreografi yang biasa ditampilkan BCS tergolong sangat rumit. Maka tak heran mereka melakukan gladi sebelum pertandingan PSS Sleman berlangsung. Namun, Zulfikar menjelaskan, tidak semua koreografi membutuhkan gladi atau latihan. “Gladi hanya dilakukan di pertandingan-pertandingan penting seperti saat melawan Persipura di Piala Presiden atau saat pembukaan Liga 2 kemarin,” ujarnya. Di pertandingan-pertandingan seperti itu, persiapan akan dilakukan secara maksimal. Ini dikonfirmasi pula oleh Bebex –begitulah ia disebut para anggota BCS, salah seorang aktor penting di balik atraktifnya koreo BCS. “Tidak ada latihan,” katanya.

Sebetulnya BCS biasa menggelar latihan pada satu hari sebelum pertandingan. Tapi itu dulu, saat BCS belum besar dan memiliki anggota yang banyak. Sekarang, mereka hanya perlu mengadakan forum musyawarah dan menentukan koreografi apa yang hendak ditampilkan pada pertandingan. Setelah itu, barulah desain koreografi dibuat dan disesuaikan dengan tempat duduk di tribun selatan stadion.

Hal itu lantas membuat orang-orang di BCS merasa heran kenapa mereka justru tidak terlalu membutuhkan latihan saat anggota BCS semakin banyak. Padahal, semakin banyak anggota biasanya akan memengaruhi tingkat kesulitan koordinasi saat menampilkan koreografi. Terlebih, BCS tidak memiliki ketua atau pemimpin. “Mungkin anggota yang banyak justru memperkuat kami, membuat BCS semakin padu dan kompak,” ungkap Fikar.

Koreografi BCS yang biasa hanya memerlukan kertas berwarna hijau, putih, hitam, serta warna lain–sesuai warna pada desain--yang dibagikan kepada anggota BCS yang hadir sesaat sebelum pertandingan. Para pemegang kertas itu akan menyesuaikan warna kertas dengan posisi mereka agar sesuai desain yang dibuat sebelumnya. Sementara itu, baliho raksasa atau objek empat dimensi yang BCS buat di pertandingan-pertandingan tertentu sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum pertandingan. Baliho raksasa biasanya dibuat secara manual, bukan dengan bantuan komputer. Begitu pula dengan objek empat dimensi.

Menurut Bebex, satu koreografi BCS bisa menghabiskan dana yang cukup besar, yaitu 5 hingga 20 juta rupiah, tergantung konsep dan desain yang digunakan. Namun, mereka tidak mempermasalahkan jumlah yang besar itu. Lagi pula, BCS sudah memiliki penghasilan sendiri lewat lini usaha resmi mereka, Curva Sud Shop, sehingga tidak perlu merogoh dompet para anggotanya.

Kami memang tidak diperkenankan melihat persiapan koreografi BCS sebelum laga menghadapi PSCS Cilacap lalu. Meski begitu, dalam akun Youtube resmi mereka, terdapat sebuah video yang berisi tayangan singkat proses persiapan koreografi “1 ABAD” –koreo ini ditampilkan saat laga TSC B 2016 menghadapi Mojokerto Putra, 8 Mei 2016 lalu.

Dalam video, terlihat bahwa desain koreo disesuaikan menggunakan tali plastik. Tali plastik itu kemudian memberikan batasan antar objek atau warna yang terbentuk sehingga memudahkan para anggota BCS saat mereka beraksi di tribun.

Salah seorang anggota BCS yang kami temui di sebuah warung kopi di sekitaran Stadion Maguwoharjo, mengonfirmasi hal ini. “Biasanya BCS nyesuain desain di tribun pakai tali, Mas,” katanya.

Pada Piala Presiden 2017 lalu, panitia kompetisi menunjuk Viking Persib sebagai suporter terbaik selama gelaran turnamen. Namun, Yana Bool, Panglima Viking, justru menganggap BCS yang lebih layak menerima penghargaan itu. “Koreografi mereka bagus walaupun timnya tidak masuk (perempat final),” kata Yana.

Bagi para pemain PSS, koreografi BCS tak hanya indah dipandang mata, tetapi juga memberikan semangat dan motivasi ekstra. “Sejauh ini, koreografi BCS saat menghadapi Persipura pada Piala Presiden lalu paling berkesan,” kata Dirga Lasut, pemain PSS Sleman. Senada dengan Dirga, kapten PSS, Busari, juga menganggap koreografi empat dimensi itu sebagai yang terbaik sejauh ini. “Bikin semangat,” katanya.

Foto merupakan hasil dokumentasi penulis

Penulis merupakan mahasiswa di salah satu universitas di Bandung. Biasa berkicau di akun @sptwn dan @nurcholislis


Cerita dari Sleman Bagian 1: Sang Penguasa Selatan Tanpa Pemimpin

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari liputan khusus tentang Brigata Curva Sud yang dilakukan oleh dua penulis di atas. Isi dan opini dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar