Apakah Statistik Selalu Bisa Dipercaya?

Sains

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Apakah Statistik Selalu Bisa Dipercaya?

Sebagai analis sepakbola, tentunya statistik adalah alat yang sangat membantu untuk mengevaluasi pemain maupun kesebelasan. Jadi sederhananya, statistik sangat membantu sepakbola. Tapi, apakah statistik bisa dipercaya begitu saja?

Banyak media yang mengedepankan statistik sebagai pendekatan untuk menentukan baik atau buruknya penampilan pemain atau kesebelasan. Namun setelah musim 2016/2017 selesai, saya sempat berselancar di beberapa media sepakbola dan menemukan jika Nicolás Otamendi masuk rekap sebagai bek tengah nomor dua terbaik se-Eropa di WhoScored.

Tidak sampai di situ, CIES Football Observatory juga menampilkan Dejan Lovren sebagai bek tengah terbaik kesembilan di Eropa. Sementara Francesco Acerbi hadir sebagai bek terbaik ketiga di Eropa versi Squawka.

Statistik punya semua jawaban dan alasannya

Sangat menarik mengetahui bagaimana CIES, Squawka, dan WhoScored memberikan nilai untuk menentukan bek terbaik. Mereka pasti punya rumus atau formula tersendiri yang berbeda-beda.

Misalnya saja dribel mungkin memiliki nilai yang tinggi bagi pemain sayap, tapi tidak bagi bek tengah. Sehingga bek tengah yang berhasil melakukan dribel terbanyak, misalnya Jan Vertonghen dengan 25 dribel sukses sepanjang musim 2016/2017, tidak berada di posisi atas di antara para bek tengah lainnya karena statistik aksi bertahannya (sapuan, blok, intersep, dan tekel) tidak sebaik Otamendi, Lovren, ataupun Acerbi.

Kita tidak perlu mencari pembenaran ke mana-mana. Cukup datangi situs seperti Opta, CIES, Squawka, atau WhoScored, maka kita bisa menemukan pembelaan jika Otamendi dan Lovren pantas berada pada posisi 10 besar bek tengah terbaik di Eropa.

Secara rata-rata, Otamendi berperan dalam sapuan, blok, intersep, tekel, menang duel udara, operan, dan operan panjang di pertahanan Manchester City. Begitu juga dengan yang Lovren lakukan di Liverpool.

Atribut-atribut tersebut adalah hal yang menunjukkan seorang bek tengah modern yang bertipikal ball-playing. Akan tetapi jujur saja, melihat Otamendi dan Lovren sebagai bek papan atas Liga Primer atau bahkan Eropa, pasti membuat kita bertanya-tanya. Kenapa tidak banyak kesebelasan yang mengincar mereka di jendela transfer kali ini? Padahal statistik sudah menunjukkan jika mereka masuk 10 besar bek terbaik Eropa.

Bagi penonton Liga Primer Inggris, terutama misalnya suporter Liverpool, mereka mungkin menganggap Lovren saja bahkan bukan merupakan bek terbaik di Liverpool. Kita bisa menggeneralisasi Lovren sebagai bek yang rentan error meskipun statistik menunjukkan jika ia “hanya” melakukan tiga kali kesalahan dengan salah satunya berujung gol.

Jadi, jika kita percaya statistik, kita mau-tidak-mau harus percaya jika Otamendi dan Lovren memang benar adalah dua contoh bek terbaik di Liga Primer.

Tapi statistik belum tentu menjadi jawaban pamungkas untuk semua pertanyaan

Menonton pertandingan memang tidak selalu sama dengan melihat data dan statistiknya. Kembali mengambil contoh Lovren, ia memang “hanya” melakukan error leading to goal yaitu saat ia salah menendang pada pertandingan melawan Crystal Palace. Tapi jika kita melihat gambar yang lebih besar yang kadang tidak bisa selalu melibatkan statistik, setidaknya ia berkontribusi pada tujuh kebobolan Liverpool yang berasal dari sepakan pojok atau umpan silang. Di antara bek-bek tengah Liverpool lainnya, angka yang Lovren sumbangkan untuk kebobolan via crossing ini adalah yang tertinggi.

Namun lagi-lagi, statistik berhasil menutupi kesalahannya tersebut. Bek asal Kroasia ini sendiri berhasil mencatatkan 65% kemenangan duel bola udara. Angka tersebut adalah angka yang bagus untuk seorang bek tengah. Jujur saja, Lovren memang banyak memenangkan duel udara. Tapi, yang tidak ditunjukkan oleh statistik tersebut adalah jika 35% dari duel udara yang tidak dimenangkan Lovren, tujuh di antaranya berujung kebobolan bagi kesebelasannya.

Dalam sepakbola, statistik memang tidak selalu menjadi jawaban. Tidak seperti misalnya di bisbol. Ada tekanan yang berpengaruh di situasi tertentu. Bagi Lovren, ia memang merupakan bek tengah yang unggul di udara. Tapi itu secara umum. Sementara pada situasi khusus yang lebih krusial, ia malah tidak memenangkan duel udara tersebut.

Permasalahan berikutnya, dari mana kita bisa menilai jika situasi tersebut adalah krusial? Penjaga gawang yang berhasil mencatatkan 10 penyelamatan dalam satu pertandingan belum tentu disebut penjaga gawang yang hebat. Barangkali sembilan tendangan yang ia terima adalah tendangan lemah ke arah tengah.

Sementara itu, seorang penjaga gawang yang hanya melakukan satu penyelamatan dalam satu pertandingan bisa jadi berada pada posisi yang lebih “hebat” karena ia berhasil melakukannya di akhir pertandingan dengan ujung jarinya (fingertip save) yang membuat lawannya gagal mencetak gol penyeimbang.

Jadi, bagaimana kita menilai penyelamatan itu krusial atau tidak? Di sini statistik tidakbelum bisa menjawabnya.

***

Tidak ada yang sempurna di dunia sepakbola. Namun, banyak orang menilai jika statistik adalah salah satu pendekatan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan karena berhasil ditunjukkan dengan angka-angka.

Angka-angka yang bisa kita akses di situs-situs seperti CIES, Squawka, WhoScored, dan lain sebagainya, sebenarnya hanya menunjukkan sesuatu yang tidak mewakili keseluruhan. Itu yang membedakan manusia dengan mesin, karena manusia memiliki intuisi.

Statistik mungkin bisa menunjukkan jika Lovren atau Otamendi bisa diandalkan dalam 80-85% situasi pertahanan (sesuai dengan nilai mereka berdasarkan CIES, yaitu berturut-turut 80,5 dan 84,5). Tapi yang statistik tidak berhasil tunjukkan adalah jika antara 15-20% situasi sisanya adalah situasi yang membuat orang ingin membanting remote TV.

Itulah kenapa sebaik-baiknya statistik yang digunakan untuk menilai pemain, kita tetap harus melihat dengan mata kepala kita sendiri.


Sebagai penutup, berikut adalah susunan pemain terbaik sepanjang musim 2016/2017 versi masing-masing situs sepakbola yang mengedepankan statistik, dengan format adalah berturut-turut sesuai urutan; penjaga gawang, bek kanan, bek tengah, bek tengah, bek kiri, gelandang bertahan, gelandang tengah, gelandang serang, sayap kanan, penyerang tengah, dan sayap kiri; atau formasi seperti 1-4-3-3.

CIES Football Observatory: Manuel Neuer (Bayern München), Bruno Peres (Roma), Javier Martínez (Bayern München), Mats Hummels (Bayern München), Alex Sandro (Juventus), Thiago Alcântara (Bayern München), Naby Keïta (RB Leipzig), Paul Pogba (Manchester United), Lionel Messi (Barcelona), Dries Mertens (Napoli), Cristiano Ronaldo (Real Madrid)

Squawka: Yohann Pelé (Olympique de Marseille), Philipp Lahm (Bayern München), Thiago Silva (Paris Saint-Germain), Federico Fazio (Roma), Filipe Luís (Atlético Madrid), Thiago Alcântara (Bayern München), Marek Hamšík (Napoli), Philippe Coutinho (Liverpool), Lionel Messi (Barcelona), Dries Mertens (Napoli), Eden Hazard (Chelsea)

WhoScored: Gianluigi Donnarumma (AC Milan), Victor Moses (Chelsea), Nicolás Otamendi (Manchester City), Federico Fazio (Roma), Filipe Luís (Atlético Madrid), Thiago Alcântara (Bayern München), Paul Pogba (Manchester United), Kevin De Bruyne (Manchester City), Lionel Messi (Barcelona), Edin Džeko (Roma), Neymar (Barcelona)

Baca juga: Mengenal Istilah-istilah Statistik di Sepakbola

Komentar