Cerita dari Sleman: Sang Penguasa Selatan Tanpa Pemimpin (Bagian 1)

PanditSharing

by Pandit Sharing 60020

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Cerita dari Sleman: Sang Penguasa Selatan Tanpa Pemimpin (Bagian 1)

Oleh: M. Angga Septiawan Putra dan Nur Cholis

Cerita Bagian 2 bisa dibaca di: Tentang Koregafi itu. . .

Pertengahan Februari 2017 lalu, Copa90 merilis sebuah video berdurasi 5 menit 29 detik yang berjudul ‘Top 5 Incredible Asian Ultras’. Video itu berisi cuplikan lima ultras terbaik di Asia. Di antara lima ultras dalam video itu, terdapat ultras asal Indonesia. Mereka adalah Brigata Curva Sud (BCS), kelompok suporter PSS Sleman.

Dalam video tentang ultras di Asia itu, Brigata Curva Sud tak sekadar masuk dalam daftar. Mereka juga memuncaki daftar tersebut dan seolah-olah mendapat pengakuan bahwa di antara ultras yang ada di Asia, Brigata Curva Sud adalah yang terbaik. Di bawah mereka, terdapat ultras-ultras fanatik lain seperti Boys of Straits (Johor DT, Malaysia), Bangal Brigade (East Bengal, India), Frente Tricolor (Suwon Samsung Bluewings, Korea Selatan), dan Urawa Boys (Urawa Red Diamonds, Jepang).

Dalam narasinya, Copa90 menyebut BCS sebagai suporter yang amat fanatik. Sekalipun hanya berada di kasta kedua Liga Indonesia, mereka selalu memenuhi stadion pada tiap akhir pekan. “Anda akan melihat koreografi yang mengagumkan,” bunyi narasi itu. Tampaknya beberapa hal itulah yang membuat Copa90 mendaulat BCS sebagai ultras terbaik se-Asia.

Copa90 merupakan media digital yang mengkhususkan pada bahasan seputar sepakbola. Spesifiknya, mereka membahas kultur sepakbola di dalam dan luar lapangan. Saat ini Copa90 memiliki lebih dari 1 juta pelanggan saluran Youtube dan sekitar 2 juta likes di Facebook.

Lewat surat elektronik, kami sempat meminta komentar tambahan dari Copa90 soal BCS. Namun hingga tulisan ini dibuat, belum ada balasan sama sekali.

Bertenggernya BCS di puncak ultras terbaik Asia versi Copa90 kemudian membuat publik sepakbola Indonesia terkagum. Akun-akun media sosial beramai-ramai membagikan foto dan status tentang BCS. Sementara itu, banyak media massa nasional yang mulai menaruh perhatian serius terhadap mereka.

Sekitar seminggu sebelum video itu dirilis, Brigata Curva Sud sebetulnya sudah lebih dulu mencuri perhatian publik lewat koreografi empat dimensi yang ditampilkan pada pembukaan Piala Presiden menghadapi Persipura Jayapura, Februari 2017 lalu.

Presiden Indonesia Joko Widodo yang saat itu menyaksikan pertandingan PSS menghadapi Persipura, disebut tak dapat memalingkan wajah dari pemandangan koreografi empat dimensi BCS. Hal itu disampaikan oleh Kapolda DI Yogyakarta, Brigjen Ahmad Dofri (dilansir dari juara.net), yang pada laga itu duduk tepat di belakang Jokowi. Presiden pun bahkan sampai mengabadikan momen itu lewat video blog yang ia unggah lewat akun Instagram-nya.

Tampaknya, publik sepakbola Indonesia kaget bahwa di antara suporter klub-klub dalam negeri yang biasanya muncul ke permukaan berkat aksi-aksi brutal, terdapat satu kelompok yang justru mencuat berkat kreativitas, loyalitas, dan kekompakkan yang mereka tunjukkan. Terlebih, klub yang didukung hanya berlaga di tingkat kedua liga Indonesia.

Selama kurang lebih satu bulan, kami menelusuri jejak fanatisme suporter yang berbasis di selatan Maguwoharjo itu. Dan tentu saja, menggeledah hal-hal yang membuat mereka didaulat Copa90 sebagai ultras terbaik se-Asia.

*

Laman bcsxpss.com terlihat rapi. Didominasi warna hitam, laman itu menyajikan banyak informasi mengenai Brigata Curva Sud (BCS) yang disusun ke dalam enam rubrik. Di antara enam rubrik itu, ada satu yang menarik perhatian lantaran menggunakan istilah yang jarang ditemukan di sepakbola, yaitu manifesto.

Rubrik manifesto berisi berbagai macam aturan dalam tubuh BCS. Total ada delapan manifesto. Salah satu manifesto Brigata Curva Sud yang mereka cantumkan di sana adalah ‘No Leader, Just Together’. Manifesto itu kurang lebih berarti tidak ada kepengurusan: tidak ada pemimpin atau ketua dalam BCS. Yang ada hanyalah kebersamaan.

Manifesto itu sempat membuat kami bingung menentukan siapa yang berwenang untuk dimintai keterangan. Beberapa kenalan yang sudah tinggal lama di Yogyakarta dan Sleman, mengatakan, memang sulit mencari sosok yang pas untuk diwawancarai tentang BCS. Kebanyakan dari mereka enggan memberikan komentar.

Hingga kemudian, seorang kenalan yang merupakan Sleman Fans bernama Rianto memberi sebuah nama beserta kontak WhatsApp. “Namanya Mas Zulfikar. Bilang aja dapat kontaknya dari anggota Sleman Fans Bandung,” tulis Rianto via pesan singkat.

Di BCS, Fikar bukan orang sembarangan. Manajer PSS Sleman, Arif Juliwibowo, mengenal ia sebagai salah satu sosok sentral. “Dia seperti pelaksana harian BCS,” katanya. Meski begitu, pada siang hari saat ditemui di sekretariat Brigata Curva Sud, Jalan Delima Raya, Depok, Sleman yang juga merupakan Curva Sud Shop, Fikar justru mengenalkan diri sebagai relawan. “Saya volunteer, Mas, relawan,” katanya.

Kepada kami, Fikar memberi komentar soal didaulatnya BCS sebagai ultras terbaik se-Asia oleh Copa90 pada Februari lalu. “Saya pribadi ndak terlalu peduli tentang penghargaan itu. Tujuan kami di BCS cuma untuk mendukung PSS Sleman seratus persen. Bukan untuk meraih penghargaan atau pujian orang lain,” katanya.

Meski begitu, Fikar mengaku tetap bangga. Sebab menurutnya, didaulatnya BCS sebagai ultras terbaik di Asia oleh salah satu media sepakbola digital kenamaan dunia itu merupakan salah satu bentuk pengakuan atas loyalitas dan kreativitas BCS dalam mendukung PSS.

Soal tidak adanya ketua di tubuh BCS, itu diberlakukan agar semua anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam setiap pengambilan keputusan serta melaksanakan tiap kebijakan yang telah disepakati. Lalu, bagaimana keputusan diperoleh?

Batak mengatakan, setiap kebijakan atau keputusan yang menyangkut kepentingan BCS diperoleh melalui forum. “Karena BCS tidak memiliki struktur organisasi, maka segala keputusan diambil lewat forum,” katanya. Batak merupakan capotifo BCS. Di Indonesia, capotifo lebih dikenal dengan sebutan dirijen lapangan.

Hal itu senada diungkapkan Fikar. “Lewat forum,” ucapnya singkat. Dalam forum, semua orang yang hadir berhak menyampaikan gagasan atau pendapat. Pendapat atau gagasan itu kemudian akan disaring dan didiskusikan untuk mencapai kesepakatan bersama.
Forum yang dilaksanakan berlangsung secara terbuka.

Artinya, semua anggota BCS berhak hadir pada forum itu. Namun, menurut Batak, peserta yang hadir biasanya hanya perwakilan dari tiap komunitas. “Setiap komunitas yang ada di BCS akan secara bergantian menjadi tuan rumah forum,” ungkap Batak.

Hal-hal yang dibahas dalam forum biasanya mengenai koreografi, keuangan, hingga soal klub yang mereka dukung. Menurut Batak, pengambilan keputusan lewat forum lebih efektif daripada lewat keputusan tunggal atau melalui ketua. “Alhamdulillah, sejauh ini efektif dan berjalan dua arah. Tidak ada orang tertentu yang mendominasi,” ujar Batak.

Seorang lelaki yang kami temui sesaat setelah mengantri tiket pertandingan PSS di Maguwoharjo, mengatakan, forum juga menjadi wadah silaturahmi bagi BCS. Lelaki itu mengaku sebagai anggota BCS. Sayang, ia menolak namanya disebutkan. “Kalau keterangannya silakan saja,” ujarnya.

Selain bertujuan menyamakan hak dan kewajiban setiap anggota, manifesto ‘no leader just together’ diberlakukan agar BCS tak disusupi unsur politik. Mereka melarang keras politik masuk ke tribun selatan sebab hal itu dianggap dapat menjadi pemecah belah.

Contohnya beberapa tahun lalu. Saat masa pemilihan kepala daerah, salah satu calon mendekati BCS untuk meraih banyak masa. “Beruntung kami tidak memiliki ketua. Kalau ada ketua pasti gampang didekati karena hanya seorang. Kalau tanpa ketua ‘kan mereka-mereka itu jadi bingung mau deketin siapa,” jelas Fikar. Namun, BCS sama sekali tidak melarang jika ada anggota yang ingin berpolitik. “Asal tidak dibawa masuk ke tribun,” ujar Fikar lagi.

Di Indonesia, tidak adanya ketua di dalam kelompok suporter bukanlah hal yang benar-benar baru. FourFourTwo pernah mengisahkan Bonek dan Aremania dalam salah satu artikelnya. Di sana, mereka menyebut kedua kelompok suporter asal Jawa Timur itu juga memiliki kultur serupa: tak ada ketua dan tak ada kepengurusan.

Namun, BCS jelas berbeda dengan dua kelompok itu juga dengan kelompok suporter lain di Indonesia. Mereka benar-benar tidak mengedepankan kultus individu sehingga amat sulit untuk meminta keterangan atau komentar mengenai BCS. Tapi, mereka justru bergerak lebih rapi dan terarah. Itu nampak dari koreografi dan chants di tiap pertandingan PSS Sleman yang selalu padu.

Hal semacam ini merupakan situasi utopis yang diimpikan penganut sosialis di seluruh dunia, yaitu kehidupan di mana setiap anggota masyarakat memiliki dan menjalani tugasnya masing-masing tanpa ada kepemimpinan serta paksaan.

BCS memang tidak memiliki ketua. Tapi pembagian wilayah yang terdiri dari timur, barat, utara, dan selatan, memudahkan koordinasi antar mereka. Mereka menyebut pembagian wilayah itu sebagai sezione. Masing-masing sezione itu memiliki peran sebagai koordinator wilayah. Selain untuk koordinasi, hal semacam ini juga amat berguna untuk mengumpulkan anggota ketika PSS bertanding.

Randy Aprialdi, seorang pandit yang mengkhususkan bahasan seputar kultur tribun stadion, mengungkapkan, salah satu yang mendasari kekompakan BCS adalah para anggota yang kebanyakan terpelajar. “Setahu saya, sebagian anggota BCS adalah mahasiswa dan mantan mahasiswa serta pelajar sekolah. Karena itu, biasanya mereka punya banyak referensi dan literatur dalam mengkoordinir massa yang besar. Makanya mereka amat progresif,” ujarnya.

Penulis buku Sepakbola Seribu Tafsir, Eddward S. Kennedy, punya gambaran berbeda. Menurutnya, kesadaran dalam memahami kesetaraan individu menjadi salah satu yang memengaruhi kekompakan BCS. Prinsip ‘sama rata sama rasa’ dianggap sangat mungkin terjadi pada sebuah unit kolektif yang memiliki tujuan yang sama. Basis dasar teori dari prinsip ini adalah anarkisme.

Sementara itu, Wahyu Gunawan, dosen Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran, menyebut kepatuhan anggota BCS terhadap aturan yang berlaku meski tak memilik ketua sebagai sesuatu yang menarik dan jarang ditemukan pada kelompok-kelompok berskala besar. Ia menjelaskan, guyub (kerukunan) dengan solidaritas tinggi seperti itu merupakan ciri kelompok tradisional khas masyarakat Jawa.

“Tapi tampaknya roda program kegiatan bersama berlangsung di antara kelompok kecil atau koordinator,” ujarnya. Dan benar, BCS memang memiliki kelompok-kelompok kecil yang oleh mereka disebut komunitas.

Aturan-aturan BCS di antaranya tercantum dalam manifesto, seperti kewajiban membeli tiket pertandingan, dilarang meniup terompet, berdiri sepanjang pertandingan, hingga tidak boleh melewati pagar tribun saat mendukung PSS. Selain itu, anggota BCS juga diwajibkan mengenakan sepatu saat berada di tribun. “Menonton PSS di stadion itu seperti ibadah. Jadi harus berpakaian rapi,” kata Tahta, anggota BCS.

lanjut ke halaman berikutnya

Komentar