Karena Akademi MU Lebih Spesial dari Jose Mourinho

PanditSharing

by Pandit Sharing 134783

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Karena Akademi MU Lebih Spesial dari Jose Mourinho

Oleh: M. Rifqi F.

Laga Manchester United kontra Crystal Palace pada 21 Mei kemarin menimbulkan reaksi beragam bagi pengamat sepakbola. Hal yang biasa sekaligus hal yang tidak biasa terjadi sekaligus.

Hal yang tidak biasa adalah Jose Mourinho mendaftarkan selusin pemain muda dalam matchday squad laga pamungkas Liga Primer 2016/2017. Menilik rekam jejaknya selama melatih Porto, Inter Milan, Real Madrid maupun Chelsea, Mou bukanlah tipikal manajer yang suka “mengambil risiko” memainkan pemain muda yang belum terbukti, seperti yang sering dilakukan Sir Alex Ferguson atau Louis van Gaal.

Namun hal ini adalah hal biasa mengingat klub yang ditukanginya adalah Manchester United. Klub berjuluk Setan Merah ini memang masih memegang rekor sebagai klub yang selalu memainkan produk akademinya di setiap laga sejak 1937. Sore itu pula, pemain yang masuk menit 83, Angel Gomes adalah pemain termuda yang pernah dimainkan di Liga Primer sepanjang sejarah melampaui rekor Duncan Edwards.

Siapa itu Duncan Edwards? Mengapa namanya sering disebut komentator? Tulisan ini akan menjelaskannya.

Mempertahankan rekor yang bertahan selama 80 tahun adalah luar biasa. Artinya rekor tersebut lebih panjang dari usia kemerdekaan Indonesia, masa kekuasaan Ratu Elizabeth II, ekspektasi hidup manusia abad 21, dan tidak lekang dimakan 2 perang dunia. Di satu sisi, bisa jadi demi mempertahankan rekor kebijakan ini masuk dalam klausul setiap manajer yang menangani Manchester United.

Di sisi lain, mendaftarkan 12 pemain akademi sekaligus ke dalam pertandingan salah satu liga tersadis di dunia bukanlah langkah yang bisa dianggap enteng. Namun, akademi yang sedang kita bahas adalah akademi Manchester United. Akademi yang menelurkan pemain-pemain macam David Beckham, Ryan Giggs, dan Paul Pogba. Akademi MU memang diakui sebagai salah satu akademi sepakbola terbaik dunia. Pengakuan ini bukan semacam pub talk belaka, namun pengakuan ini dapat dibuktikan pula secara statistik dan fakta.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh CIES Football Observatory, membuktikan bahwa akademi MU adalah yang terbaik di Inggris. Aspek pertama yang dinilai adalah jumlah produk akademi yang kini membela klub di lima liga teratas Eropa (Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol). MU berada di posisi ketiga dengan 34 pemain first team di lima liga tersebut.

Di Inggris, angka ini hanya bisa disaingi Tottenham Hotspur (17 pemain, peringkat 23) kemudian Chelsea dan Southampton (sama-sama peringkat 37). Namun, jika menghitung pemain first team seluruh divisi teratas Eropa, MU merosot ke peringkat 13 se-Eropa, namun belum mampu disaingi klub Inggris lainnya. Klub Inggris lain yang mendekati hanyalah Arsenal di peringkat 25, dan Manchester City di peringkat 46. Jangan lupa pada perhelatan Piala Eropa 2016 terdapat 12 lulusan akademi MU membela negaranya masing-masing.

Sejarah Singkat

Akademi sepakbola MU dengan nama resmi The Manchester United Academy secara resmi didirikan pada 1998 menyusul reorganisasi sistem youth di Inggris. Namun cikal bakalnya adalah Manchester United Junior Athletic Club (MUJAC) yang berdiri pada 1930an. Sejak 1930, MUJAC selalu menghasilkan pemain andalan bagi Manchester United. Bahkan lima pemain dengan jumlah penampilan terbanyak bagi MU semuanya adalah produk akademi; Ryan Giggs, Bobby Charlton, Bill Foulkes, Paul Scholes, dan Gary Neville.

Secara statistik, akademi MU juga adalah akademi tersukses dalam urusan menyumbang nama ke English Football Hall of Fame. Tercatat nama Duncan Edwards, Sir Bobby Charlton, Nobby Stiles, George Best, Mark Hughes, Ryan Giggs, Paul Scholes, dan Johnny Giles adalah penghuni Hall of Fame yang merupakan lulusan akademi MU.

Akademi MU juga merupakan klub tersukses dalam FA Youth Cup, yang telah memenangkan kejuaraan 10 kali dari 14 kali masuk final. Bahkan pada edisi perdana tahun 1952, Manchester United menjadi juara setelah menggasak akademi Wolverhampton Wanderers dengan skor 9-3.

Lulusan-Lulusan Terbaik (yang Gagal Dimanfaatkan MU)

Mungkin Anda bertanya, benarkah ada 34 pemain aktif produk akademi MU yang membela klub-klub tenar Eropa? Mengapa tidak dimanfaatkan oleh MU saja? Apa jangan-jangan pemain yang dihasilkan adalah pemain-pemain medioker yang ‘nyangkut’ di klub-klub besar?

Mungkin Anda akrab dengan nama-nama lulusan akademi MU seperti Wes Brown, John O’Shea, Darren Fletcher yang memang bisa dibilang medioker untuk ukuran ‘liga top Eropa’. Namun tahukah anda bek andalan Barcelona sekaligus suami Shakira, Gerard Pique adalah produk akademi MU?

Bagaimana dengan Ryan Shawcross, batu karang tangguh komandan pertahanan Stoke City ternyata adalah teman seangkatan Tom Cleverley di akademi MU? Bagaimana dengan pemenang Piala Dunia 2014 Ron Robert Zieler juga gelandang andalan Claudio Ranieri di Leicester City, Danny Drinkwater juga pernah meminum air dari sumber yang sama dengan Paul Scholes dan David Beckham?

Memang banyak produk akademi MU yang tidak sempat merasakan kegemilangan di tim utama. Bahkan beberapa nama rasanya sama sekali tidak identik dengan MU. Tidak semua pemain lulusan akademi MU sukses di klub yang membesarkannya. Contoh yang sering digunakan penggemar Barcelona, Southampton, atau West Ham untuk mendiskreditkan akademi MU adalah kisah Paul Pogba.

Pogba memang secara sekilas seakan ‘dibuang’ oleh MU pada 2012. Kemudian MU harus membayar mahal, secara harfiah, untuk ‘memungut’ hasil didikannya yang kepalang manis di tangan klub lain.

Contoh lainnya adalah Gerard Pique. Pemain satu ini memang identik dengan raja klub Catalan, Barcelona. Ia bahkan beberapa kali dipercaya menjadi kapten Blaugrana, dan menjadi ikon klub dalam berbagai kesempatan. Namun sedikit yang tahu ia sempat mengenyam pendidikan di akademi MU dan menjadi bagian MU U18, reserve, bahkan tim utama.

Ia bahkan sempat mencetak gol bagi MU di ajang Liga Champions melawan Dynamo Kiev pada musim ketika MU menjadi juara. Namun sayangnya, Pique dikabarkan tidak cocok dengan budaya dan kuliner Inggris sehingga pulang ke tanah kelahirannya di Spanyol. MU kemudian beralih mengandalkan rekan Pique di tim reserve, Jonny Evans. Diakui, bek kelahiran Belfast ini tidak sesukses rekannya yang kelahiran Barcelona.

Kisah lain adalah Ryan Shawcross, yang kini sukses di klub saingan MU di papan tengah, Stoke City. Kisah Shawcross bahkan lebih pilu karena ia sama sekali tidak merasakan membela MU di tim utama. Setelah mengawal lini pertahanan MU U18 dan MU reserve bersama Ron Robert Zieler dan Danny Drinkwater, ia menjalani masa peminjaman ke Royal Antwerp dan Stoke City.

Masa peminjamannya ke Stoke City lah yang mengubah kariernya. Setelah berhasil membawa The Potters promosi ke Liga Primer pada 2008, Tony Pulis mempermanenkan bek dengan tinggi 191 cm tersebut. Kekokohan Shawcross di lini pertahanan Stoke City membuatnya sulit dijatuhkan baik oleh penyerang lawan maupun bek-bek lain yang ingin merebut posisinya di tim inti.

Berbeda dengan duo bek Inggris MU Chris Smalling dan Phil Jones, Shawcross terkenal lebih sering mencederai lawan daripada mencederai dirinya sendiri. Bandingkan saja, sejak tahun 2011, Shawcross mencatatkan 274 penampilan di seluruh ajang bagi Stoke City, sedangkan Smalling hanya mencatatkan 209 penampilan dan Phil Jones 168 penampilan.

Bukan Hanya Pendidikan Sepakbola

Lulusan akademi MU tidak hanya terkenal karena performa di atas lapangannya, namun beberapa pelaku sepakbola memuji karakter yang muncul dari para alumni akademi Setan Merah. Sikap lulusan jarang sekali menuai kritik, bahkan lebih sering menuai pujian.

Seorang jurnalis olahraga pernah terpukau dengan sikap Darren Fletcher ketika diwawancara. Ia melakukan hal yang jarang dilakukan pesepakbola pada umumnya ketika diwawancara, yaitu menyodorkan jabat tangan, tidak marah ketika disuruh menunggu, dan memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.

Buat apa seorang Darren Fletcher memperkenalkan dirinya? Siapa yang tidak kenal Anda? Pikirnya. Namun, itulah kerendahan hati seorang kapten Manchester United dan West Bromwich Albion.

Steve Bruce juga pernah berkata bagaimana O’Shea dan Brown mengayomi rekan-rekannya ketika masih menjadi ‘anak baru’ di Sunderland pada musim 2010/2011. Ketika itu, The Black Cats dilanda inkonsistensi dan terancam kembali ke Championship. Namun, O’Shea dan Brown ketika itu malah maju dan memimpin latihan di Academy of Light. Ia terpukau dengan karakter yang ditampilkan O’Shea dan Brown, dan menunjuknya sebagai wakil kapten semusim kemudian.

Kini, mungkin Anda tahu mengapa banyak pemain MU yang menjadi kapten di klub barunya. John O’Shea dan Wes Brown pernah menjadi kapten dan wakil kapten di Sunderland. Darren Fletcher dan Ryan Shawcross menjadi kapten tetap di klubnya masing-masing. Gerard Pique sesekali menjadi kapten di Barcelona. Bahkan Wes Brown kini menjadi coaching staff di klub anyarnya Blackburn Rovers.

Duncan Edwards dan Mengapa Ia Diratapi

Duncan Edwards, siapa dia? Duncan Edwards adalah pemain yang rekornya baru saja dipecahkan Angel Gomes sebagai pemain termuda yang dimainkan MU di Liga Primer. Bahkan Gomes menjadi pemain kelahiran 2000 pertama yang merumput di Liga Primer. Sekali lagi, siapa itu Duncan Edwards?

Jika anda bertanya pada Sir Bobby Charlton, Duncan Edwards adalah pemain terbaik yang pernah ia lihat. Menurutnya, Duncan adalah atlet terbaik sepanjang masa mengalahkan Muhammad Ali. Sir Bobby Charlton, yang kini masih memegang rekor penampilan terbanyak bagi MU, dan pemegang rekor gol MU dan timnas Inggris menganggap Duncan-lah satu-satunya pemain yang membuat ia merasa inferior.

Bahkan beliau menggambarkan, kemampuan Duncan adalah gabungan dari dua legenda MU, Roy Keane dan Bryan Robson. Ia memiliki kemampuan bertahan dan menyerang yang sama baiknya, tekel yang menyeramkan sekaligus tembakan kaki kanan dan kiri yang menyeramkan, fisik yang kuat namun tetap lincah, dan ketika itu usianya belum mencapai 20an.

Hebatnya lagi, selain menjadi bagian tim senior MU pada usia 16, ia pun sudah mendapatkan caps di timnas senior Inggris sebelum usia 18. Duncan pun pernah menimbulkan kontroversi ketika ia dimainkan MU di FA Youth Cup setelah ia mendapatkan caps senior di timnas Inggris. Sayangnya, ia harus mengakhiri karier di usia 21 tahun karena menjadi korban fatal dari tragedi Muenchen.

Lalu, apa hubungannya dengan akademi MU? Apa yang bisa kita pelajari dari legenda yang telah tiada? Sebagai pengingat, MU masih rutin memperingati tragedi Muenchen dan kematian Duncan Edwards setiap tahunnya, padahal tanggal wafat Sir Matt Busby dan hari pensiun Sir Alex Ferguson saja tidak.

Duncan Edwards adalah permata dari akademi MU yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bersinar di pentas dunia. Bahkan Sir Alf Ramsey, pelatih yang membawa timnas Inggris menjuarai Piala Dunia 1966 berkata, “Andaikan Duncan Edwards masih hidup, ialah yang akan mengangkat trofi Piala Dunia.”

Kehilangan Duncan Edwards adalah kehilangan bagi seluruh rakyat Inggris, bukan hanya Manchester United. Namun, hikmah dari sekian kali peringatan penuh duka cita ini adalah pelajaran bagi lulusan-lulusan akademi MU selanjutnya.

Persaingan di dunia sepakbola adalah persaingan yang keras. Kita telah membahas bagaimana beberapa pemain harus gagal bersaing di MU dan mencari peruntungan di klub lain. Dari pemain-pemain tersebut, ada yang berhasil, ada yang gagal. Contoh-contoh yang berhasil tentu saja seperti Gerard Pique, Ryan Shawcross, Danny Drinkwater, dan mungkin kini Danny Welbeck. Kisah-kisah yang kurang berhasil tercatat dalam sejarah Tom Cleverley, Frederico Macheda, dan Ravel Morrison.

Frederico Macheda sebenarnya didatangkan MU dari Lazio pada usia 15 tahun, namun sempat membela MU U18, reserve, dan senior sehingga masuk dalam kategori lulusan akademi MU. Ia langsung menjadi hit ketika menjalani debut bersama tim U18 MU. Ia langsung menjadi top skor U18 dengan 12 gol. Raihannya inilah yang membawa ia ke bangku cadangan tim senior saat melawan Aston Villa.

Melawan The Villans, ia masuk menggantikan Nani dengan harapan membantu mengurangi defisit gol MU yang ketika itu tertinggal 2-1. Setelah Cristiano Ronaldo menyamai kedudukan di menit 80, di masa injury time sentuhan bocah ajaib itu akhirnya datang. Ia menerima bola membelakangi gawang, dengan tendangan memutar, ia berhasil membawa Setan Merah unggul 3-2.

Setelah itu, melawan Sunderland Macheda kembali mencetak gol dan ketika itu penggemar MU yakin mereka telah menemukan penyerang masa depan mereka. Namun ternyata tidak. Rentetan cedera memaksanya terus mundur ke bangku cadangan, ke tim reserve, ke divisi Championship, dan kini ia berkutat di Serie B bersama Novara.

Nama Ravel Morrison jelas kini tidak setenar Paul Pogba walau keduanya sama-sama lulusan akademi MU yang menjuarai FA Youth Cup 2011, dilepas tahun 2012, dan sama-sama berlaga di Serie A. Pogba melesat bersama Juventus hingga menjadi pemain termahal dunia, sedangkan Morrison kini masih mencari lagi cara mencapai potensi yang didengung-dengungkan di masa muda.

Jika anda bertanya pada punggawa MU U18 siapa pemain terbaik diantara mereka; pemain-pemain tersebut meliputi Jesse Lingard, Adnan Januzaj, dan Paul Pogba, maka jawaban mereka adalah Ravel Morrison. Morrison adalah kiblat bagi pemain muda MU saat itu hingga Sir Alex Ferguson sendiri berkata, Morrison adalah pemain muda terbaik yang paling berbakat yang pernah ia latih.

Namun talentanya ternyata membesar ke kepala bukannya ke kaki. Morrison terkenal bengal hingga Sir Alex memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya. Ternyata penilaian Sir Alex benar. Setelah malang melintang bersama West Ham, Cardiff City dan Lazio, kariernya tidak kunjung naik dan ia masih sangat jauh dari potensi yang dijanjikan talentanya.

Maka, apa hubungannya dengan Duncan Edwards? Kisah dan tragedi Duncan bisa menjadi pelajaran bagi pemain muda di akademi MU pada khususnya, dan seluruh pemain muda pada umumnya, bahwa mereka punya semua yang mereka butuhkan untuk menjadi pesepakbola kelas dunia.

Beberapa pemain tidak mempunyai talenta, beberapa pemain memiliki fisik yang relatif lemah, beberapa pemain tidak memiliki karakter yang kuat, namun mereka punya apa yang tidak dimiliki Duncan Edwards; mereka memiliki kesempatan. Maka kesuksesan akademi MU bukanlah hasil ayunan tongkat sulap, maupun sebuah perjanjian terlarang dengan setan. Kesuksesan akademi MU tumbuh dari budaya dan proses yang epik.

foto: @EuropaLeague

Penulis adalah adalah mahasiswa. Biasa berkicau di @mrfqf


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar