Sebuah Win-Win Solution bagi Arsene Wenger

Cerita

by Dex Glenniza 45537

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Sebuah Win-Win Solution bagi Arsene Wenger

Kita semua umumnya menyukai sebuah kepastian. Ada kelakar yang sudah terkenal di sepakbola Inggris, mereka bilang ada satu kepastian yang akan terjadi di setiap akhir musim: Arsenal menduduki peringkat empat besar Liga Primer Inggris.

Namun, kelakar tersebut bisa saja berakhir di akhir musim ini, yaitu Arsenal yang terlempar dari empat besar, yang berarti juga terlempar dari zona Liga Champions UEFA, untuk pertama kalinya setelah 21 tahun lamanya.

Sebelumnya sejak Arsène Wenger menjabat sebagai manajer Arsenal, The Gunners tidak pernah terlempar dari posisi empat. Terakhir kali mereka berada di luar posisi empat adalah pada musim 1995/1996 saat mereka menduduki peringkat kelima di klasemen akhir.

Hal-hal inilah yang membuat beberapa topik pembicaraan selalu berulang setiap musimnya, yang seharusnya membuat kita bosan: Mau sampai kapan begini terus, Wenger?

Menghakimi sukses atau gagalnya musim ini bagi Arsenal dan Wenger

Di era sepakbola modern seperti saat ini, ketika seorang manajer menjabat pada satu pekerjaan yang sama untuk 20 tahun berturut-turut adalah hal yang luar biasa. Pekerjaan ini begitu menuntut sampai-sampai saat ini pemecatan menjadi hal yang biasa.

Ada dua kabar yang beredar. Pertama, Wenger sudah disodori kontrak berdurasi dua tahun yang belum ia tandatangani. Kedua, manajemen Asenal akan meninjau kontrak Wenger setelah pertandingan final Piala FA melawan Chelsea pada 27 Mei 2017 nanti.

Masalahnya, Arsenal tidak seperti kesebelasan lain yang dengan mudah memecat manajer mereka. Bahkan Manchester United saja sudah masuk ke kategori ini setelah mereka memecat David Moyes kemudian Louis van Gaal di akhir musim lalu.

Terakhir kali Arsenal memecat manajer mereka adalah saat Arsenal finis di bawah Tottenham. Saat itu adalah tahun 1995, Spurs berada di peringkat ketujuh, sementara Arsenal di posisi ke-12 (dan Chelsea di posisi ke-11), dan George Graham-pun dipecat sebagai manajer The Gunners.

Sejak Graham dipecat, Wenger kemudian menjabat sebagai manajer Arsenal. Sejak Wenger menjadi manajer Arsenal itu pula Arsenal belum pernah finis di bawah Spurs, kecuali musim ini di mana Spurs berhasil finis sebagai runner-up dan memastikan diri tak bisa dikejar lagi oleh Arsenal sejak pekan ke-35 (Spurs 2-0 Arsenal).

Jadi, jika Wenger dipecat atau setidaknya tidak memperpanjang kontraknya di Arsenal untuk musim berikutnya, maka kita akan kedapatan sebuah déjà vu: Semuanya gara-gara Spurs finis di atas Arsenal.

Arsenal dan Wenger harus sadar, musim ini London Utara adalah milik Spurs. Itu adalah fakta yang sangat menyakitkan karena Arsenal sudah menjadi rajanya London Utara sejak 1996.

Namun, Arsenal dan Spurs juga tidak boleh serakah di dalam dunia kecilnya seolah sepakbola itu adalah urusan London Utara saja. Finis di bawah Spurs bukanlah sebuah kiamat. Padahal di London masih ada Chelsea yang menjuarai Liga Primer, atau bahkan di Inggris saja masih ada Liverpool dan Manchester United yang memiliki gelar lebih banyak daripada mereka. Belum lagi jika kita membicarakan Eropa dan dunia.

Itu juga kenapa, jika kita menghakimi musim ini sebagai musim yang buruk bagi Arsenal dan Wenger, itu adalah penghakiman yang terlalu terburu-buru.

Bagaimanapun, Arsenal masih berpeluang mendapatkan sebuah trofi di akhir Mei ini. Mereka akan menghadapi Chelsea di final Piala FA. Chelsea sendiri berpeluang mencatatkan double untuk mengawinkan dua gelar domestik, yaitu trofi Liga Primer dengan trofi Piala FA.

Solusi terbaik untuk Arsenal dan Wenger

Kesuksesan bisa diukur dari berbagai perspektif. Satu hal yang Wenger harus sadari jika ia memikirkan kesuksesan Arsenal yang memengaruhi nasibnya, yang memengaruhi suara-suara hujatan (Wenger Out) dan dukungan (In Arsène We Trust), ia bisa melupakannya jauh-jauh pikiran tersebut karena kadang kedua hal itu (sukses dan dipecat) tidak berhubungan sebab-akibat.

Kalau tidak percaya, ada lho manajer yang baru menjuarai Piala FA tapi langsung dipecat kesebelasannya. Ia adalah Louis van Gaal musim lalu.

Sekarang, yang harus Wenger pikirkan sebaiknya adalah bagaimana caranya untuk mendapatkan dukungan penuh dari seluruh suporter (termasuk mereka yang menyuarakan “Wenger Out”) di sisa masa jabatannya. Ya, percayalah kepada saya, itu mungkin terjadi. Asal, memang ada syaratnya.

Untuk mendapatkan dukungan penuh, Wenger harus memberikan kepastian kepada para suporter. Kepastian yang saya maksud adalah kepastian soal masa jabatan.

Jika saja Wenger berkata dari awal kalau musim ini (2016/2017) adalah musim terakhirnya bersama Arsenal, saya berani taruhan, ia akan mendapatkan dukungan penuh dan sambutan yang hangat di setiap pertandingan The Gunners.

Menurut ilmu psikologi, hal tersebut bisa terjadi lantaran para pendukung (sesuai namanya: orang-orang yang melakukan dukungan) akan tergerak hatinya mendukung manajernya di sisa jabatannya ini. Bahkan jika sekarang Wenger berkata kalau final Piala FA adalah pertandingan terakhirnya, saya optimis ia akan mendapatkan dukungan tersebut.


Baca juga: Ilmu Psikologi Menunjukkan Jika Wenger Akan Bertahan


Wenger sendiri yang pernah berkata pada April 2008: “Aku selalu mengatakan jika seorang manajer memiliki kisah cinta kepada kesebelasan [yang ia latih], dan ia harus berperilaku laiknya itu akan menjadi kisah cinta untuk selamanya. Tapi [sebaiknya ia] tidak cukup bodoh untuk percaya [kisah cinta] itu tidak akan pernah berakhir.”

Dengan memberikan kepastian kapan “kisah cintanya” kepada Arsenal ini akan berakhir, maka Wenger bisa mendapatkan dukungan tersebut, seberapa buruknya pun penampilan Arsenal. Biar bagaimanapun, para penghujat yang masih menjadi pendukung Arsenal tetap akan berterimakasih jika Wenger sudah tidak menjabat sebagai manajer lagi.

Ia bisa memberikan opsi bagi para suporter, antara pertandingan Piala FA sebagai pertandingan terakhirnya, musim depan sebagai musim terakhirnya, atau dua musim ke depan (sesuai dengan sodoran kontrak) sebagai dua musim terakhirnya. Sebaiknya tidak lebih lama dari itu, karena kalau lebih lama, bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya.

Menanti kepastian "kisah cinta" Wenger

Tidak ada kisah cinta yang selamanya tidak pernah berakhir. Tidak ada manajer yang selamanya bertahan di satu kesebelasan (kecuali kamu sedang main video game).

Arsène Wenger sudah menjadi manajer yang langka di sepakbola modern karena sudah hampir 21 tahun berada di satu kesebelasan yang sama, yang identik dengan nama depannya, yaitu Arsenal.

Masih dari era sepakbola modern yang sama, Sir Alex Ferguson adalah manajer terakhir yang mampu bertahan sangat lama di sebuah kesebelasan Manchester United, yaitu 24 tahun lamanya. Lihatlah setelah Ferguson pensiun, United mengalami penurunan dan sudah memecat dua manajer.

Jangan sampai Arsenal menjadi “Manchester United berikutnya” karena memecat, memberhentikan, atau kehilangan Wenger terlalu dini, tanpa pertimbangan yang matang, dan tanpa rasa terimakasih yang tulus dan mendalam. Wenger dan Ferguson adalah generasi terakhir manajer yang bisa bertahan lama di sebuah kesebelasan.

Apakah musim ini merupakan musim yang sukses bagi Arsenal dan Wenger karena gugur di babak kelima (perempat-final) Piala Liga Inggris (EFL Cup) dan gugur di babak 16 besar Liga Champions UEFA, tapi di saat yang bersamaan masih berpeluang finis di empat besar dan menjuarai Piala FA?

Sejujurnya, hal di atas bukanlah inti dari semua ini, melainkan: kapan sesungguhnya kepastian Wenger akan mengakhiri kisah cintanya kepada Arsenal? Jika ia sudah bisa menentukannya, maka seluruh pendukung Arsenal akan berada di belakangnya untuk mendukungnya, untuk benar-benar menjadi suporter.

Karena semuanya kembali kepada awal tulisan ini: Kita semua umumnya menyukai sebuah kepastian.

Komentar