Gelora Bung Tomo Belum Bersahabat dengan Bonek (Bagian 7)

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Gelora Bung Tomo Belum Bersahabat dengan Bonek (Bagian 7)

Setelah status Persebaya disahkan kembali PSSI dan dilaksanakan RUPS, 70% saham Persebaya dimiliki Jawa Pos melalui anak perusahannya yaitu PT. Jawa Pos Sportainment. Sementara 30% saham lain dimiliki 20 klub anggota Persebaya yang tergabung dalam Koperasi Surya Abadi Persebaya (KSAP). Persebaya pun langsung menggelar pertandingan kandang pertama secara resmi di Gelora Bung Tomo (GBT) setelah sekitar empat tahun tak berkompetisi. Walau laga melawan PSIS Semarang itu hanya bertajuk uji tanding, sebanyak 80 ribu Bonek hadir di GBT dan masih banyak yang tidak bisa masuk ke dalam tribun.

Setidaknya membutuhkan dua stadion pada laga itu untuk menampung Bonek. Situasi itu membuktikan bahwa seluruh Bonek bergembira atas kembalinya Persebaya secara resmi. Dukungan Bonek yang berada di dalam stadion pun tetap konsisten seperti sebelum dibekukan PSSI, yaitu tetap meriah di dalam maupun luar lapangan. Bahkan cenderung lebih baik karena tidak terdengar nyanyian yang berbau mengejek suporter-suporter lain. Gambaran itu diceritakan Syaiful Antoni selaku dirigen atau capo di Tribun Utara GBT. Waktu itu kesulitannya adalah tidak semua Bonek yang hafal dengan nyanyian.

Tapi Bonek yang masih terlihat kompak mendukung Persebaya setelah empat musim tidak berkompetisi, rupanya Syaiful selalu mengadakan kegiatan dengan Bonek lain untuk latihan dan menghafalkan lagu-lagu dukungan untuk Persebaya. Selain agar Bonek hafal dengan lagu dukungan Persebaya, sosialisasi itu juga ditujukan supaya terkordinasi dengan rapi. Pelatihan itu dilakukan setiap minggu yang awalnya cuma diikuti ratusan orang sampai ribuan orang dan videonya diunggah ke situs Youtube.

"Agar Bonek itu hafal, masa-masa kesulitan itu pernah dirasakan tapi itu bukan sebuah ganjalan bagi kawan-kawan Bonek untuk semangat koreografi dan kreativitas-kreativitas yang lain. Itu adalah cara untuk memotivasi dan kreativitas agar saat pertandingan bergulir, Bonek lebih siap dari sisi mendukung sebuah nyanyian membakar pemain di lapangan," akunya ketika diwawancara di Warkop Pitulikur kawasan Ngagel, Wonokromo, Surabaya.

Persebaya sendiri langsung dipersilahkan mengikuti kompetisi Liga 2 2017. Kemudian Persebaya pun melakoni pertandingan resmi pertamanya setelah dibekukan sekitar empat tahun menghadapi Madiun Putra di Gelora Bung Tomo (GBT), Kamis (20/4). Skor berakhir dengan 1-1, tapi bukan hasil akhir pertandingan yang menjadi masalah bagi Bonek pada laga perdana Persebaya, melainkan kebijakan-kebijakan di GBT itu sendiri. Masalah sudah terjadi sebelum pertandingan karena harga tiket single game sebesar 50.000 dianggap terlalu mahal. Saat itu terjadi perdebatan yang cukup keras antara Bonek dengan Manajemen Persebaya. Bonek merasa harga 50.000 masih belum layak diberlakukan Persebaya saat ini, apalagi sudah hampir empat tahun tidak bertanding di dalam kompetisi resmi.

Bonek menganggap bahwa seharusnya manajemen memanjakan pendukung Persebaya setelah berhasil berperan besar mengembalikan status kesebelasannya. Artinya bukan menjadikan Bonek sebagai suporter yang manja, tapi perjuangan selama empat tahun layak diberikan kelonggaran-kelonggaran, salah satunya dengan harga tiket yang tidak terlalu mahal. Harga tiket yang dicanangkan manajemen dianggap lebih layak diberlakukan bagi kesebelasan Liga 1. Toh Persegres Gresik United pun menghargai tiket single game sebesar 20.000 walau berkompetisi di Liga 1.

Bonek menilai bahwa tiket pertandingan seharga 50.000 akan bisa lebih diterima jika Persebaya berkompetisi di Liga 1. Dan akhirnya rasa keberatan Bonek mengenai tiket itu bisa turun harganya menjadi 35.000. "Sekarang diturunkan jadi 35.000 dan itu bisa diterima. Melawan Madiun Putra, kami membeli tiket seharga 35.000 ribu, itu pun terbesar di Liga 2 dibandingkan dengan klub-klub lain. Kami akan selalu protes setiap ada pertandingan yang menurut kami rumit terhadap suporter, tidak nyaman, kami akan selalu protes, walaupun gagasan manajemen itu ingin menyelenggarakan pertandingan dengan nyaman, tapi nyatanya tidak terwujud kenyamanan di suporter," tutur Andie Peci sebagai Juru Bicara Bonek ketika diwawancara di Warkop Pitulikur.

Di sisi lain, ada pun Bonek yang setuju dengan harga tiket sebesar 50.000 asal memang diperuntukkan bagi kemajuan Persebaya. Namun seorang Bonek bernama Sabong tidak setuju jika manajemen menjual harga tiket 50.000 karena memanfaatkan aji mumpung kembalinya Persebaya yang ditunggu-tunggu banyak rakyat Persebaya. "Soal anak yang di bawah umur kan kasihan. Kalau di bawah tujuh tahun harus bayar tiket full kan enggak adil. Intinya, anak-anak protes soal tiket ini soal anak-anak yang harus bayar tiket secara full juga," ujarnya ketika diwawancara di kawasan Gubeng Surabaya.

Selain urusan harga, proses pendisiplinan pertandingan melalui sistem tiket yang digalakan manajemen sudah dianggap membaik oleh Bonek. Soal pembelian tiket sudah relatif lebih baik karena calo sudah tidak terlihat sejak pertandingan melawan Madiun Putra. Pembelian tiket online, sistem tiket terusan dan tiket barcode pun sudah selesai. Begitu pun dengan adanya pemeriksaan tiket tiga lapis sehingga visi misi #noticketnogame bisa berjalan cukup mulus. Namun catatan-catatan kritis dari Bonek kepada panpel adalah soal akses menuju tribun GBT itu sendiri.

Keefektifan Bonek untuk menonton Persebaya itu dituntut harus segera diselesaikan. Sebab akses Bonek menuju pintu masuk stadion, minimal membutuhkan waktu setengah jam karena harus melewati beberapa pintu masuk. Padahal area luar GBT sangat luas walau infrastrukturnya belum memenuhi secara keseluruhan. Bonek menyarankan agar penjagaan tiket tiga lapis yang sudah bagus untuk pendisplinan itu agar lebih dipermudah lagi aksesnya. Apalagi dengan mengingat luasnya area luar GBT itu sendiri.

"Kami memang akan mendorong untuk pertandingan Persebaya itu ramah kepada perempuan dan anak. Itu memang hal yang prinsip di pertandingan sepakbola. Kenapa penting, itu karena memang pengalaman kemarin (melawan Madiun Putra) itu banyak anak anak kecil yang pingsan, ibu-ibu menangis karena susahnya akses parkiran menuju tribun. Artinya memang perlu disiapkan jalur khusus untuk anak-anak dan ibu-ibu. Karena berbicara seperti itu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Salah satunya perlindungan terhadap perempuan, anak dan difabel. Karena yang mencintai sepakbola tidak hanya murni kepentingan-kepentingan remaja. Banyak kepentingan, itu perlu diberikan jalur khusus agar anak ibu bisa senyaman mungkin," kata Andie.

Jangan Bungkam Ekspresi Dukungan Kami!

Selain akses di luar GBT, masalah di dalam stadion itu pun menyisakan berbagai masalah. Ketika pertandingan sepakbola seharusnya menjadi luar biasa karena gairah suporternya di setiap pertandingan, Bonek merasa menjadi kaku karena regulasi pada laga resmi yang ditunggu-tunggunya. Bonek menilai harus ada satu atau dua regulasi yang diperdebatkan ulang. Salah satunya yaitu soal pelarangan penggunaan giant flag (bendera raksasa) di setiap pertandingan Persebaya. Sebab pada pertandingan melawan Madiun Putra, pihak keamanan menyita alat-alat pendukung pengibaran giant flag yang dikhawatirkan menjadi alat kekerasan di stadion.

"Oke mungkin soal flare (suar) dan bom smoke (bom asap) bisa menjadi perdebatan panjang. Tapi ada beberapa prinsip misalkan soal penggunaan bendera giant flag itu seharusnya bisa diberikan kelonggaran karena toh itu juga satu bagian kegairahan sepakbola itu sendiri. seharusnya itu diperbolehkan ketika suporter membawa panji-panji klub yang dicintainya itu di dalam klub sepakbola, termasuk Bonek itu sendiri. Kami tentu sebenarnya menolak kalo memang ada pelarangan giant flag di dalam stadion karena itu bagian dari menggelorakan dukungan kepada klub itu," tegas Andie.

Selain pelarangan giant flag, Bonek juga keberatan dengan aturan dilarangnya memasang banner (spanduk) di tribun timur stadion. Andie sendiri belum menemukan regulasi internasional soal pelarangan pemasangan banner. Lagipula menurutnya bahwa pemasangan banner itu tidak mengganggu pertandingan sepakbola seperti penggunaan red flare atau smoke bomb. Andie menegaskan bahwa ia menolak adanya pelarangan pemasangan banner di tribun timur demi kepentingan-kepentingan iklan bisnis semata di pertandingan sepakbola.

"Karena kan memang asumsinya memang begitu. Dilarangnya pemasangan banner di tribun timur itu untuk kepentingan bisnis, televisi, menampilkan sesuatu yang kelihatannya mapan-mapan saja, ada iklannya. Tidak boleh ada dukungan dari banner-banner itu sendiri agar terlihat yang indah-indah saja di televisi. Sebenarnya kami hanya ingin menyampaikan bahwa industri sepakbola Indonesia tidak boleh kaku terhadap persoalan kegairahan-kegairahan suporter, termasuk pemasangan banner-banner itu sendiri," jelas Andie.

"Kemarin itu kaget karena tidak ada sosialisasi giant flag, roll paper itu dilarang, spanduk itu dilarang. Dan itu terjadi di saat match dan itu terjadi pro kontra dan kekecewaan para Bonek. Dari sinilah terjadi pertemuan dan permusyawarahan akbar untuk mencari solusi dengan manajemen tanpa menyakiti siapapun. Jadi secara penyelenggara pertandingan, masih jauh dari kata bagus atau baik," tambah Syaiful.

Aturan-aturan dengan dalih pendisiplinan suporter di stadion itu membuat kekakuan tersendiri bagi Bonek yang sudah tidak menonton Persebaya di pertandingan resmi sejak dimatikan PSSI pada 2013 lalu. Bonek sendiri hanya ingin mengembalikan aura magis dan gelora yang luar biasa di dalam pertandingan Persebaya. Sebab hanya sepakbola yang mampu menampilkan sebuah pertandingan olahraga dengan gelora yang luar biasa oleh puluhan ribu suporter. Ada aura perayaan, kesenangan, kebanggaan yang menyatu di dalam pertandingan sepakbola.

Maka dari itu pertandingan-pertandingan sepakbola akan menjadi luar biasa ketika suporternya bergairah ketika menontonnya. Sepakbola tidak akan bergairah ketika para penontonnya kaku diam saja tanpa adanya suara mereka. Tidak mungkin sepakbola dicintai oleh banyak orang kalau regulasi-regulasinya tidak mencerminkan aura kegembiraan, semangat dan kegairahan itu semua. Maka bukan tanpa alasan juga bahwa Bonek menginginkan adanya satu atau dua regulasi yang harus diperdebatkan ulang.

Bersambung . .


Tulisan ini adalah bagian ketujuh dari kumpulan hasil liputan khusus kami ke Surabaya untuk mendalami Persebaya Surabaya dan Bonek.

Kumpulan tulisan mengenai Persebaya bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 1: Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir
Tulisan 2: Proses Pembentukan Budaya Itu Bernama Pembinaan Usia Muda
Tulisan 3: Menuju Era Baru Persebaya dan Tantangan yang Harus Dijawab Manajemen

Sementara kumpulan mengenai Bonek bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 4: Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek
Tulisan 5: Identitas Bonek Melalui Aksi Estafetan
Tulisan 6: Upaya-upaya Bonek untuk Mengubah Stigma Negatif di Media dan Masyarakat
Tulisan 7: Gelora Bung Tomo Belum Bersahabat dengan Bonek
Tulisan 8: Lebih Dekat dengan Perjuangan Andie Peci

Komentar