Transformasi Osvaldo Lessa dari Pelatih Fisik Menjadi Pelatih Kepala

Cerita

by redaksi

Transformasi Osvaldo Lessa dari Pelatih Fisik Menjadi Pelatih Kepala

Beberapa hari sebelum Liga 1 Indonesia bergulir, manajemen Sriwijaya FC membuat keputusan mengejutkan dengan mendepak Widodo Cahyono Putro dari kursi kepelatihan. Keputusan tersebut diambil usai rapat evaluasi yang dilakukan manajemen. Tonggak kepelatihan kesebelasan berjuluk “Laskar Wong Kito” itu kemudian beralih kepada Osvaldo Lessa, pelatih berkebangsaan Brasil yang sempat menukangi Persipura Jayapura.

Penunjukan Lessa sebagai arsitek Sriwijaya FC bukan tanpa alasan. Pelatih berusia 50 tahun itu ditunjuk lantaran memiliki pemahaman yang baik soal kultur sepakbola Indonesia. Selain itu, ia juga memiliki rekam jejak yang baik sebagai pelatih, dengan membawa Persipura menembus babak semi-final Piala AFC 2015.

Terlalu dini memang membicarakan kualitas Lessa menukangi Sriwijaya FC di kompetisi sepak bola negeri ini. Maklum, Liga 1 baru berjalan tiga pekan, sehingga penilaian terhadap sepak terjang Lessa masih terlalu prematur bila dilakukan sekarang.

Namun, melihat kiprahnya dalam tiga pertandingan awal terlihat Lessa mampu memberikan dampak positif bagi perjalanan Sriwijaya di awal kompetisi. Dari tiga laga yang telah dilakoni, Sriwijaya berhasil mengumpulkan empat poin hasil dari satu menang, satu imbang, dan sekali kalah. Hasil tersebut membuat Sriwijaya FC untuk sementara duduk di posisi 7 tabel klasemen Liga 1.

Menarik tentunya melihat kiprah Lessa sebagai seorang pelatih kepala. Karena sebelum menjadi pelatih Persipura, Lessa tercatat memangku jabatan sebagai seorang pelatih fisik sejak tahun 2009 hingga 2015. Tidak ada larangan bagi seorang pelatih fisik untuk naik pangkat menjadi seorang pelatih kepala, asalkan ia memiliki pemahaman taktikal yang mumpuni.

Alih status pelatih fisik menjadi pelatih kepala sebenarnya pernah terjadi di sepak bola Indonesia pada medio 1993. Saat itu, Persib Bandung mengangkat Indra Thohir yang sebelumnya menjadi pelatih fisik sejak tahun 1984. Penunjukan Thohir ternyata memberi dampak positif bagi kesebelasan berjuluk “Maung Bandung” itu. Gelar juara Perserikatan terakhir musim 1993/1994 dan Liga Indonesia edisi pertama musim 1994/1995 berhasil direngkuh di bawah komando Thohir.

Kembali ke Lessa, ketika naik pangkat sebagai pelatih kepala untuk menggantikan peran sentral Jackson F. Tiago, ia mampu menjawab kepercayaan itu dengan pencapaian yang cukup baik. Membawa Persipura lolos hingga semifinal Piala AFC tentu sebuah prestasi yang tak banyak para pelatih di Liga Indonesia bisa mencapainya.

“Di Persipura sebenarnya saya dapat dua fungsi, pertama saya mendapat tugas sebagai pelatih fisik, kemudian saya naik menjadi pelatih kepala. Saya mulai karier sebagai pelatih di Piala AFC. Karena ada sanksi FIFA saya mundur, saya kembali lagi ada sedikit masalah dengan Persipura akhirnya saya keluar,” ucap Lessa saat ditemui di Graha Persib, JL Sulanjana, Kota Bandung, belum lama ini.

Lessa mengungkapkan, banyak orang di Indonesia bertanya-tanya soal alih statusnya dari pelatih fisik menjadi pelatih kepala. Maklum, umumnya para pelatih yang menukangi kesebelasan di Indonesia merupakan pelatih bersertifikat atau mantan pemain yang paham soal taktik dan strategi permainan di lapangan hijau. Namun, pelatih kelahiran Rio de Janeiro itu mengatakan di Brasil itu menjadi sebuah hal yang lazim.

Lessa melanjutkan, pemahamannya soal taktik dan strategi sudah diasahnya sejak remaja. Hal tersebut didapatnya karena sering datang ke lapangan untuk bermain atau sekadar menyaksikan pertandingan sepak bola. Menurutnya, hal tersebut juga dilakukan oleh banyak pelatih-pelatih asal Brasil untuk memahami dan belajar soal taktik dan strategi dalam permainan sepakbola.

“Di Indonesia mungkin mereka bingung, tapi di Brasil itu biasa. Banyak pelatih memulai karier dari pelatih fisik. Kami sejak kecil sudah dibiasakan untuk mengenal sepakbola. Saya memang dari pelatih fisik terus jadi pelatih kepala. Itu jalan biasa di Brasil. Di sini mungkin pelatih fisik akan menjadi pelatih fisik sampai akhir karier mereka. Tapi di Brasil beda, hal ini lazim terjadi,” ungkapnya.

Filosofi

Soal filosofi permainan, Lessa memang tidak menyebut secara jelas gaya permainan seperti apa yang ia suka. Tapi, mantan pelatih fisik Al Thai itu memiliki gaya kepelatihan modern. Artinya, ia menyukai pemain yang mengerti tentang filosofi permainan sepak bola saat ini. Dikatakan, pemain saat ini dianjurkan untuk bisa berperan di lebih dari satu posisi. Sebab, hal tersebut bisa membuat taktikal yang dinginkannya berjalan sempurna.

“Satu pemain tidak hanya main di satu posisi saja. Dia harus mengerti banyak posisi. Dalam pertandingan, kalau harus berubah, harus berubah, dia harus mengerti. Ini main taktik, kalau pemain sudah mengerti itu taktik bisa berjalan baik,” tegasnya.

Selain itu, merujuk pada pertandingan terakhirnya melawan Persib Bandung akhir pekan lalu, terlihat sekali bagaimana Lessa menyukai gaya permainan dengan proses bola pendek. Meski laga tersebut berakhir dengan kekalahan 0-2, namun gaya permainan taktis dari kaki ke kaki berhasil diterapkan Sriwijaya FC pada babak kedua. Terutama saat menjelang berakhirnya pertandingan, sistem permainan pendek Sriwijaya berhasil membuat “Maung Bandung” kalang kabut. Bahkan, dalam beberapa momentum Pelatih Persib, Djadjang Nurdjaman, terlihat tak mampu menyembunyikan ekspresi kekhawatirannya dengan gelombang serangan yang dilakukan oleh Hilton Moreira dan kawan-kawan.

“Saya kurang suka dengan permainan kami di babak pertama. Tapi di babak kedua, Sriwijaya bermain sangat baik. Kami, berhasil membangun serangan melalui bola-bola pendek dan itu sangat efektif. Tapi, Persib berhasil mencuri gol di babak kedua dan kami kalah 2-0. Selamat untuk Persib,” ungkapnya.

(SN)

Komentar