Rivalitas Semu Suporter Layar Kaca

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Rivalitas Semu Suporter Layar Kaca

Pada pertengahan Januari 2017, para penikmat Liga Primer Inggris disuguhkan pertandingan antara tuan rumah Manchester United menghadapi Liverpool di Stadion Old Traford, Minggu (15/1). Seperti yang diketahui bahwa pertemuan antara kesebelasan itu selalu mencuri perhatian yang cukup tinggi.

Laga bertajuk North West Derby ini hampir setara dengan El Clasico di Spanyol antara Barcelona melawan Real Madrid. Berbagai media seringkali jauh-jauh hari sebelum laga dimulai sudah mewacanakan tentang pertandingan tersebut melalui beragam jenis tulisan. Bahkan tulisan berjalan di iklan digital Old Trafford maupun Anfield sudah mencantumkan tanggal main laga tersebut dua atau tiga pekan sebelum pertandingan dilangsungkan.

Hawa-hawa itu tidak lepas dari panjangnya sejarah tentang dua kesebelasan tersebut. Sudah bukan hal baru bahwa kedua kesebelasan itu memiliki rivalitas yang sangat tinggi. Bahkan fenomena penggemar United atau Liverpool di Indonesia, justru lebih rela kesebelasannya dikalahkan rival sekotanya. Di Indonesia, tidak jarang pendukung United lebih rela kesebelasan kesukaannya itu dikalahkan Manchester City sebagai rival sekotanya ketimbang ditaklukkan Liverpool. Begitu pun sebaliknya, para pendukung Liverpool di Indonesia lebih rela dikalahkan Everton sebagai rival satu kotanya ketimbang ditaklukkan United. Alasannya pun cukup beragam namun sederhana dan sepele. Mayoritas beralasan karena persaingan soal gelar, klasemen dan insiden-insiden di dalam lapangan.

Tentu masih ingat ketika murkanya para pendukung United di Indonesia karena aksi rasial Luis Suarez kepada Patrice Evra. Selanjutnya, para pendukung Liverpool di Indonesia dibuat geram karena Evra menolak jabat tangan Suarez pada pertandingan Liga Primer. Mereka semakin dibuat panas lagi karena Liverpool kalah pada pertandingan itu dan Evra merayakan kemenangan dengan atraktif di hadapan Suarez ketika pertandingan selesai. Insiden itu semakin membumbui kebencian antara kedua kubu setelah United mengalahkan Liverpool soal jumlah peraihan gelar juara EPL. Sejauh ini United berhasil merengkuh 20 juara EPL.

Suasana panas ketika United berhasil meraih gelar EPL yang ke 19. Melangkahi gelar 18 kali gelar juara Liga Inggris yang diraih Liverpool. Hal itu semakin memanaskan persaingan antara United dengan Liverpool yang sebelumnya hanya dibumbui persoalan kompetitif di klasemen EPL dan pertemuan sengit di lapangan. Jumlah yang membuat senjata para pendukung Liverpool cuma membalasnya dengan kebanggaan raihan lima gelar Liga Champions. Satu kompetisi tersengit di Eropa yang baru diraih United sebanyak tiga kali.

Namun sebenarnya, persaingan antara United dan Liverpool bukan soal kompetitif di sepakbola saja. Sejarah dan gengsi perekonomian kota berbicara di hal yang mendasari persaingan mereka. Uang dan bisnis menjadi persoalan kedua kubu pasca Revolusi Industri pada 1760-an. Revolusi Industri merupakan tanda titik balik sejarah Inggris paling penting. Hampir di setiap aspek kehidupan dipengaruhi cara-cara khusus agar pendapatan rata-rata penduduk menunjukkan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Beberapa ekonom menganggap bahwa dampak utama Revolusi Industri yaitu persoalan standar hidup masyarakat umum telah meningkat secara konsisten. Hal itu termasuk bagi Kota Manchester yang merupakan basis industri tekstil terkenal di Inggris maupun Liverpool sebagai daerah pelabuhan utama di tanah Britania tersebut. Setelah Revolusi Industri, kedua kota yang cuma berjarak sekitar 50 km itu saling melengkapi dan menjadi perekonomian yang kuat di kawasan North West. Barang dan produk Manchester mengandalkan pelabuhan Liverpool menjadi jalur dan masuknya barang serta produk Manchester.

Tapi pergesekan antar kota terjadi sejak Daniel Adamson memprakarsai pembangunan sebuah kanal bernama Manchester Ship Canal pada 1894. Pembangunan itu tidak lepas dari aksi protes kepada pelabuhan Liverpool yang memberlakukan tarif mahal bagi jalur distribusi produk-produk Manchester. Kemudian adanya Manchester Ship Canal itu membuat kapal-kapal perdagangan tidak perlu singgah langsung di pelabuhan Liverpool.

Dampaknya, pendapatan masyarakat Liverpool yang bergantung pada pelabuhan pun menurun. Banyak warga Liverpool yang kehilangan mata pencahariannya di kawasan pelabuhan. Maka dari itu masyarakat Liverpool menuding Manchester sebagai penyebab kekacauan ekonomi daerahnya atas dibangunnya kanal tersebut.

Amarah para masyarakat Liverpool pun dituangkan ke dalam pertandingan sepakbola. Sebab melalui sepakbola-lah mereka bisa melampiaskan kekesalan terkait kondisi ekonomi dan sosial dalam arti lain. Melalui pertandingan sepakbola jugalah masyarakat Liverpool bisa menemui secara langsung orang-orang Manchester dengan jumlah yang sama-sama besar. Melampiaskan kekesalan atas kekacauan yang terjadi di daerahnya yang difasilitasi olahraga bernama sepakbola. Alasan yang cukup logis bagi kesebelasan sepakbola yang mewakili daerah kelahiran dan kehidupannya masing-masing. Perselisihan pun kerap kali terjadi bukan karena pertandingan sepakbola, melainkan karena situasi antar kota yang menyangkut ekonomi dan sosial antara Manchunian dan Scousers.

Oleh karena itu, agak konyol ketika mendengar kabar adanya keributan di Indonesia antara pendukung United dengan Liverpool ketika keduanya hadir dalam sebuah nonton bareng. Entah apa yang mereka bela dan perjuangkan, karena kecil kemungkinannya mereka merupakan Manchunian atau Scousers. Perlu diketahui, Manchunian dan Scousers adalah orang yang berasal dari kota Manchester untuk Manchunian dan dari kota Liverpool untuk Scousers, yang keduanya tentu mewakili rivalitas kedaerahan mereka masing-masing.

Masing-masing kesebelasan maupun suporter berseteru bukan tidak lain karena memiliki sejarah yang kental. Tidak hanya Derby North West, begitu pun dengan pertandingan panas lainnya seperti Derby della Capitale antara AS Roma dengan Lazio karena penolakan merger yang digalakan Benito Musolini. Saling bencinya Barcelona dengan Real Madrid dalam El Clasico karena soal nasionalisme terhadap Spanyol. Bahkan di Argentina sekalipun antara Boca Juniors dengan River Plate dibumbui kebencian antara imigran dengan kaum-kaum borjuis yang membuat pertandingan itu bernama Super Clasico.

Sekarang ketika bentrokan antara suporter United dan Liverpool di Indonesia terjadi, apakah saat itu mereka sedang memperjuangkan hak ekonomi di kawasan North West yang letaknya sangat jauh dari tempat mereka lahir dan bertahan hidup sehingga rela bergesekan dengan pihak rival? Jika jawabannya adalah tidak, berarti rivalitas North West Derby mereka semu, yang justru mengedepankan sifat barbar khas pendukung sepakbola Indonesia. Dan ini kerap terjadi juga pada pendukung kesebelasan lain yang notabene hanya menonton lewat layar kaca.

Baca juga: Permusuhan Antar Suporter Sepakbola di Indonesia Terlalu Barbar

Komentar