Hal Positif Jika Ada 48 Tim di Piala Dunia

Sains

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Hal Positif Jika Ada 48 Tim di Piala Dunia

Jauh sebelum Piala Dunia setenar sekarang, Piala Dunia pertama di Uruguay pada 1930 hanya berjumlah 13 tim peserta saja. Jumlah ini kemudian terus bertambah dan seolah mencapai angka idealnya pada 32 tim.

Pada Selasa kemarin (10/01), Presiden FIFA saat ini, Gianni Infantino, akhirnya merealisasikan niatnya untuk meningkatkan jumlah peserta Piala Dunia untuk edisi 2026 nanti sebanyak 50%, yang sebelumnya 32 tim menjadi 48 tim. Keputusan ini kemudian membuat banyak pro dan kontra.

Dari sekian banyak pro dan kontra, saya mendapatkan beberapa hal positif sejauh ini, yang justru mendukung penyelenggaraan Piala Dunia dengan format 48 tim, tapi memang bukan dari perspektif sepakbola, melainkan dari perspektif turisme olahraga, manajemen, sosial, budaya, dan ekonomi.

Jadwal dan efek kelelahan yang tidak berubah

Sebelum membahas ke perspektif turisme olahraga, manajemen, sosial, budaya, dan ekonomi; terlebih dahulu mari kita melihat dampak Piala Dunia 48 tim dari perspektif yang terdekat dari sains olahraga, yaitu kelelahan dan penjadwalan.

Ke-48 tim nasional tersebut akan dibagi ke dalam 16 grup yang masing-masing grupnya berisi tiga tim. Dua tim teratas akan lolos ke babak gugur (knock-out) 32 besar. Maka secara total, Piala Dunia berformat 48 tim ini akan menghasilkan 80 pertandingan.

Baca selengkapnya: Peserta Piala Dunia 2026 Bertambah Menjadi 48 Tim

Sebagai perbandingan, pada gelaran Piala Dunia yang sebelum-sebelumnya yang berformat 32 tim, terdapat total 64 pertandingan.

Jika kita melihat rentang waktu yang satu bulan penyelenggaraan Piala Dunia, satu tim yang sampai ke empat besar (juara, runner-up, peringkat ketiga, dan keempat) akan memainkan tujuh pertandingan dari awal turnamen sampai final. Hal ini akan tetap sama pada penyelenggaraan Piala Dunia dengan format 48 tim.

Ini artinya, jumlah pertandingan pada rentang satu turnamen memang akan bertambah, tapi jumlah pertandingan yang dilalui oleh tim yang bisa mencapai empat besar akan tetap sama, yaitu tujuh pertandingan.

Dari jumlah pertandingan di atas, maka efek kelelahan akan tetap sama bagi pemain yang timnasnya bisa sampai ke empat besar. Perbedaannya tidak akan menjadi signifikan kecuali mengenai akumulasi dari jarak tempuh, cuaca, dan ketinggian daerah; yang ketiganya akan sangat bergantung dari siapa yang akan menjadi tuan rumah.

Tuan rumah Piala Dunia 2026 sendiri memang belum ditentukan. Namun membaca pola yang ada sejauh ini, ada kemungkinan Piala Dunia 2026 nanti akan diselenggarakan di zona CONCACAF (Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Kepulauan Karibia) atau UEFA (Eropa) lagi.

Atau mungkin bisa saja Piala Dunia akan dibuat di berbagai negara seperti Piala Eropa 2020? Dan jangan lupa juga kalau ada zona OFC (Oseania) yang belum pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Semakin banyak negara justru bisa semakin menarik

Dalam pelaksanaannya, meskipun belum ada informasi pasti, jumlah peserta Piala Dunia berformat 48 tim akan terbagi jatahnya sebagai berikut: Eropa 16 tim, Afrika 9, Asia 8.5, Amerika Selatan 6, CONCACAF 6.5, Oseania 1, dan tuan rumah 1. Angka setengah (0,5) di atas berarti adalah tim dari konfederasi tersebut harus melakukan play-off.

Sebagai perbandingan, pembagian jumlah peserta Piala Dunia berformat 32 tim adalah sebagai berikut: Eropa 13 tim, Afrika 5, Asia 4.5, Amerika Selatan 4.5, CONCACAF 3.5, Oseania 0.5, dan tuan rumah 1.

Saat ini negara anggota FIFA berjumlah 211. Dengan 48 tim di Piala Dunia, berarti turnamen ini akan mengakomodasi 22,75% dari seluruh negara anggota mereka.

Maka tidak bisa dihindari jika format baru ini akan mengikutsertakan tim-tim cupu, terutama dari Asia, untuk bisa lolos ke babak final Piala Dunia nantinya, dengan Indonesia (semoga) adalah salah satunya.

Tapi alih-alih menjadi tidak menarik karena adanya tim-tim lemah, kita justru bisa mendapatkan sebaliknya. Dari grup berisi tiga tim ini, akan ada dua pertandingan yang sangat krusial bagi tim-tim tersebut, baik tim cupu maupun tim kuat. Dua pertandingan di grup ini akan menentukan apakah tim itu lolos ke knock-out atau harus pulang, sehingga tim akan bermain lebih serius, dan (harapannya) lebih menghibur.

Kita mungkin tidak akan menemukan lagi pemandangan biasa ketika pada grup berisi empat tim, terkadang ada tim yang sudah memastikan diri lolos atau tidak lolos, sehingga pertandingan terakhir (pertandingan ketiga) akan menjadi formalitas belaka.

Dengan format ini, maka setiap tim akan bermain serius dari awal sampai akhir turnamen, terutama di babak gugur. Babak gugur Piala Dunia berpotensi akan menjadi lebih menarik daripada sebelumnya.

Meskipun begitu, FIFA tetap harus memikirikan adanya potensi main mata pada pertandingan terakhir babak grup, karena pertandingan yang melibatkan tiga tim di dalam satu grup tidak bisa dimainkan berbarengan, kecuali memakai sistem trofeo (please, jangan). Walaupun memakai sistem trofeo-pun sebenarnya masih bisa main mata.

Tapi hal ini masih lebih bisa diterima, setidaknya, daripada format Piala Eropa dengan 24 tim yang memiliki satu grup (dari enam grup) berisi empat tim yang dua tim teratasnya lolos, sementara peringkat ketiga bisa lolos sebagai salah satu dari empat peringkat tiga terbaik. Membacanya saja sudah pusing, kan? Portugal menjuara Piala Eropa 2016 dengan cara ini: menjadi “peringkat ketiga terbaik” di grupnya.

Saking pusingnya penentuan peringkat tiga terbaik ini, kami sampai-sampai membuatkan artikel khusus. Silakan dibaca kembali bagi kamu yang ingin bernostalgia: Menentukan Peringkat 3 Terbaik dan Sistem 16 Besar EURO 2016

Puncak Piala Dunia sebagai acara sosial, budaya, dan ekonomi

Para peneliti di bidang sport tourism dan sport management sebelumnya sudah banyak melakukan tinjauan terhadap dampak acara olahraga kepada sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan dari sebuah wilayah.

Persiapan dan pelaksanaan acara olahraga, seperti Piala Dunia, Olimpiade, dan bahkan Pekan Olahraga Nasional, bisa meningkatkan pengembangan besar-besaran di sebuah negara atau kota yang secara rasional akan berdampak pada sosial, budaya, dan ekonomi.

FIFA sendiri memperkirakan akan mendapatkan keuntungan tambahan sebesar 1 miliar dolar AS (13,31 triliun rupiah) dengan ekspansi Piala Dunia menjadi 48 tim tersebut.

Namun, kita harus ingat bahwa jangan sampai pengembangan justru dilakukan secara tidak rasional. Karena hal ini akan membebani negara atau kota tersebut dengan konsekuensi yang sangat mahal, seperti misalnya Stadion Utama Riau di Pekanbaru yang merupakan salah satu contoh stadion megah yang dibangun untuk PON XVII yang sekarang ini tak terpakai, atau banyak contoh lainnya dari Brasil, Afrika Selatan, dll.

Meskipun begitu, saya bisa melihat pada jurnal-jurnal ilmiah bahwa ekpansi Piala Dunia ini berpotensi untuk memberikan efek positif bagi ekonomi, sosial, dan budaya.

Investasi akan dikembangkan di banyak negara dan kota melalui infrastruktur, yang salah satunya (harapannya) adalah pengembangan sepakbola usia muda. Selanjutnya ada kemungkinan juga kita bisa menyaksikan Piala Dunia yang “berimbang” dengan banyaknya negara Asia, Afrika, dan bahkan Oseania. Meskipun “keseimbangan” itu mungkin hanya akan terjadi di dua pertandingan pertama (babak grup).

Akan tetapi biar bagaimanapun, kita memang tidak bisa berharap sepakbola akan berkembang di acara seperti Piala Dunia (termasuk juga Olimpiade dan PON) secara kualitas permainan. Satu hal yang jelas potesial, Piala Dunia akan lebih cenderung bertindak sebagai acara sosial, budaya, dan ekonomi alih-alih acara olahraga dengan format 48 tim.

Itu yang menjadi hal positif yang bisa kita ambil dari perspektif turisme olahraga, manajemen, sosial, budaya, dan ekonomi.

Baca pembahasan yang lebih rinci di About the Game (detikSport): Keuntungan Piala Dunia dengan 48 Tim

Sumber jurnal:

  • Lohmann P, Virkki K, Cardoso G, Zouain D, Pacheco T, (2015) Analysis of Tourists’ Perception During 2014 World Cup in Brazil, Elsevier, Procedia Economics and Finance, 23, 118-122.
  • Walker M, Kaplanidou K, Gibson H, Thapa B, Geldenhuys S, Coetzee W, (2013) “Win in Africa, With Africa”: Social responsibility, event image, and destination benefits. The case of the 2010 FIFA World Cup in South Africa, Elsevier, Tourism Management, 34, 80-90.
  • Grix J, Houlihan B, (2013) Sports Mega-Events as Part of a Nation’s Soft Power Strategy: The Cases of Germany (2006) and the UK (2012), British Journal of Politics and International Relations, in press.
  • Grix J, (2012) The Politics of Sports Mega-events, Political Insight, 3, 1, pp. 4-7, April, 2012.
  • Lee C, Taylor T, (2005) Critical reflections on the economic impact assessment of a mega-event: the case of 2002 FIFA World Cup. Elsevier, Tourism Management, 26, 4, 595-603.

Komentar