Memori AFF, Cedera dan Natal yang Diimpikan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Memori AFF, Cedera dan Natal yang Diimpikan

Artikel #AyoIndonesia karya Christopel Naibaho

Piala AFF bukan lagi hal yang baru bagi Boaz Salossa. Bahkan turnamen se-Asia Tenggara itu merupakan salah satu event yang ikut membesarkan pemain kelahiran Sorong, Papua Barat, 30 tahun silam tersebut.

(Mungkin) tak ada yang bisa memungkiri kenyataan bahwa Boaz Salossa adalah salah satu pesepakbola terbaik yang pernah lahir di Indonesia. Olah bola Boci (sapaan akrab Boaz) begitu mempesona, kontrol bolanya pun aduhai, terlebih kaki kirinya yang memang begitu mematikan. Kalau dibiarkan, kakinya seolah tak berhenti mencetak gol demi gol.

Mari mundur ke 2004, tepatnya dua belas tahun silam. Siapa sangka, karir profesional sepakbola pemain bernama lengkap Boaz Theofilus Erwin Salossa itu justru berawal dari Pekan Olahraga Nasional (PON) 2004 di Palembang. Boaz bergabung bersama tim PON Papua pun sudah jauh hari. Saat usianya menginjak 15 tahun dalam sebuah pelatda panjang.

Boaz pun menjadi buah bibir. Tak hanya usianya yang masih belia, dia juga diberkahi skill mentereng. Apalagi dia berhasil membawa tanah kelahirannya Papua merengkuh trofi juara. Satu lagi, Boaz juga mengunci gelar top score pada PON tersebut dengan koleksi 10 gol. Usianya saat itu baru menginjak 18 tahun.

PON 2004 itu memang melahirkan seorang jagoan baru bernama Boaz. Dan rupanya, skill Boaz sudah terpantau oleh timnas pada saat itu yang tengah bersiap untuk menghadapi Piala Tiger 2004 (sekarang bernama Piala AFF). Peter Withe pun jatuh hati pada kemampuan Boaz. Dia pun seolah “berjudi”. Sang arsitek timnas Indonesia itu pun tak sungkan membawa sang anak ingusan bergabung bersama Kurniawan Dwi Yulianto dan kawan-kawan.

Padahal, bisa dibilang, lini depan timnas pada saat itu sudah komplit. Mulai dari Kurniawan, Ilham Jaya Kesuma, hingga Bambang Pamungkas sudah ada. Nama-nama tersebut jelas jadi jaminan timnas Indonesia tak akan kelaparan gol.

Fyi, Boaz Salossa pun saat itu masih berstatus pemain amatiran. Dia sama sekali belum merasakan atmosfer liga profesional seperti senior-seniornya di timnas. Dia masih berstatus pemain junior salah satu klub lokal Jayapura. So, Boaz mau apa di Piala Tiger?

Namun Peter Withe tetap yakin dengan mutiara dari Papua itu. Tak tanggung, pelatih berdarah Inggris itu juga mengikutsertakan pemain-pemain muda lain dalam skuad timnas. Antara lain, Mahyadi Panggabean, Hamka Hamza, Firman Utina, Agus Indra, Syasul Bahri. Seluruhnya masih berada di kisaran umur 20-21 tahun.

Ada apa dengan Peter Withe? Mungkin banyak mencerca, megira Peter Withe ibarat seperti lelucon yang ingin mempermalukan timnas Indonesia bersama pemain-pemain ingusan.

Tapi Peter Withe benar. Timnas Indonesia pada saat itu tampil beringas. Dan Boaz mampu menjadi aktor utama. Dia sukses melancarkan aksinya. Tak tanggung pula, Boaz sudah mengirim sinyal besar bahwa dia akan menjadi pemain besar nantinya. Hal itu dibuktikan Boaz dengan dua gol di partai pembuka timnas ketika menaklukkan Laos.

Duetnya bersama Ilham Jaya Kesuma sukses menjadi yang terbaik dalam ajang itu. Keduanya total mengemas sebelas gol. Di semifinal menghadapi Malaysia, Boaz juga turut andil mengantarkan kemenangan timnas. Dia turut menyumbang gol cantik saat Leg II yang berkedudukan akhir 4-1 untuk timnas yang berlangsung 28 Desember. Indonesia pun menang head to head 5-3 setelah Leg I takluk 2-1. Sebuah kado kecil bagi Boaz usai merayakan Natal, hari besar untuk Agama yang dia anut. Timnas pun melenggang ke final bertemu Singapura.

Namun petaka bagi Boaz datang. Performa gemilangnya hingga semifinal justru usai di laga puncak. Dia mengalami cedera usai ditabrak Baihakki Khaizan di final leg pertama. Partai final pun hanya dilaluinya beberapa menit. Selebihnya hanya dari bench, termasuk pada leg kedua. Bahkan tak kalah menyedihkan, timnas saat itu harus puas sebagai runner up karena takluk dari sang lawan. Benar-benar kado yang tak diinginkan oleh Boaz pada saat itu.

Boaz layak kecewa. Dia hampir saja meraih prestasi gemilang bersama timnas di usia belasan. Namun sekali lagi, Boaz belum diizinkan ke sana. Dia sepertinya belum terima akan kegagalan itu. Apalagi dia harus menepi di partai final. Mungkin bagi Boaz, empat gol yang dilesakkannya tak berarti apa-apa tanpa trofi juara. Dan Boaz menyesali cedera yang menimpanya.

Tentunya kisah di balik 2004 itu masih membekas di hati Boaz, hingga saat ini. Dua belas tahun berlalu, Boaz masih ada (untuk Timnas). Dia merupakan satu-satunya pemain yang tersisa dari 2004 yang bermain di Piala AFF 2016. Boaz masih merasa was-was. Tentu dia tak ingin gagal lagi.

Ya, Boaz tetaplah Boaz. Dia selalu ingin tampil lebih baik lagi. Rentetan cedera sempat dia alami setelah 2004 lalu. Bersama timnas juga, Boaz sempat cedera panjang ketika ditekel pemain Hongkong dalam sebuah laga uji coba tahun 2007. Boaz, sempat berpikir tak ingin kembali lagi ke timnas.

Tapi Boaz masih penasaran untuk level timnas. Dan memang benar, Boaz kembali lagi. Pemain yang sempat meraih gelar pemain terbaik sekaligus top skor musim 2012-2013 itu pun sadar. Bakat yang diberikan Tuhan kepadanya harus bermanfaat bagi orang lain. Cedera dianggapnya sebagai teguran dari Tuhan agar dia menjadi pribadi yang semakin baik dan lebih baik lagi. Itu juga yang membuat Boaz mendedikasikan sebagian golnya untuk Tuhan sembari berdoa, menunjuk ke atas, atau pun menunjukkan kaos bertuliskan: I belong to Jesus.

Dan Boaz sadar betul, tenaganya masih dibutuhkan Indonesia. Dia kembali. Bukan hanya sebagai goal getter, tapi sebagai leader. Kini pemain yang mengenakan seragam nomor 7 di timnas itu merupakan sang kapten. Sebuah tanggung jawab besar untuk dirinya. Boaz tak ingin itu jadi beban.

Tapi Boaz tetap was-was. Dia tak ingin berhadapan dengan masa lalunya itu, seperti 2004. Ini adalah (mungkin) pengujung karirnya bagi timnas. Dan untuk itu, Boaz pasti akan mengerahkan seluruh kemampuannya.

Demi partai final, demi Natal yang kian dekat. Karena satu hal, dia tak ingin menyudahi Piala AFF 2016 satu kata: cedera. Melainkan gelar juara yang diimpikannya sebagai kado Natal terindah bagi Boaz. Atau jika tidak, Boaz harus mengubur mimpinya lagi. Dan menantikan mimpi baru, menanti kado Natal dari Sinterklas. Semangat, Boci!

Penulis mengidolai Arsenal, Theo Walcott dan Boaz Salossa yang memiliki tanggal lahir sama. Bermimpi untuk travelling football sejauh mungkin, khususnya stadion yang ada di Indonesia. Beredar di dunia maya dengan akun Twitter @CHNaibaho. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar