Indonesia, Mau Sampai Kapan Menjabat Status ??Spesialis Runner Up??

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Indonesia, Mau Sampai Kapan Menjabat Status “Spesialis Runner Up”?

Artikel #AyoIndonesia karya Gunanda Hasdiansyah

Prestasi tim nasional Indonesia di level senior sangat memprihatinkan. Gelar bergengsi yang terakhir diraih oleh Indonesia adalah gelar Sea Games 1991. Begitu lama kita puasa gelar yang mungkin saja membuat kita lupa akan bagaimana manisnya gelar juara itu.

Pada tahun 2016 ini, Indonesia mempunyai kesempatan untuk mengakhiri puasa gelarnya melalui gelaran Piala AFF.

Piala AFF atau yang dulu dikenal sebagai Piala Tiger sudah berlangsung kurang lebih 20 tahun sejak dimulai pada tahun 1996. Dan selama 20 tahun itu pula negara kita tercinta Indonesia masih saja menyimpan mimpinya untuk membawa pulang gelar tertinggi sepak bola Asia Tenggara ke pelukan ibu pertiwi.

Tentunya kita akan bertanya-tanya pada diri kita sendiri, apakah yang salah dengan sepak bola negara kita tercinta ini? Kenapa kita belum mampu untuk menjadi juara di level Asia Tenggara?

Padahal selama 20 tahun ini skuad tim nasional Indonesia tidak bisa dikatakan buruk. Malah masuk kategori pantas atau bahkan sangat pantas untuk menjadi penguasa sepak bola Asia Tenggara setidaknya sebanyak satu kali saja.

Banyak orang berkata, Indonesia kan sudah empat kali menjadi runner up? Bukan prestasi yang buruk kan? Iya bukan prestasi yang buruk jika yang meraih prestasi tersebut Timor Leste. Tetapi, ini Indonesia bung!

Kita bukanlah negara kemarin sore, kita sudah 71 tahun merdeka. Di sepakbola kita sempat menjadi salah satu kekuatan Asia. Lalu kita masih membanggakan prestasi yang hanya sebatas runner up Piala AFF?

Mau sampai kapan kita membanggakan prestasi timnas sebagai empat kali runner up? Apakah terlihat keren dengan sebutan spesialis runner up? Bahkan sampai menyebut Indonesia sebagai juara tanpa mahkota di Piala AFF? Sadarlah, bung! Itu semua hanyalah pembenaran yang kita lakukan untuk menutupi kekecewaan kita karena gagal meraih gelar juara.

Kita memang terlalu terbuai dengan prestasi runner up Piala AFF. Iya, sekelas Piala AFF saja timnas hanya bisa menjadi runner up. Lalu bagaimana prestasi timnas di tingkatan yang lebih tinggi? Piala Asia atau Piala Dunia? Ah, itu mungkin hanya akan terus menjadi mimpi tak terwujud untuk kita.

Apakah saya salah karena telah mengatakan kita terlalu terbuai dengan prestasi runner up Piala AFF? Saya dengan tegas, berani mengatakan tidak. Kenapa? Lihatlah sang pemegang otoritas tertinggi sepak bola kita PSSI, ketika tiba-tiba menunjuk Alfred Riedl, padahal dia awalnya tidak termasuk ke dalam daftar calon pelatih timnas.

Salah satu alasannya yang saya baca di salah satu portal berita olahraga online adalah PSSI berharap Riedl mengulang keberhasilannya di Piala AFF 2010.

Lalu lihatlah bagaimana reaksi kita para pecinta timnas, banyak dari kita menyebut bahwa keputusan tersebut sudah tepat, walaupun banyak pula yang tidak puas dengan keputusan ini.

Mereka yang merasa puas dengan keputusan penunjukan Riedl sebagai pelaih timnas pun memiliki alasan yang sama seperti PSSI, keberhasilan Riedl di Piala AFF 2010. Tetapi mereka semua lupa bahwa Riedl pun pernah gagal total di Piala AFF 2014.

Dalam hal ini saya tidak berniat mengkritisi seorang Riedl, apalagi meragukan kemampuannya dan saya pun tidak ingin mendebat lagi keputusan tersebut. Toh, semuanya telah terjadi.

Tetapi orang-orang yang telah memupuk harapan kepada seorang Riedl, malah mengingkari harapan tersebut. Mereka mengingkarinya dengan membatasi jumlah pemain tiap klub yang dapat dipanggil ke timnas. Hanya dapat memanggil dua pemain per klub, tentu hal ini akan menyulitkan Riedl.

Bagaimana mungkin Riedl bisa maksimal dalam memilih pemain-pemain yang pantas bermain untuk timnas jika dibatasi dua pemain per klub?

Jika dalam kondisi tidak dibatasi pemilihan pemain saja Riedl hanya bisa meraih runner up sebagai prestasi tertinggi, bagaimana jika dibatasi seperti sekarang?

Saya hanya ingin mengingatkan saja dalam hal ini, jangan sampai kebiasaan kita yang sering mengucapkan sumpah serapah dan mencaci maki jika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan kita, kita lakukan kepada Riedl. Karena jika nanti Indonesia gagal, itu bukanlah sepenuhnya kesalahan Riedl.

Jangan sampai kebiasaan kita menyalahkan pelatih dan keseringan memecat pelatih karena gagal memenuhi malah berakibat buruk terhadap prestasi timnas. Bisa saja sikap-sikap kita tersebut menyakiti hati para pelatih tersebut.

Seperti kata Bambang Pamungkas dalam buku keduanya yang berjudul Pride pada bab 2 Tim Nasional, dengan sub judul “karma sepak bola Indonesia” yaitu “bisa jadi kegagalan demi kegagalan yang kita alami selama ini adalah karma, buah dari kesalahan yang telah kita buat selama ini”.

Tetapi, di balik semua permasalahan tersebut, kita sudah sepatutnya untuk tetap optimis akan penampilan timnas di Piala AFF 2016. Memberi dukungan dan doa sebanyak-banyaknya untuk tim nasional agar mereka dapat meraih hasil terbaik yaitu meraih gelar juara Piala AFF 2016.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini termasuk di dunia sepakbola. Lihatlah Yunani di Euro 2004 yang tidak diunggulkan secara mengejutkan berhasil menjadi juara mengalahkan tim-tim kuat Eropa seperti Spanyol, Perancis dan Portugal.

Atau yang terbaru lihatlah bagaimana Leicester City pada musim lalu berhasil meraih gelar juara di liga yang katanya terbaik di dunia mengalahkan klub-klub seperti Arsenal, Manchester City, Manchester United dan Chelsea.

Mungkin dengan status bukan sebagai unggulan, para pemain timnas akan tampil tanpa beban dan dapat menampilkan kemampuan terbaik mereka.

Piala AFF 2016 ini adalah momen yang tepat untuk timnas mengakhiri puasa gelarnya. Mengingat banyak hal-hal buruk sedang terjadi di negara kita ini, termasuk di sepakbola.

Seperti kita ketahui bersama sanksi terhadap PSSI oleh pemerintah dan FIFA baru dicabut beberapa bulan yang lalu. Dan kerusuhan suporter yang berujung kepada kematian pun semakin menjadi-jadi. Menurut data litbang Save Our Soccer (SOS) ada sekitar enam suporter yang harus kehilangan nyawanya akibat sepakbola.

Gelar juara Piala AFF 2016 tentu akan menjadi pelipur lara terhadap kericuhan di organisasi sepak bola kita, pemersatu para suporter, dan penanda kebangkitan sepak bola Indonesia.

Ayo Indonesia, sekaranglah waktu yang tepat untuk melepaskan status sebagai “spesialis runner up”. Jangan menunggu AFF-AFF berikutnya, karena bisa saja semakin lama kekuatan sepak bola Asia Tenggara semakin merata dan kuat. Ditambah lagi jika Australia mengikhlaskan dirinya untuk ikut Piala AFF, tentu peluang kita juara semakin berat.

Pencinta sepakbola layar kaca yang mendukung A.C. Milan dan mengidolakan Kaka’ serta pecandu game Football Manager Beredar di dunia maya dengan akun Twitter @gunanda38. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar