Kenangan Mendukung Timnas Indonesia: Antiklimaks Piala AFF 2010

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kenangan Mendukung Timnas Indonesia: Antiklimaks Piala AFF 2010

Artikel #AyoIndonesia karya Rey Siahaan

Piala AFF tahun 2010 menyisakan kenangan membekas bagi pecinta sepakbola tanah air, termasuk saya sendiri. Saya pribadi sebelumnya bukanlah pendukung fanatik timnas; pesimistis setiap kali Indonesia berlaga dalam turnamen internasional, bahkan cenderung apatis.

Barulah tepat enam tahun silam, pandangan saya tentang timnas berubah. Piala AFF 2010 yang diselenggarakan di Indonesia dan Vietnam menjadi ajang di mana saya melihat timnas yang berbeda. Timnas yang penuh gairah. Timnas yang mampu memikat mata para penikmat sepakbola, juga mata yang bukan penyuka sepakbola. Semua mendukung dan seakan bersatu mendukung Merah-Putih di sepanjang turnamen. Ya, semua insan mendukung timnas, tak terkecuali saya yang kala itu berubah menjadi pendukung (menuju ke arah) fanatik, lebih optimis, dan kian aktif menyaksikan setiap laga tim asuhan Alfred Riedl, meskipun hanya melalui layar kaca.

Dalam turnamen ini, Indonesia berada di Grup A yang juga dihuni Malaysia, Thailand, dan Laos. Pertandingan pertama di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) mempertemukan tuan rumah dengan sang tetangga, Malaysia. Di sinilah awal mulanya saya melihat timnas yang lebih fresh. Mulai dari dua sosok striker “asing”, lini tengah eksplosif, pertahanan kokoh, hingga kharisma seorang Riedl di pinggir lapangan.

Adalah duet lini depan yang paling menarik perhatian. Sosok pertama adalah Cristian Gonzales. Striker asal Uruguay yang dalam beberapa tahun terakhir dikenal sebagai salah satu predator terganas di kompetisi tanah air, kala itu dengan gagahnya berdiri paling depan dengan berbalut jersey timnas bernomor punggung sembilan. Tak jauh di sampingnya, ada sosok bernama Irfan Bachdim, penyerang berdarah campuran Indonesia-Belanda yang sebelumnya menempuh karier di Negeri Kincir Angin. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada eks atau penyerang timnas lainnya, kedua pemain naturalisasi dan keturunan itu membuat lini depan timnas terlihat berbeda dari biasanya.

Selain para penyerang, lini tengah kita juga terlihat lebih eksplosif. Dipimpin Firman Utina sebagai sang kapten sekaligus playmaker, serta kecepatan dua winger yang menyisir sisi sayap masing-masing oleh Okto Maniani dan Muhammad Ridwan, membuat permainan Indonesia penuh determinasi, dinamis, dan agresif kala melakukan serangan. Selain itu, keseimbangan lini tengah juga terjaga berkat sosok Ahmad Bustomi sebagai penjaga kedalaman.

Lini belakang juga menjadi sulit ditembus dengan kombinasi Maman Abdurahman dan Muhammad Roby di jantung pertahanan. Mobilitas Zulkifli Syukur dan Muhammad Nasuha dalam mengawal kedua sisi juga menjadi faktor ketangguhan lini belakang timnas. Keempat pemain itu memberi rasa aman bagi Markus Horison sehingga dapat tampil maksimal di bawah mistar.

Seluruh armada di atas mengikuti Riedl selaku sang pemberi komando. Penerapan taktik nan brilian, serta kemampuan menganalisa dan menempatkan pemain di posisi terbaik, ditambah lagi dengan karakternya yang serius dan cenderung keras sukses membuat para pemain mengeluarkan kemampuan terbaik mereka di atas lapangan.

Hasil demi hasil. Kombinasi di atas memberi hasil luar biasa di sepanjang turnamen. Indonesia melaju mulus dimulai dari tiga kemenangan beruntun pada fase penyisihan grup. Berturut-turut Garuda menaklukkan Malaysia dengan skor 5-1, menghujani gawang Laos dengan setengah lusin gol, hingga kemenangan mengejutkan atas tim unggulan Thailand dengan skor sengit 2-1.

Berlanjut ke babak semifinal, Indonesia yang melaju sebagai juara grup ditantang oleh runner-up Grup B, Filipina. Babak ini sejatinya mengusung sistem home and away, namun dengan putusan AFF menyatakan stadion di Filipina tak layak untuk menggelar partai tersebut, maka SUGBK resmi menjadi venue kedua laga. Indonesia pun sukses melaju ke partai puncak setelah satu gol ‘El Loco’ Gonzales di masing-masing laga membuat agregat 2-0 untuk keunggulan Garuda.

Ekspos Media dan Dukungan Masyarakat

Sedari matchday pertama, dukungan dari masyarakat mengalir deras bagi anak asuhan Riedl. Hal itu tergambar jelas di media. Terlebih selepas sukses mencukur habis sang tetangga serumpun, ekspos media terhadap timnas menjadi begitu luar biasa. Hampir setiap program berita dan olehraga di seluruh stasiun televisi tanah air tak ketinggalan mewartakan kemenangan demi kemenangan yang diraih Garuda. Tak sampai di situ, bahkan program infotainment tak ketinggalan ikut mem-blow up perjalanan timnas.

Ya, program infotainment dengan sebagian besar menggunakan lagu Netral berjudul Garuda di Dadaku atau Dari Mata Sang Garuda karya Pee Wee Gaskins sebagai theme song, mereka menampilkan gol demi gol yang dicetak Okto dkk. dengan balutan berita yang membahas tentang pemain laiknya selebriti. Gonzales dan Bachdim adalah dua nama yang sering menjadi tajuk utama pemberitaan infotainment.

Pemberitaan mengenai Gonzales erat dengan kisahnya merantau ke Indonesia, menjadi salah satu striker paling ditakuti di tanah air, hingga mendapat kewarganegaraan Indonesia. Kehidupan pribadinya juga tak lepas dari jangkauan infotainment. Kabar mengenai sang istri Eva Siregar, hingga aktivitas anak-anaknya kerap menghiasi layar kaca selama berlangsungnya turnamen.

Irfan Bachdim lebih menghebohkan lagi. Sukses menyarangkan dua gol di babak penyisihan, ia seketika menjadi media darling di tanah air. Pemberitaan mengenai Bachdim lebih variatif mulai dari perjalanan kariernya, kisah asmara dengan seorang model bernama Jennifer Kurniawan, hingga selebrasi jaipongan seusai mencetak gol ke gawang Laos. Semua menjadikan Bachdim sebagai trending topic kala itu. Saking gilanya, sempat ada pemberitaan tatkala ada sekelompok penggemar yang menjadikan Bachdim sebagai agama baru. Luar biasa.

Ekspos media juga memperlihatkan besarnya antusiasme masyarakat dalam mendukung timnas berlaga. Dukungan langsung di tribun stadion, berbagai gelaran acara nonton bareng (nobar), hingga cuitan masyarakat di media sosial, semua mendeklarasikan dukungannya bagi Merah-Putih.

Final Antiklimaks

Euforia Piala AFF 2010 mencapai puncaknya. Partai final yang mempertemukan Indonesia dengan Malaysia, yang lolos setelah menaklukkan Vietnam di semifinal. Kali ini, Garuda merasakan laga home and away yang sesungguhnya di mana leg pertama diselenggarakan di Negeri Jiran.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Laga final leg pertama berlangsung di Stadion Nasional Bukit Jalil, Malaysia (26/12/2010). Semua mata suporter tertuju pada laga ini, baik yang berangkat menyaksikan langsung di sana, maupun yang menyaksikan di layar kaca masing-masing. Saya pun kala itu menyaksikan partai final dengan mengikuti acara nobar di sebuah cafe. Sayangnya, bak gayung tak bersambut, atau apapun istilah yang tepat menggambarkannya, Indonesia harus menelan kekalahan tiga gol tanpa balas. Hal itu menimbulkan kekecewaan bagi semua insan tanah air, meskipun impian untuk menjadi juara belumlah kandas.

Optimisme masih tersisa. ‘Kita masih bisa membalikkan keadaan’. Begitu secercah harapan yang dilontarkan sebagian besar masyarakat. Bahkan, tidak sedikit yang berharap kisah manis ‘5-1’ di pertandingan pertama terulang di final leg kedua.

Namun apa daya, hasil leg kedua tak sejalan dengan optimisme masyarakat. Dua gol Muhammad Ridwan dan Nasuha menandai kemenangan Garuda dengan skor 2-1 (agregat 2-4 untuk Malaysia). Timnas kecewa, begitu pula masyarakat yang begitu setia mendukung. Antiklimaks terjadi di final tatkala perjalanan dari awal hingga mencapai partai puncak terasa begitu sempurna.

Penanganan PSSI dan Harapan ke Depan

Pasca kegagalan tersebut. Banyak pihak mulai saling menyalahkan dan mencari-cari “kambing hitam” biang kegagalan timnas. Pihak yang paling mendapat kecaman tak lain adalah PSSI. Nurdin Halid, yang saat itu menjabat sebagai ketua umum, dianggap tak mampu mengurus timnas dengan baik.

Semenjak start cemerlang di penyisihan grup, timnas dianggap sering melakukan berbagai aktivitas yang tidak berhubungan dengan sepakbola. Bukannya fokus dalam latihan, Firman Utina dkk. seringkali dibawa menghadiri pertemuan tertentu yang berbau politik. Seperti jelang partai final misalnya, seluruh punggawa timnas diharuskan menghadiri jamuan sarapan pagi di kediaman Aburizal Bakrie (Ketua DPP Partai Golkar).

Penanganan yang salah dari organisasi ditenggarai sebagai faktor penting penyebab kegagalan. Indonesia gagal mengangkat trofi yang sudah sangat dekat dalam genggaman. Bagaimanapun, hal itu sudah tak bisa lagi dirubah. Benar. Piala AFF 2010 dan Piala AFF di tahun lainnya sudah menjadi sejarah. Kini saatnya pandangan kita tertuju ke depan: Piala AFF 2016.

Optimisme jelang Piala AFF 2016 kembali menyeruak. Dengan terpilihnya kepengurusan yang baru, PSSI dituntut mampu menangani timnas secara profesional dan semestinya. Sosok Alfred Riedl yang kembali menduduki kursi pelatih timnas juga diharap mampu meraih prestasi lebih baik dari 2010, dengan meraih gelar juara tentunya. Seluruh masyarakat, termasuk yang mendukung dari layar kaca, tak ingin antiklimaks yang terjadi enam tahun silam kembali terulang di turnamen kali ini. #AyoIndonesia

Penulis beredar di dunia maya dengan akun Twitter/IG @reymanasse. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar