Kami (Sebenarnya) Sangat Mencintaimu, Indonesia!

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kami (Sebenarnya) Sangat Mencintaimu, Indonesia!

Artikel #AyoIndonesia karya Mohd. Yayat Ayatollah

"Si koki" sudah sangat paham dengan karakteristik pelanggannya, maka tak perlu meraciknya dengan lama, karena sebenarnya makanan yang disajikan juga bukan makanan jenis baru, makanan ini juga sudah pernah ditelan lahap-lahap oleh bangsa kita, era Orde Baru namanya.Menyedihkan melihat berita-berita di media massa yang mayoritas berisikan teriakan-teriakan provokasi, berisikan umpatan-umpatan serta adu domba yang bertujuan memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi isu SARA adalah isu yang paling sedap untuk disantap, maka diperlukan bumbu-bumbu untuk meraciknya agar dapat dijadikan hidangan kemudian disantap bersama-sama oleh seluruh rakyat Indonesia.

Walau rentang waktu yang begitu jauh, namun karakterisktik masyarakat tidak akan berubah terlalu jauh, bak api dalam sekam, tinggal diberikan minyak tanah saja akan kembali membesar.

Indonesia, tak pernah belajar dari masa lalu, masa lalu mu pernah kelam dan suram namun sebelum itu juga kau pun pernah berjaya ketika dengan gagahnya mengusir para pejuang-pejuang hanya bermodalkan "bambu runcing" dan semangat ingin merdeka.

Indonesia, satu yang tak pernah padam darimu adalah semangat perjuangan yang kini telah tertanam di setiap insan, terima kasih kakek-nenek moyang yang telah menanamkan semangat perjuangan ini.

Kini, kita akan berjuang lagi mesti tak memakai "bambu runcing" tapi dengan semangat yang masih terpatri di dalam hati kami, bahwa harga diri adalah harga mati.

Kini, kita berjuang dari kaki ke kaki, pergerakan yang saling mengisi, mengesampingkan ego pribadi. Di bawah komando Alfred Riedl, meskipun bukan WNI, tapi semangatnya untuk Indonesia patut dipuji.

Ban kapten pun telah berpindah ke lengan si anak Papua, Boaz Solossa, yang sudah dari usia belia sekali masuk ke timnas, mungkin kalau dalam game Football Manager, Boaz adalah wonderkid yang talentanya akan terus berkembang dan menjadi pemain dengan reputasi dunia, ya walaupun gak mendunia cukuplah seantero Indonesia.

Boaz menjadi pemain debutan yang menyita perhatian publik Asia Tenggara ketika tampil luar biasa di Piala AFF 2004 di Vietnam. Dibawa Peter Withe untuk ditandemkan dengan Ilham Jayakesuma di lini depan, tim Merah-Putih menjadi yang termasyhur dengan gelontoran 17 gol dan Boaz menyumbangkan tiga di antaranya dengan usia yang masih 18 tahun di kala itu.

Lebih istimewanya lagi Boaz belum berstatus pemain profesional karena beberapa bulan sebelum gelaran AFF 2004, Boaz masih lah bermain untuk Tim PON Papua. Luar biasa talenta yang dimiliki Boaz, kerinduan akan sosok penyerang yang haus gol selain Kurniawan Dwi Yulianto dan Bambang Pamungkas, sepertinya akan terobati karena dengan usia yang masih belia itu Boaz sudah mampu membuktikan dirinya.

Namun, takdir berkata lain, Boaz lebih banyak berjuang dengan proses penyembuhan cederanya, setelah sempat cedera pada AFF 2004 disebabkan pemain Singapura yang juga pernah merumput di Indonesia, Baihakki Kaizan, serta tekel horor yang pernah dialaminya pada medio pertengahan 2007 membuatnya semakin tenggelam.

Setelah 12 tahun menjalani debut di 2004 itu terjadi, Boaz telah banyak bermetamorfosis. Maka amanah jabatan kapten yang diembannya adalah cukup tepat seperti apa yang dikatakannya.

"Apa yang terjadi ini membuktikan saya akan selalu total kalau dipercaya main untuk timnas. Jangan pernah mengatakan saya tak nasionalis," ujar Boaz.

Sang Kapten sudah bertitah demikian, dari ujung Papua sana ia begitu mencintai Indonesia, rasanya tak ada alasan lagi untuk kita untuk tidak mencintai Indonesia.

Meskipun kadang kita sungkan mengakui, bahwa kita sangat mencintai Indonesia, namun dari dalam lubuk hati ini sebenarnya ada keinginan kita untuk melihat timnas berprestasi, tak jarang kita mengungkapkan kecintaan-kecintaan kita kepada Indonesia dengan makian dan cacian, bukan dengan tutur kata yang lemah lembut apalagi sampai berbisik ke telinga "Aku Cinta Padamu, Indonesia". Ah, rasanya adalah sesuatu hal yang mustahil akan disampaikan, karena selain Indonesia yang juga tidak pernah berwujud fisik.

Kita tak terbiasa menyampaikannya secara langsung. Kadang kecintaan kita terhadap Indonesia terwakili dari pengurus-pengurus PSSI yang kadang mempunyai kebijakan-kebijakan yang agak sedikit di luar kebiasaan, seperti membatasi maksimal dua pemain per klub, "Sayang, kami hanya boleh memilih dua pemain dari setiap klub, dan ada klub yang tidak mau melepas. Mereka lebih mementingkan liga ketimbang timnas," kata Riedl, Jumat 18 November 2016.

Ya anggap saja itu adalah kecintaan dalam bentuk lain, mungkin saja PSSI bermaksud mengadakan pemerataan pemilihan pemain ataupun agar pemain-pemain yang belum mendapat kesempatan tampil, dapat lebih terperhatikan, karena biasanya dalam klub ada 3-4 pemain bintang timnas Indonesia, maka dengan keluarnya kebijakan itu bisa membuka mata Riedl untuk melihat pemain-pemain di klub lainnya. Anggaplah itu sisi positifnya dari kecintaan kita terhadap Indonesia.

Dengan skuat yang sebenarnya terbatas ini, tapi sesuatu yang telah diwariskan sejak dulu kala, yang tak pernah padam itu, sesuatu yang bernama semangat berjuang. Ketika semangat berjuangnya menggelora, entah seperti kerasukan setan atau binatang buas, bisa tampil trengginas menggilas lawan-lawannya tak peduli walaupun itu sebesar Thailand. Hal inilah yang dinanti-nantikan oleh kita semua, semangat yang tidak pernah pudar hingga peluit pertandingan berakhir ditiupkan.

Kita yang sebenarnya mencintai Indonesia, namun tak pernah mampu untuk mengungkapkannya. Kita yang sebenarnya begitu mencintai Indonesia, meskipun ada kekecewaan yang mendalam ketika nanti timnas gagal berprestasi.

Dengan pengalaman yang nyaris hingga empat kali juara saja masih banyak masyarakat yang tetap optimis kalau Indonesia masih bisa juara, ya walaupun untuk sekarang ini target juara terhitung tidak realistis walaupun harapan itu ada.

Kami tak menuntut banyak, kami hanya ingin timnas menjadi contoh yang baik untuk masyarakat Indonesia bahwa sebenarnya kita semua bisa bersatu dengan latar belakang yang berbeda, kami ingin timnas memberikan contoh kepada kita semua, bahwa sebenarnya kita bisa bersatu, kita tak akan terpecah hanya dengan aksi-aksi provokasi.

Tidakkah kita sadar, bahwa kita sekarang sedang di adu domba? Kedamaian kita, keberagaman kita mulai diusik oleh mereka yang tidak mengerti akan artinya saling mencintai. Maka, dengan momen piala AFF kali ini diharapkan timnas mampu menunjukkan keharmonisan mereka, menunjukkan keberagaman mereka, walaupun mereka dari latar belakang yang berbeda, tapi mereka tak pernah menunjukkan bahwa mereka berbeda, dari Papua hingga Belanda bahkan Austria, mereka datang hanya untuk mengabdikan diri kepada Indonesia.

Sudah seharusnya lah kita melepaskan atribut dan embel-embel suku, agama, ras, golongan, kepercayaan dan bahkan rivalitas klub untuk kembali kepada asal kita yaitu, Indonesia.

Semoga Piala AFF 2016 ini membawa hasil yang maksimal dan membawa hikmah bagi bangsa Indonesia yaitu utuhnya Persatuan Indonesia.

Salam dari kami, yang (sebenarnya) mencintaimu, Indonesia !

Penulis percaya bahwa sepakbola adalah alat pemersatu bangsa, penulis bisa ditemui di @mohdyayat. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar